Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah
Alquran. Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi
sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alquran, oleh karena itu otentisitas
sumber Hadis adalah hal yang sangat penting.
Kitab-kitab hadis yang
beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang
disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara
kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat
menjadikan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek
kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun
dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak,
terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak
hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja.
Dalam tujuan mengetahui otentik atau tidak nya sumber Hadis tersebut
maka kita harus mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad dan matan.
Kedua unsur tersebut mempunyai hubungan fungsional yang dapat menentukan
eksistensi dan kualitas suatu Hadis. Sehingga sangat wajar manakala para
muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan penelitian, penilaian dan
penelusuran Hadis dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadis yang terdapat
dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat
dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dilakukan oleh Muhadditsin karena
mungkin ia menyadari bahwa perawi Hadis
adalah manusia sehingga dalam dirinya terdapat keterbatasan dan kelemahan serta
kesalahan.
Berangkat dari hal tersebut, makalah ini akan
sedikit menyajikan perihal metode kritik sanad dan matan hadis.
B.
Rumusan Masalah
Yang
menjadi pembahasan pada makalah ini adalah :
1.
Apa
Pengertian dan Cakupan Kritik Sanad dan Matan?
2.
Bagaimana
Sejarah dan Perkembangan Kritik Hadis?
3.
Apa Urgensi Kritik Sanad dan matan Hadist?
4.
Bagaimana
Langkah-langkah meneliti Sanad & Matan Hadist?
C.
Tujuan Masalah
Adapun
tujuan dari pembahasan diatas adalah :
1.
Mengetahui
definisi dan Cakupan Kritik Sanad dan Matan
2.
Mengetahui
Sejarah dan Perkembangan Kritik Hadis
3.
Mengetahui Urgensi Kritik Sanad dan matan Hadist
4.
Mengetahui Langkah-langkah meneliti Sanad & Matan
Hadist
Bab II
Pembahasan
1.
Pengertian dan Cakupan Kritik Sanad dan Matan
Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, bukan berarti
meragukan hadis Nabi Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis
sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun
karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat
menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis.
Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk
mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak
diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi
kritik Hadis.
Kritik hadis dikalangan ahli hadis dikenal dengan sebutan
(نقد الحديث) naqd al-hadis. Kata “an-naq” dari sisi bahasa adalah
berarti mengkritik, menyatakan dan memisahkan antara yang baik dari yang buruk.[1] Sedangkan makna kritik dalam konteks
ilmu hadis adalah cenderung kepada maksud kegiatan penelitian hadis, dan
bukan berarti sebuah kecaman terhadap hadis.
Sementara pengertian kritik hadis (naqd al-hadis)
secara terminologi adalah sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mustafa Azami berikut:
تمييز
الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
"Naqd al-hadis adalah upaya membedakan antara
hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menetukan kedudukan para
periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya." [2]
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa makna kritik hadis adalah suatu
kegiatan penelitian hadis untuk menemukan kekeliruan yang terdapat pada hadis
Rasulullah Saw. sehingga dapat ditentukan mana hadis dapat diterima dan mana
yang tidak, dan bagaimana kualitas periwayatan hadis yang bersangkutan.
Adapun kawasan kritik hadis adalah meliputi penelitian sanad
dan matan hadis, sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih
atau tidaknya sebuah hadis.
Sanad
menurut bahasa
berarti sandaran atau pegangan (al-mu’tamad).
Sementara pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis adalah jajaran
orang-orang orang-orang yang membawa hadis dari Rasul, Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ At- Tabi’in, dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis
tersebut.[3]
Sebagian
orang terkadang keliru dalam menyebutkan urutaan sanad dan rawi-nya
(periwayat). Oleh karena itu, penulis merasa penting menjelaskan perbedaan
urutan sanad dan rawi pada tabel berikut:
No. Urut
|
Sanad
|
Rawi (Periwayat)
|
1.
|
البخاري
|
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ
|
2.
|
عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ
|
أَبِي صَالِحٍ
|
3.
|
أَبُو عَامِرٍ
الْعَقَدِيُّ
|
عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
|
4.
|
سُلَيْمَانُ
بْنُ بِلَالٍ
|
سُلَيْمَانُ
بْنُ بِلَالٍ
|
5.
|
عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
|
أَبُو عَامِرٍ
الْعَقَدِيُّ
|
6.
|
أَبِي صَالِحٍ
|
عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ
|
7.
|
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ
|
البخاري
|
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkatan
periwayat hadis dengan tingkatan sanad hadis adalah bertolak belakang.
