Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Tipologi
tafsir terus berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan kontek
perjalanan zaman.
Dasar
tipologi atau pengelompokkan terhadap tafsir pun berbeda-beda. Di antara
pengelompokan tersebut dan sudah dikenal sejak masa nabi Muhammad SAW adalah
tafsir bi al-atsar, dan banyak yang menyebut tafsir bi al-ma’tsûr atau tafsir
riwayah. Pengelompokan ini disebut corak tafsir. Corak tafsir lain adalah
tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan nash
dalam menafsirkan, baik al-Qur’an dengan al-Qur’an maupun al-Qur’an dengan
sunnah. Dengan singkat, tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir antar nash.
Sementara tafsir bi al-ra’y atau dikenal juga dengan tafsir dirayah adalah
tafsir yang lebih mengandalkan pada ijtihad yang shahih.[1]
Sedangkan
Berdasarkan metode terbagi menjadi tafsir tahlili, tafsir rmaudhu’i, tafsir
kulli dan tafsir muqaran. Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah
al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik. Tafsir tematik berdasarkan surah
digagas pertama kali oleh Syaikh Mahmud Syaltut, sementara tafsir tematik
berdasarkan topik oleh Abdul Hay al-Farmawi.
Sejenak kita tinggalkan sedikit
kajian tafsir diatas.
Pembedaan jenis kelamin cenderung
melebarkan persamaan peran kemitraan antara laki-laki dan perempuan (gender
partnership). Banyak kalangan kemudian menanggapi hal ini.[2]
Bahkan ada asumsi hal ini menimbulkan ketakutan dan dan kecurigaan di
tolak sebagian masyarakat.[3]
Beberapa
cendikiawan muslim (di Indonesia) memandang konsep gender selaras dengan konsep
ajaran Islam yang mengusung keadilan dan kesetaraan sebagai mana diisyaratkan
dalam al-Qur’an. Pemahaman ini tentu perlu sebuah metode dan kajian mendalam.
Dalam
kasus lain, pembahasan mengenai Prulalisme mencuat. Kita tentu masih ingat
bagaimana Alm. Al-Maghfurlah KH. Abdur Rahman Wahid begitu concern dengan
pembahasan ini.
Pada masa sekarang ini para ilmuwan menghadapi permasalahan yang
kompleks, sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi, globaliaasi informasi,
maka tafsir maudhu’i semakin populer dan mutlak dibutuhkan. Karena Alquran
harus dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat, tempat berkonsultasi baik
bersikap maupun dalam bertingkah laku dalam rangka menjalankan fungsi seseorang
berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam. Maka segala sesuatu yang
diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya, perencanaannya, tujuannya,
hasilnya, semuanya itu haruslah menjiwai pesan-pesan Alquran. Dari sisi ini,
re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap penafsiran Alquran yang diberikan
para ulama dahulu, dengan metode tafsir maudhu’i mutlak diperlukan. Kalau
demikian halnya, maka akan lahir mufassir-mufassir baru yang selalu mengkaji
dan menafsir Alquran sejalan dengan keadaan dari masa ke masa. Sedikit telah
disinggung diatas mengenai salah satu metode tafsir adalah tafsir tematik (maudlu’i),
Bagaimana sejarah perkembangan tafsir tematik tersebut dalam memandang gender
dan pluralisme?
Berdasarkan
uraian di atas maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Metode
Tafsir Maudlu’i yang diaplikasikan dalam studi gender dan pluralisme.
B. Rumusan
Masalah
Guna tersistematisasinya pembahasan,
pemakalah mengklasifikasikan point pembahasan pada point berikut :
1. Bagaimana metode tafsir maudlu’i?
2. Bagaimana contoh metode tafsir
maudlu’i dalam gender?
3. Bagaimana contoh metode tafsir
maudlu’i dalam Pluralisme?
C. Tujuan Masalah
Yang menjadi tujuan dari pembahasan dari makalah ini adalah
:
1. Mengetahui metode tafsir maudlu’i
2. Memahami contoh metode tafsir
maudlu’i dalam gender
3. Memahami contoh metode tafsir
maudlu’i dalam Pluralisme
Bab II
Pembahasan
1.