Karena orang yang menjadi sanad pertama dalam hadis tersebut adalah
disebut sebagai periwayat terakhir. Misalnya pada riwayat hadis di atas
sebagaimana telah diuraikan pada tabel bahwa Al-Bukhari adalah sanad pertama
atau periwayat terakhir.
Disamping
kata sanad, ada kata lain yang maknanya berdekatan dengan sanad,
yaitu kata isnad dan musnad. Menurut Al-Thibi sebagaimana
dikutip oleh Usman Sya’roni, kata isnad mempunyai
arti yang sama dengan sanad. Tetapi Usman Sya’roni kemudian menunjukkan
perbedaan diantara keduanya, yaitu isnad lebih menunjukkan kepada proses
periwayatan hadis, sedangkan sanad ialah susunan orang-orang yang
berurutan meriwayatkan sebuah materi hadis.[4]
Sementara
arti musnad ada empat, yaitu: Pertama, hadis yang
disandarkan kepada orang yang meriwayatkannya. Kedua, nama kitab yang menghimpun
hadis-hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat, seperti
kitab musnad Ahmad bin Hambal. Ketiga, kumpulan hadis yang
diriwayatkan dengan menyebutkan sanad-sanadnya secara lengkap,
seperti kitab musnad al-Syihab dan musnad al-firdaus. Keempat,
nama bagi hadis marfu’ (disandarkan kepada nabi) yang sanad-nya
muttasil (bersambung).[5]
Selanjutnya,
pengertian matan (al-matn) dari sisi bahasa adalah tanah yang meninggi,
ada pula yang mengartikan matan dengan kekerasan, kekuatan dan
kesangatan.[6]
Dengan demikian, pengertian matan dari sisi bahasa adalah menunjukkan nama bagi
segala sesuatu yang sifatnya keras, kuat, dan menjadi bagian inti.
Sementara
pengertian matan menurut istilah adalah sebagaimana dalam kutipan Totok
Jumantoro, Ajjaj Al-Khattib di bawah
ini:
الفاظ الحديث التى تتقوم بهامعا نيه
Artinya: “Lafadhz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna
tertentu”.[7]
Dengan
demikian maka yang dimaksud dengan matan al-hadits adalah materi/ berita/
pembicaraan yang diperoleh sanad terakhir, baik isi pembicaraan itu
tentang perbuatan Nabi Saw, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh
Nabi Muhammad Saw.
Kritik Sanad & Matan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan penelitian hadis untuk
menemukan kekeliruan yang terdapat pada hadis Rasulullah Saw. sehingga dapat
ditentukan mana hadis dapat diterima dan mana yang tidak baik dari segi
periwayat maupun materi hadist.
2.
Sejarah dan Perkembangan Kritik Hadis
Aktivitas kritik
hadis marak terjadi
pada abad ke-3 hijriyah. Namun hal tersebut
tidak menunjukkan bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan kritik hadis. Sebab ketika penelitian hadis dipahami (dengan
sederhana) sebagai upaya untuk membedakan antara hadis yang sahih dan
yang tidak sahih, maka kegiatan kritik hadis dalam bentuk yang begitu
sederhana telah muncul sejak masa Rasululullah masih hidup.[8] Munculnya
kegiatan penelitian/ koreksi terhadap hadis sejak masa Rasulullah Saw. masih
hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi terjaganya kemurnian dan keaslian hadis
yang telah diteliti kualitasnya. Sehingga dari sisi pendekatan sejarah, hadis
tersebut dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya.
a) Kritik Hadis Di Era Rasulullah Saw. Masih Hidup
Kritik hadis pada saat Rasulullah masih hidup sangat
mudah dilakukan para sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat
mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima itu melalui jalan
konfirmasi kepada Rasulullah Saw.[9]
Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada
masa Rasulullah bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap
pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan
adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga
kebenaran hadis sebagai sumber hukum Islam disamping Alquran,[10]
juga untuk mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan hadis yang langsung mereka
yakini kebenarannya dari Rasulullah Saw.[11]
Para ulama sepakat bahwa konfirmasi hadis di era Rasulullah ini dipandang
sebagai cikal-bakal lahirnya ilmu kritik hadis.[12]
b) Kritik Hadis Di Era Sahabat (Abad 1)
Pada era sahabat, metode penelitian hadis mulai
berkembang dengan pola yang bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini,
setelah wafatnya Rasulullah Saw. para sahabat seperti Abu Bakr Siddik, Umar Bin
Khattab dan Ali bin Abi Thalib kemudian mulai membuat suatu rambu-rambu atau
syarat diterimanya suatu hadits, antara lain misalnya dengan mengharuskan
kesaksian sahabat yang lain untuk membenarkan periwayatan hadis tersebut.