Metode Tafsir Maudhlu’i
1.1
Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah
dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang
kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh
al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai
tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.[4]
Tafsir-tafsir buah karya
para ulama yang kita ketahui sampai sekarang ini kebanyakan masih
menggunakan metode tafsir al-tahlily yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam
kitab-kitab mereka, ayat demi ayat, surat demi surat secara tertib sesuai
dengan urutan adanya ayat-ayat itu dalam mushaf, tanpa memperhatikan judul/tema
ayat-ayat yang ditafsirkan. Hal itu umumnya disebabkan (1) karena dahulu pada
awal pertumbuhan tafsir, mereka masih belum mengambil spesialisasi dalam
ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan
ayat-ayat alqur’an secara tematik/topikal atau sektoral, (2) karena mereka
belum terdesak untuk mengadakan tafsir maudhu’i ini, disebabkan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang hafal seluruh ayat Alquran, dan sangat menguasai
segala segi ajaran lslam sehingga mereka mampu untuk menghubungkan ayat satu
dengan ayat yang lain yang sama-sama membicarakan judul/topik yang satu.[5]
Kalau kita kembali melihat ke dalam sejarah kebudayaan Ialam bahwa
pada permulaan Islam yaitu zaman Rasulullah dan masa sahabat, perhatian mareka
terkonsentrasi pada upaya penyiaran agama Ialam, menghadapi berbagai tantangan
orang-orang non muslim, menghafal dan pelestarian Alquran dan al-hadia, maka
wajarlah kalau tafsir maudhu’i belum berkembang pada masa itu seperti sekarang
ini.
Pada masa sekarang ini para ilmuwan menghadapi permasalahan yang
kompleks, sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi, globaliaasi
informasi, maka tafsir maudhu’i semakin populer dan mutlak dibutuhkan. Karena
Alquran harus dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat, tempat berkonsultasi
baik bersikap maupun dalam bertingkah laku dalam rangka menjalankan fungsi
seseorang berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam. Maka segala
sesuatu yang diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya, perencanaannya,
tujuannya, hasilnya, semuanya itu haruslah menjiwai pesan-pesan Alquran. Dari
sisi ini, re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap penafsiran Alquran yang
diberikan para ulama dahulu, dengan metode tafsir maudhu’i mutlak diperlukan.
Kalau demikian halnya, maka akan lahir mufassir-mufassir baru yang selalu
mengkaji dan menafsir Alquran sejalan dengan keadaan dari masa ke masa.
Tafsir maudhu’i lebih kompleks dan lebih tajam dibandingkan dengan
tafsir tahlili (analitis). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Sadr
tentang perbedaan antara tafsir maudhu’i dan tahlili yaitu :
1)
Peran
mufassir yang mempergunakan tafsir tahlili umumnya pasif. Pertama-tama ia mulai
dengan membahas sebuah naskah Alquran tertentu, dimulai dari sebuah ayat atau
kalimat, tanpa merumuskan dasar-dasar pemikiran atau rencana terlebih dahulu,
kemudian mencoba untuk menetapkan pengertian Alquran dengan bantuan
perbendaharaan al-qur’gn dan berbagai indikasi yang ada padanya dalam naskah
khusus tersebut ataupun yang di luar itu. Secara umum usahanya terbatas pada
penjelasan sebuah naskah Alquran tertentu.
Dalam
hal ini, peran naskah serupa dengan si pembicara, dan tugas pasif si mufassir
ialah mendengarkan dengan penuh perhatian dengan pikiran yang cerah dan jernih
serta penguasaan atas bahasa arab, baik yang klasik, halus serta gaya bahasa
arab. Dengan pikiran dan semangat yang demikian mufassir duduk menghadapi
A1-qur’an dan mendengarkan dengan penuh perhatian peranannya pasif sementara
Alquran menonjolkan arti harfiahnya, si mufassir mencatatnya di dalam tafsimya
sampai pada batas pemahamannya.
Kontras
dengan hal ini, mufassir yang memaki metode maudhu’i (tematiks) tidak memulai
aktifitasnya dari naskah Alquran, tetapi dari realitas kehidupan. la memusatkan
perhatiannya pada sebuah subyek tertentu dari berbagai masalah yang berhubungan
dengan aspek-aspek kehidupan sosial atua kosmilogi, dengan menggunakan
kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subyek tersebut,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pemecahan-pemecahan yang dianjurkan
sehubungan dengan masalah tersebut, dengan jurang pemisah di antara keduanya.
Setelah
itu, ia kembali kepada naskah Alquran, namun tidak dalam posisi sebagai seorang
pendengar pasif dan seorang pencatat. la menempatkan sebuah topik dan masalah
yang ada dari sejumlah pandangan dan gagasan manusia dihadapan Alquran. Dengan
begitu ia mulai sebuah dialog dengan Alquran, di mana si mufassir bertanya dan
Al-qur’an memberikan jawabannya.[6]
Dalam
metode tafsir maudhu’i si mufassir mengkaji topiknya dengan menghubungkannya
dalam batas-batas kemampuannya, dengan pengalaman intelektual manusia yang
tidak sempurna sebagaimana yang diwakili oleh pandangan-pandangan berbagai
pemikir baik yang benar maupun tidak benar dengan menggunakan
pemikiran-pemikiran tersebut sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya. Kemudian kembali menyimpan hasil pencariannya, ia kembali kepada
Alquran, tidak sebagai pendengar yang pasif tetapi sebagi seseorang yang
memasuki suatu dialog. Dengan semangat pencarian dan kontemplatif, ia bertanya
kepada Alquran yang dimulai dengan naskah-naskah Alquran mengenai subyek
kajiannya.
Tujuannya
di sini ialah menemukan pandangan Alquran mengenai subyek kajian dan sampai
pada satu kesimpulan yang diilhami oleh naskah, sambil membandingkannya dengan
gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan yang berhubungan dengan subyek
tersebut.
Dengan
demikian, perbedaan mendasar yang pertama antara tafsir tahlili dan maudhu’i
ialah bahwa dalam metode yang pertama si mufassir pasif, pendengar sambil
membuat catatan yang tidak demikian dengan metode yang kedua. Tafsir maudhu’i
ialah meletakkan warisan intelektual dan pengalaman manusia sebagaimana juga
pemikiran kontemporer di hadapan Alquran, untuk mencari pandangan Alquran
tentang subyek kajian yang dibahas. Selanjutnya al-Sadr mengemukakan bahwa
perbedaan kedua
2)
Bahwa
tafsir maudhu’i selangkah lebih maju dari pada tafsir tahlili. Tafsir tahlili
membatasi dirinya pada pengungkapan arti ayat-ayat Alquran secara terperinci,
sementara tafsir tematik menuju pada sesuatu yang lebih dari itu dan mempunyai
lingkup pencarian yang lebih luas. la berusaha mencari tata hubungan antara
ayat-ayat yang berbeda, yang perincian masing-masing ayatnya telah disediakan
oleh metode analitik, untuk mencapai kepada sebuah susunan pandangan Alquran
yang utuh, yang di dalam kerangka kerja tersebut masing-masing ayatnya
mempunyai tempat sendiri.
Inilah
apa yang kita sebut sebagi pandangan atau cara pandang. Metode tematik
berupaya, miksimal untuk sampai pada pandangan A1-qur’an tentang nubuwwah,
pandangan Alquran sehubungan dengan teori ekonomi, pandangannya tentang
hukum-hukum yang membentuk jalannya sejarah dan pandangannya tentang kosmologi.
Dengan demikian, tafsir maudhu’i satu tahap lebih maju dari pada tafsir
tahlili, dan bertujuan untuk sampai pada suatu susunan pandangan yang mewakili sikap
Alquran tentang sebuah tema tertentu dari berbagai ayat idiologi, sosial dan
kosmologi.[7]
Keutuhan
antara naskah Alquran dan pengalaman manusia yang mana mufassir mondar-mandir
berdialog dan berfikir antara Alquran membela kepentingan manusia dan Alquran
sebagai wahyu Allah akan besar kemungkinan dapat menjawab masalah umat manusia.
1.2
Urgensi Tafsir Maudhlu’i
Bila dicermati, dalam metode tafsir maudhu’i akan diperoleh
pengertian bahwa metode ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan
berat, karena mufassir harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-hal
yang berhubungan dengan tema tersebut. Dikatakan teruji, karena memudahkan
orang dalam menghayati dan memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di zaman ini. Begitu pentingnya
metode ini, Abdul Djalal menyebutkan faedah metode[8]
ini yaitu :
1)
Akan
mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul
bahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-qur’an
dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya.
2)
Akan
memberikan pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh
nash-nash Alquran mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa
menguasai topik tersebut secara lengkap.