Pada masa khalifah Ali, perjalanan sejarah hadis semakin
digoyah oleh berbagai kasus manipulasi. Antara lain disebabkan peristiwa
terbunuhnya khalifah Utsman ibn `Affan pada tahun 35 H., serta peperangan Ali
dan Muawiyah yang kemudian berakibat pada perpecahan kaum muslim. Oleh karena hal tersebut maka pola tradisional penelitian
hadis yang dikenal
selama ini mengalami banyak cobaan
disebabkan munculnya berbagai hadis palsu yang mereka ungkapkan untuk tujuan atau
kepentingan politik atau kepentingan
membela golongan.[13]
Namun
walaupun perpecahan umat Islam memberikan
dampak negatif bagi persatuan kaum muslimin tetapi
ternyata peristiwa
tersebut juga memiliki implikasi positif bagi pengembangan struktur ilmiah metode kritik
hadis. Bahkan menurut Umi Sumbulah, momentum tersebut merupakan tonggak sejarah
bagi pengembangan sistem kerja penelitian hadis, karena hal tersebut telah memberikan
motivasi positif kepada para ahli hadis agar lebih efektif mengkaji
kriteria-kriteria hadis yang sahih ditinjau dari kondisi sanad dan
matan hadisnya.[14]
c) Penelitian Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga
Kodifikasi Hadis (Abad II-III).
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik
sosial politik yang memicu perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian
dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang
dengan sengaja memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal
atau kepentingan golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini
telah muncul hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan
ketua-ketua kelompok, kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci
kelompok-kelompok agama tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan
oleh orang Islam, Orang-orang non muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena
keinginan untuk meruntuhkan Islam.[15]
Munculnya pemalsuan hadis kemudian menuntut para ulama
yang hidup pada masa tabi’in dan sesudahnya untuk lebih bersikap ekstra
ketat dalam melakukan penelitian hadis. Hal tersebut antara lain dapat
dibuktikan dengan semakin ramainya aktivitas perjalanan ilmiah ke berbagai
pelosok daerah yang bermaksud mempelajari hadis Rasulullah Saw.
Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif
dalam merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadis, Hal
tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis yang
terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadis.[16]
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik
hadis pada abad ke II dan ke III antara lain adalah sebagaimana
ungkapan Malik dalam kutipan Umi Sumbulah berikut:
a.
Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang
selalu memperturutkan ambisi pribadinya (hawa nafsu).
b.
Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang
bodoh, yang dengan kebodohonnya itu ia kemudian membuat kebohongan atas nama
Rasulullah.
c.
Tidak meriwayatkan hadis dari seseorang yang
sebenarnya baik amal ibadahnya, namun hadis yang diriwayatkannya itu tidak
dikenal (umum).[17]
Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (abad
ke-II dan ke-III) telah mencakup kepada penelitian sanad
dan matan hadis. Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke seluruh pelosok
negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan,
Bukhara, Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya.[18]
Selanjutnya berkat kegiatan kritik (baca: penelitian) hadis
tersebut bermunculanlah di berbagai
negeri ini para peneliti hadis sepanjang masa. Mereka
senantiasa mengorbankan waktu
hanya untuk membersihkan hadis-hadis
dari kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir,
aktifitas penelitian hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis
yang ditandai dengan lahirnya karya-karya besar ulama mengenai hadits ditinjau
dari segala aspeknya. Sehingga sampai saat ini karya-karya fenomenal itulah
yang menjadi referensi utama dalam menilai sebuah hadits.[19]
Selanjutnya dilihat dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian
hadis, pada awalnya metode penelitian hadis tersebut hanya ditulis di pinggiran buku-buku
hadits seperti terdapat pada
kitab Musnad, Jawami’, Sunan dan lainnya. Ulama yang mencoba
memberikan komentar atau kritik terhadap beberapa hadits, hanya
meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis. [20]
Kemudian cara yang pertama
ini dirasakan kurang efektif dan tidak
cukup luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga para
ulama hadits kemudian berinisiatif menuliskan komentar-komentar
mereka dalam satu kitab tersendiri, yang
memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi agar penilaan
atas hadits benar-benar objektif. Hal
tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifatil
Rijâl, atau
Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah.[21]
Pada tahap selanjutnya, penulisan kitab rujukan kritik hadits
menjadi lebih sistematis lagi setelah dilakukannya pengkajian yang terpisah
antara penelitian sanad dengan penelitian matan hadis. Hal
ini digagas oleh pakar peneliti
hadits seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl dan’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya.[22]
3.