3)
Menghindari
adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang, yang
mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran, seperti dikatakan bahwa ajara Alquran
bertentangan dengan ilmu pengetahuan,
4)
Lebih
sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan
tuntutan-tuntutan Alquran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam
bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami,
dimanfaatkan dan diamalkan
5)
Mempermudah
bagi para muballigh dan penceramah serta pengajar untuk mengetahui secara
sempurna berbagai macam topik dalam Alquran,
6)
Akan
lebih cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu topik
bahasan aI-qur’an tanpa susah payah,
7)
Akan
menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Alqur’an,
sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran
Alquran dengan pranata kehidupan mereka.
1.3
Operasionalisasi Kerja Tafsir Maudru’i
Menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir
maudhu’i.[9]
Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab sebagai
berikut:
·
Menetapkan
masalah yang akan dibahas menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan
dengan masalah tersebut
·
Menyusun
urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa
turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk
memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
·
Mempelajari/memahami
korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat
tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu
surah)
·
Melengkapi
bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
·
Menyusun
autline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa
lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok
masalah
·
mempelajari
semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau
·
Mengkompromikan
antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan
lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau
pemaksaan dalam penafsiran
menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas. [10]
menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas. [10]
Contoh: Potensi-potensi
manusia dalam Alquran
(1)
Masalahnya
apa jawaban Alquran tentang potensi-potensi manusia,
(2)
Mencari
kata kunci yakni kata aql, qalb, nafs, ruuh, jasad, dan lain-lain,
(3)
Diantara
sekian ayat dipilih yang mewakilinya dan ditertibkan sesuai dengan Makkiyah
Madaniyahnya,
(4)
Melengkapi
bahan-bahan dari hadis,
(5)
Menyusun
outline penelitian,
(6)
Mempelajari
secara seksama, dengan ilmu-ilmu yang dikuasai dan dapat memakai tafsir bil
ma’tusr, tahlili atau lainnya,
(7)
Menyusun
hasil penelitian sebagai jawaban Alquran terhadap tema yang dibahas.
2.
Contoh Metode Tafsir Maudhlu’i dalam Gender
Berikut contoh metode tafsir maudhlu’i mengenai gender, namun
contoh berikut tidak selengkap dan seruntut procedural dan operasional metode
tafsir maudlu’i seperti yang telah terpapar sebelumnya. Mengingat tentu akan
membutuhkan begitu banyak litaratur dan pemahaman yang sangat mendalam.
Keterbatasan kami sebagai pemakalah tentu akan dipertaruhkan.
2.1 Gender
dalam Al-Qur’an
Kata gender
berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam webster’s new world
dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku yang sudah lazim
digunakan, khususnya di Kantor Menteri negara Urusan Peranan Wanita dengan
istilah ‘jender’. Jender diartikan sebagai “interpretasi moral dan kultural
terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya
dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi
laki-laki dan perempuan.
Di dalam women’s Studies Ensiklopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarkat.[11]
Hakekat keadilan dan
kesetaraan gender memang
tidak bisa dilepaskan
dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan
dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka.
Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi/bangunan budaya
tentang peran, fungsi dan tanggung jawab
sosial antara laki-laki
dan perempuan. Kondisi
demikian mengakibatkan kesenjangan
peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap
laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap
perempuan kurang menguntungkan dibandingkan
laki-laki. Faktor utama
penyebab kesenjangan gender
adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih mengutamakan
laki-laki daripada perempuan (budaya patriarki). Disamping itu, penafsiran
ajaran agama yang kurang menyeluruh
atau cenderung dipahami
menurut teks/tulisan kurang memahami realitas/kenyataan, cenderung
dipahami secara sepotong-sepotong kurang menyeluruh. Sementara itu, kemampuan,
kemauan dan kesiapan kaum perempuan sendiri untuk merubah keadaan tidak secara
nyata dilaksanakan. Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama
sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti : politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya..
Kesetaraan gender juga
meliputi penghapusan diskriminasi
dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Dengan keadilan gender
berarti tidak ada
pembakuan peran, beban
ganda, dan kekerasan
terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki menjadi tanda
terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian mereka memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Berikut beberapa ayat yang menerangkan kesetaraan laki-laki dan
perempuan, dengan berbagai perspektif ayat.[12]
Dalam al-Dzariat : 56 di paparkan :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada
Tuhan Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al-Qur'an biasa diistilahkan sebagai
orang-orang yang bertaqwa, dan untuk mencapai derajat bertaqwa ini tidak
dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu.
Dalam Kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan perempuan
masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar
pengabdiannya, Simaklah dalam al-Nahl : 97
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
Barangsiapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[13]
dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
Sangat jelas dan gamblang ayat tersebut menyebutkan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan dalam sebuah kesetaraan. Tidak ada perbedaan atau
diskriminasi status disitu.
Maksud dan tujuan
penciptaan manusia di muka bumi, selain untuk
menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt,
juga untuk menjadi khalifah di bumi dalam Al-An'am :165 Allah berfirman :
qèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Dan dia lah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kata Khalifah tidak menunjuk
kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang
sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas
kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab
sebagai hamba Tuhan.
Dalam hal peluang untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus
di dalam tiga ayat Al-Qur'an (Q.S. Ali Imran/3:195, Q.S. An-Nisa/4:124 dan Q.S.
Mu’min/40:40).
uz>$yftFó$$sù öNßgs9 öNßg/u ÎoTr& Iw ßìÅÊé& @uHxå 9@ÏJ»tã Nä3YÏiB `ÏiB @x.s ÷rr& 4Ós\Ré& ( Nä3àÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ ( tûïÏ%©!$$sù (#rãy_$yd (#qã_Ì÷zé&ur `ÏB öNÏdÌ»tÏ (#rèré&ur Îû Í?Î6y (#qè=tG»s%ur (#qè=ÏFè%ur ¨btÏeÿx._{ öNåk÷]tã öNÍkÌE$t«Íhy öNßg¨Yn=Ï{÷_{ur ;M»¨Zy_ ÌøgrB `ÏB $pkÉJøtrB ã»yg÷RF{$# $\/#uqrO ô`ÏiB ÏYÏã «!$# 3 ª!$#ur ¼çnyYÏã ß`ó¡ãm É>#uq¨W9$# ÇÊÒÎÈ
Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki
atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.[14]
Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan
Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke
dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi
Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
ÆtBur ö@yJ÷èt z`ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# `ÏB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù tbqè=äzôt sp¨Yyfø9$# wur tbqßJn=ôàã #ZÉ)tR ÇÊËÍÈ
Barangsiapa yang
mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang
beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun.
ô`tB @ÏJtã Zpy¥Íhy xsù #tøgä wÎ) $ygn=÷WÏB ( ô`tBur @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4s\Ré& uqèdur ÑÆÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù cqè=äzôt sp¨Ypgø:$# tbqè%yöã $pkÏù ÎötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÍÉÈ
Barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, Maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan
kejahatan itu. dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki
maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga,
mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.
3
Ayat diatas mengisyaratkan konsep
kesetaraan Gender yang
ideal dan memberikan ketegasan
bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier
profesional, Tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki
dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep
ideal ini masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat
sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan. Salah satu
obsesi Al-Qur'an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur'an mencakup
segala segi kehidupan
umat manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu, Al-Qur'an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik
berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan, maupun
yang berdasarkan jenis
kelamin. Jika terdapat
suatu hasil pemahaman atau
penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur
kemanusiaan, maka hasil
pemahaman dan penafsiran
tersebut terbuka untuk diperdebatkan.
Jika kita runtut beberapa ayat diatas dengan pendekatan masa
turunnya akan diperoleh hasil sebagai berikut [15]:
Nama surat
|
Tema
|
Maki/madani
|
Az-Dzariyat/51:56
|
Penghambaan
|
Makkiyah
|
al-Nahl/16:97
|
Makkiyyah
|
|
Al-An'am/6:165
|
Khalifah
|
Makkiyyah
|
Ali Imran/3:195
|
meraih prestasi
|
Madaniyah
|
An-Nisa/4:124
|
Madaniyah
|
|
Mu’min/40:40
|
Makkiyah
|
Dari pentahapan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat banyak yang
masuk golongan Makkiyyah, ini menimbulkan asumsi bahwa pada kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam islam itu ada. Kita tentu tahu selama di Mekkah
nabi tidak banyak mengajarkan ubudiyyah, melainkan memperbaiki ahlak
kaum kafir Quraisy, yang pada adat mereka sangat membenci wanita. Setiap bayi
wanita yang lahir akan dibunuh.[16]
Berikut beberapa hadist sebagai penguat dalil-dalil al-Qur’an :[17]
Hadis tentang penciptaan perempuan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ[18]
Tidak tepat kalau hadis di atas diartikan
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian dijadikan
penjelasan untuk menafsirkan ayat pada surat al-Nisa’. Sebab secara harfiyah dalam hadis tidak menyebutkan kata
Adam dan Hawa. Penafsir tampaknya terpengaruh oleh isra’iliyyat. Untuk
menghindari kesalahpahaman , sebaiknya hadis tersebut ditafsirkan secara
metaforis, yakni hendaklah laki-laki atau suami bersikap bijaksana, kpenuh
kesabaran dan mu’asyarah bi ak-ma’ruf, sebabb wanita itu halus dan sensitif
sehingga perlu kesabaran dan kelembutan untuk menghadapinya.