Urgensi Kritik Sanad dan Matan Hadist
Secara praktis, argumen yang mendasari
pentingnya penelitian hadis ini dapat ditinjau dari dua sisi utama, yaitu: pertama, terkait dengan
posisi hadis sebagai sumber hukum Islam setelah Alquran. Kedua, terkait
dengan historisitas hadis yang mengalami banyak ancaman.[23]
Dari dua sisi tersebut kemudian para muhadditsin mengemukakan beberapa
alasan yang mendasari pentingnya melakukan kritik hadis.
Pada tabel di abawah ini, penulis akan memetakan beberapa
urgensi kritik hadis ditinjau dari sisi perjalanan sejarah kritik hadis, yaitu
sebagai berikut:
No.
|
Periode
|
Urgensi Kritik Hadis
|
1.
|
Masa Hidup
Nabi Saw.
|
1.
Memberikan perhatian khusus kepada
sumber agama Islam.
2.
Mengokohkan hati sahabat dalam
mengamalkan ajaran Islam.
|
2.
|
Masa Sahabat
- Abad 1 Hijriyah
|
3.
Tidak seluruh hadis tertulis pada
masa Nabi Saw.
4.
Kedudukan hadis sebagai salah satu
sumber ajaran Islam mengharuskan sahabat untuk bersikap hati-hati dalam
menerimanya.
5.
Terjadi proses transformasi hadis
secara makna.
6.
Terjadi pemalsuan hadis.[24]
|
3.
|
Abad 2- 14
Hijriyah
|
7.
Penghimpunan hadis secara resmi
terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis.
8.
Terkadang kitab-kitab hadis hanya
menghimpunn hadis, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
9.
Muncul redaksi hadis yang
bertentangan. [25]
|
4.
|
Abad
15-Sekarang
|
10.
Memelihara khazanah keilmuan
Islam.
11.
Meminimalisir perbedaan pendapat
dalam kawasan produk hukum syari’at.
12.
Mendeteksi hadis dha’if dalam
kitab-kitab Islam yang terkadang dijadikannya sebagai dalil tuntunan amal
ibadah.
13.
Mengembangkan metodologi
penelitian hadis ke arah yang lebih baik agar umat muslim dapat menghadapi
tuduhan orientalis terhadap otentisitas hadis secara adil.
14.
Membangun sikap kehati-hatian
dalam memakai hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai landasan
ibadah sehari-hari atau bahkan sebagai landasan dalam menetapkan suatu hukum.
|
4.
Langkah-langkah meneliti Sanad & Matan Hadist
Secara
umum Langkah sistematis
dalam rangka meneliti sanad & matan hadist adalah sebagai berikut :
1)
Meneliti
Kondisi Periwayatan Hadis, Baik meneliti keadilan rawi maupun kapasitas
intelektual periwayat (dhabith)
2)
Meneliti
Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
3)
Meneliti
Keselamatan Sanad dari Syadz
4)
Meneliti
Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat
5)
Meneliti
Keselamatan Matan Hadis dari Syadz dan ‘Illat
Berikut akan
dipaparkan langkah-langkah tersebut satu-persatu :
1.
Meneliti Kondisi Periwayat Hadis
Ulama
hadis telah sepakat bahwa dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadis
adalah ke‘adilan dan kedabithannya. Ke‘adilan adalah
sesuatu yang berhubungan dengan kualitas pribadinya, sedangkan kedabithannya
adalah hal-hal yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua
hal itu (‘adil dan dabit) dimiliki oleh periwayat hadis, maka
periwayat hadis tersebut dinyatakan periwayat yang tsiqah.
a.
Meneliti Keadilan Perawi
Kata
adil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti
“tidak berat sebelah (tidak memihak) atau “sepatutnya; tidak sewenang-wenang”.[26]
Sementara pengertian adil yang dimaksud dalam ilmu hadits masih terjadi
perbedaan pendapat diantara ulama hadis. Sebagaimana Syuhudi Ismail menyebutkan
dalam kutipan Umi Sumbulah bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai
defenisi ‘adil. Namun dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat
dihimpunkan bahwa kriteria sifat adil pada umumnya adalah 4 hal berikut: [27]
1)
Beragama
Islam.