Hadis tentang kepemimpinan perempuan
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً[19]
Kebanyakan ulama menjadikan ini sebagai
dalil larangan wanita menjadi pemimpin padahal untuk memaknai hadis tersebut
perlu menyimak sisi historsiical backgroundnya. Hadis disampaikan
setelah Rasul mendapat informasi bahwa orang persi menobatkan putri kisra
menjadi ratu setelah sebelumnya raja kisra menolak ajakan Nabi untuk masuk
islam bahkan merobek surat tersebut. Besar kemungkinan hadis tersebut adalah
prediksi nabi bahwa putri Kisra akan mengalami kegagalan.
Hadis tentang laknat malaikat kepada istri
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ[20]
Jika hadis ini dipahami secara harfiah,
maka akan sangat bertentangan dengan prinsip al-Qur’an “wa ‘asyiruhunna bi
al-ma’ruf”. Kata “wahuwa ghadlaban” artinya suami dalam keadaan
marah, berarti kalau tidak marah, tidak apa-apa. Apalagi kalau istri sedang
lelah, sakit dsb yang menyebabkan tidak bisa ‘menjalankan tugas’ maka suami pun
tidak berhak untuk marah, sebab jika suami marah maka telah menyalahi ketentuan
“mu’asyarah bi-al ma’ruf” .
Secara
garis besar, Tafsir Metode tematik gender dalam al-Qur’an telah teraplikasi.
Kesimpulannya akhir gender dan kesetaraan wanita dalam al-Qur’an itu ada.
3.
Metode Tafsir Maudhlu’i dalam Pluralisme
Secara sederhana
pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman
pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya
keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing
pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
Latar belakang munculnya gerakan
Pluralisme
Paham ini
muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok
terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap
sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama
agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika
masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling
benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan
keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain
salah.
Wafatnya
al-Maghfurlah KH. Abdur Rahman Wahid menjadi moment penting bagi para penyokong
ajaran pluralisme untuk kembali menggiatkan kampanyenya mengusung gagasannya.
Salah satu agenda penting yang akan digoalkan saat ini adalah menjadikan Gus
Dur sebagai pahlawan Nasional, karena jasa-jasanya dalam membangun persatuan
bangsa. Sebagian lagi menganggapnya sebagai “Bapak Pluralisme”.
Untuk
Pembahasan ini pemakalah akan member point (nomor) sesuai procedural metode
tematik yang telah ada :
1. Pluralis mengumpamakan perbedaan dengan tiga orang buta yang
menjelaskan tentang bentuk gajah. Ketiga orang buta itu diminta untuk memegang
gajah, ada yang memegang telinganya, ada yang memegang kakinya, dan ada yang
memegang belalainya. Setelah mereka semua memegang gajah, lalu mereka bercerita
satu sama lain; yang memegang belalai mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa,
yang memegang telinganya berkata bahwa gajah seperti kipas yang lebar dan kaku.
Yang memegang kaki mengatakan bahwa gajah seperti pohon besar yang kokoh.
Dengan
berpijak pada cerita tersebut lalu mereka mengatakan bahwa semua agama pada
dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda.
Berikut
ayat-ayat yang mengandung kandungan dan muatan Pluralisme :
Al-Baqarah :
256
Iw on#tø.Î) Îû È….ûïÏe$!$#
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam)
Al-Baqarah 62 :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd 3t»|Á¨Z9$#ur úüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd cqçRtøts ÇÏËÈ
Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Al-Isra : 70 menerangkan penyebutan manusia dengan Bani Adam, tidak
dispesifikasi dengan agama, golongan, atau bangsa
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Dan Sesungguhnya Telah
kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami
beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
Pada dasarnya al-Qur’an telah menetapkan
prinsip-prinsip dasar kebebasan beragama serta prinsip-prinsip hubungan antar
umat beragama. hal ini dapat dimengerti mengingat sebelum al- Qur’an turun
kondisi masyarakat Arab dan sekitarnya telah menganut berbagai macam agama.
Karena itu, tidaklah mengherankan bila dalam al Qur’an menyebutkan beberapa
nama agama yang telah dianut oleh masyarakat pada waktu itu.Al Qur’an juga
mengakui eksisitensi kitab-kitab sucinya, bahkan al-Qur’an menyebutkan bahwa
dalam kitab suci agama-agama sebelum Islam terdapat petunjuk dan cahaya
kebenaran. Apresiasi al-Qur’an terhadap eksistensi agama-agama dan kitab suci
mereka, sangatlah penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu pokok ajaran
Islam, yang mempertahankan bahwa wahyu-wahyu tuhan yang lain sebelum al-Qur’an
turun adalah valid.[21]
Sikap al-Qur’an ini merupakan nilai positif dalam membangun kehidupan beragama
dan kehidupan sosial.Selain terma-terma umum diantara agama-agama yang berbeda,
al-Qur’an juga mengungkap bahwa pada mulanya manusia adalah tunggal.
Mereka berpegang kepada kebenaran tunggal, tapi kemudian mereka berselisih
paham, justru setelah kebenaran itu datang, dan mereka mencoba untuk memahami
kebenaran itu, setaraf dengan kemampuan mereka. Perbedaan itu kemudian
dipertajam dengan masuknya berbagai jenis kepentingan. Kesatuan asal umat
manusia itu dilukiskan dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 19 :
$tBur tb%x. â¨$¨Y9$# HwÎ) Zp¨Bé& ZoyÏmºur (#qàÿn=tF÷z$$sù 4 wöqs9ur ×pyJÎ=2 ôMs)t7y `ÏB Îi/¢ zÓÅÓà)s9 óOßgoY÷t/ $yJÏù ÏmÏù cqàÿÎ=tFøs ÇÊÒÈ
Manusia
dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka berselisih. kalau tidaklah Karena
suatu ketetapan yang Telah ada dari Tuhanmu dahulu, Pastilah Telah diberi
Keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
2.
Klasifikasi
beberapa ayat diatas
Surah
|
Tema
|
Makkiyah
Madaniah
|
Al-Baqarah : 256
|
Tidak memaksa
|
Madaniah
|
Al-Baqarah
62
|
Persamaan
manusia
|
Madaniah
|
Al-Isra
: 70
|
Makkiyyah
|
|
Yunus ayat 19
|
Makkiyah
|
3.
Hal ini berarti jika seseorang memilih suatu aqidah, misalnya
aqidah Islamiyah, maka dia terikat dengan tuntutan-tuntutanya dan berkewajiban
melaksanakan perintah-perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar
ketetapanya. Adanya penegasan larangan memaksa agama dalam ayat ini, tersirat
bahwa Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak
dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak tentram,
karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.[22]
Mencermati pendapat Quraish Shihab, dapat diambil
kesimpulan bahwa sebenarnya agama Islam telah mengatur tatacara berinteraksi
dalam ke hidupan beragama, tiap-tiap umat beragama hendaknya memberi kebebasan
terhadap agama lain dan tidak saling memaksa, karena tindakan tersebut
menimbulkan seseorang tidak dapat hidup damai. Tindakan pemaksaan tidak sesuai
dengan kehendak agama yang bertujuan menciptakan kehidupan yang damai.
Harun Nasution mengemukakan cara untuk memupuk jiwa
toleransi beragama yaitu ; 1) Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama
lain. 2) Memperkecil perbedaan yang ada diantara agama-agama. 3) Menonjolkan
persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama. 4) Memupuk rasa persaudaraan
se-Tuhan. 5) Memusatkan usaha pada pembinaan individu dan masyarakat
mausia baik yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteisme. 6)
Mengutamakan ajaran-ajaran yang embawa kepada toleransi beragama. 7) Menjauhi
praktik serang menyerang antar agama.[23]
Senada dengan hal tersebut juga dikemukakan oleh Yusuf al Qaradhowi, ia
menyebutkan ada empat faktor yang melahirkan sikap toleransi yang unik selalu
mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim: i) keyakinan terhadap
kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaan dan kesukuannya. Kemuliaan ini
mengimplikasikan hak untuk dihormati. ii) kayakinan bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas
(ontologis) yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan
untuk memilih iman atau kufur. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka
untuk Islam. iii) seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang
kafir atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah SWT lah yang akan mengadili
mereka di hari perhitungan kelak.[24]
4.