Dengan demikian seorang periwayat hadis ketika mengajarkan/ menyampaikan
hadis tersebut sudah dalam keadaan Islam. Berbeda dengan kondisi orang yang
menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam.
2)
Mukallaf
Seorang perawi hadis juga harus mukallaf, karena persyaratan ini
sudah jelas tertera didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang lupa, dan
anak-anak terlepas dari tanggung jawab.[28]
Tetapi dalam kondisi menerima hadis, para ulama jumhur menyetujui hadis
seseorang yang ketika menerimanya (tahammul) ia masih anak-anak yang
telah mumayyiz (umur ±5 tahun), dengan syarat bahwa ketika ia
meriwayatkan hadis tersebut ia telah dewasa.
3)
Melaksanakan
ketentuan agama (tidak berbuat fasik)
Dengan demikian seorang periwayat harus orang yang taat
melaksanakan ketentuan syari’at Islam.
4)
memelihara
moralitas (murū’ah)
Muru’ah merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Muru’ah adalah: tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi
dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa kecil,
terlebih-lebih berdusta, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang
menodai muru’ah. [29]
Dengan
demikian, maka para ahli hadis sefakat bahwa kriteria muslim dan dewasa adalah khusus
bagi orang yang menyampaikan riwayat hadis, dan tidak mensyaratkan keduanya
saat ketika seseorang menerima hadis.
Secara
umum ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits yaitu
berdasarkan :
1)
Popularitas
keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits; periwayat yang terkenal keutamaan
(kesalehan) pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri, tidak
lagi diragukan ke-‘adilan-nya.
2)
Penilaian
dari para kritikus (peneliti) periwayat
hadits; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada
pada diri periwayat hadits.
3)
Penerapan
kaidah al-Jarh wa at-Ta’dil ; cara ini ditempuh bila para peneliti
(kritikus) periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.[30]
Khusus
mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sunni mengatakan
bahwa seluruh sahabat rasulullah adalah adil, jadi tidak perlu diteliti lebih
lanjut lagi. Sedangkan golongan Mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat
yang terlibat dalam pembunuhan ‘Alī dianggap fasiq, dan periwayatannya ditolak.[31]
Jadi,
untuk mengetahui adil atau tidaknya seorang periwayat hadis haruslah
diteliti terlebih dahulu kualitas pribadinya dengan kesaksian para ulama, dalam
hal ini adalah dapat dilakukan dengan merujuk kepada kitab-kitab karya para
tokoh peneliti hadis (disebut juga krtikus hadis) yang secara khusus mengkaji
perihal periwayat hadis. Misalnya kitab tahzib al-kamal.
b.
Meneliti Kapasitas Intelektual Periwayat (Dhabith)
Pengertian
dhābit dari sisi bahasa berarti kokoh, kuat, dan hafal dengan sempurna.[32]
Sementara dari sisi istilah pengertian dabith masih dalam perselisihan
ulama. Namun perbedaan pendapat itu dapat dipertemukan dengan memberikan
rumusan berikut:
1)
Hafal
dengan sempurna hadis yang diterimanya.
2)
Mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain.
3)
Mampu
memahami dengan baik hadis yang dihafalnya. [33]
Dalam
rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur pokok dhabith adalah
terletak pada keistiqomahan dan konsitensi seorang perawi menjaga kemurnian
hadis mulai dari proses penerimaan hadis
hingga sampai penyebarannya, dan juga mampu memahami hadis tersebut dengan
baik, karena hadis tersebut tidak semuanya diriwayatkan secara lafdzi
(redaksional), tetapi ada juga dengan makna. Sehingga dengan demikian maka
tidak terdapat kesalahan dan penambahan atau pengurangan pada hadis yang
diriwayatkannya.[34]
Adapun
cara penetapan kedhābit-an seorang periwayat menurut pendapat Subhi
al-Shalīh adalah sebagai berikut :
1)
Kedhābitan
periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para ulama. Dalam hal ini,
peneliti harus menelusurinya pada kitab-kitab yang menjelaskan kedhabithan
periwayat. Seperti kitab tahzibut –tahzib.
2)
Kedhābitan
periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat
yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhābitannya.
Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke
tingkat harfiah. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari hadis lain (dengan
riwayat yang tsiqah) yang berkaitan dengan hadis yang bersangkutan. Dan
kemudian membandingkan kesesuaian teks hadisnya.
3)
Apabīla
seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat
dinyatakan sebagai periwayat yang dhābit. Tetapi apabīla kesalahan itu
sering terjadi maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi sebagai periwayat
yang dhābit.[35