Tidak
ada satupun hadist nabi yang mengajarkan intoleran, bahkan tidak ada satu ayat
pun dalam al-Quran yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan,
pertentangan atau segala bentuk perilaku negatif, represif yang mengancam
stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Pemahaman mengenai prulalisme
kebanyakan di fahami sebagai ajaran yang negative, secara aqidiyyah tentu.
Namun secara kehidupan sosial, pluralisme merupakan sebuah penopang kehidupan
yang damai. Tentu tidak mungkin kita akan melempar sebelah rumah kita hanya
karena beda keyakinan bukan? Masalah aqidiyyah tentu memiliki ranah sendiri.
Pluraslisme yang ingin dianggkat disini adalah rasa saling menghormati dan
mengasihi sesame manusia. Itu saja dan tak lebih.
5 dan 6 pada point ini
tidak ditampilkan, karena pemaparan pada point ini sifatnya berformat
penelitian sistematis dan mendalam.
Bab III
Kesimpulan
Metode Tafsir maudlu’i (tematik) hadir sebagai salah satu metode
mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengelompokka tema-tema yang memiliki
kesamaan.
Metode ini banyak digunakan untuk menyikapi masalah-masalah
kontemporer masa kini, pro dan kontra kesalah aplikasiannya merupakan dinamika
ilmu pengetahuan. Keberadaan tafsir tematik ini semakin menambah kaya khazanah
kajian tafsir, dan pengaplikasiannya secara tak langsung melahirkan asumsi
bahwa Islam dan al-Qur’an adalah agama dan kitab yang fleksibel.
Wallahu a’lam
[1]
M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Jakarta:
BulanBintang, 1972) hlm. 204 dan 224
[2] Riant Nugroho,
Gender dan Administrasi Publik : Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender
dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2008) Hlm 17
[3] Siti Musdah
Mulia, Keadilan dan Kesetaraan Gender
(Persfektif Islam) Marzani Anwar (ed.), (Jakarta : Tim Pemberdayaan
Perempuan Bidang agama departemen Agama RI, 2001) Hlm xi
[4] Abd al-Hayy
al- Farmawi , AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (Matba’ah al-Hadarah
al`Arabiyah, Kairo, 1977) Hlm 62
[5] Abdul Djalal,
Urgensi Tafsir Maudlu’i Pada Masa Kini, (Kalam Mulia, Jakarta, 1990) h
lm89
[6] Muhammad Baqir
Sadr, “Pendekaian Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an “, dalam Ulumul Qur an, Vol
I, No. 4, 1990, hal. 32-33
[10] Taufiq Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, Rush Karim
(ed), (Tiara Wacana, Yogyakarta,
1989) Hlm. 141
[11] Artikel
“perspektif Gender Dalam Islam” oleh Prof. DR. Nasaruddin Umar. Jurnal
pemikiran islam Paramadina, Volume I no. 1, Juli – Desember 1998, hlm. 96-97
[12] Ini menjadi
langkah awal operasional dalam perumusan metode tafsir maudlu’i, yakni
mengumpulkan ayat-ayat yang sesuai dengan masalah, dalam hal ini gender
[13]
Ditekankan dalam ayat
Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan
bahwa amal saleh harus disertai iman.
[14]
Maksudnya sebagaimana laki-laki
berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan
berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada
kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
[17] Ini menjadri Prosedur ke 4, Melengkapi
bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
[18] HR. Bukhari,
kitab Ahadits al-Anbiya’, bab Khalq Adam wa Dzurriyatihi,no.hadis
3084, juga diriwayatkan oleh imam Muslim
[19]
HR.
BUkhori, kitab al-Maghazi, babكتاب النبي الى كسرى
وقيمر, diriwayatkan juga oleh
al-Tirmidzi dan al-Nasaa’i
[20] HR. Bukhori,
kitab بدأ الخلق, bab ذكر الملائكة, diriwayatkan juga oleh Muslim dan Abu Daud
[21] Nurkholis Majid, Pluralisme Agama di Indonesia, dalam
Jurnal Ulumul Qur’an, no 3/vol VI , tahun 1995, 63
[24]
www. Ikadi.org/ikdai kajian/toleransi intoleransi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar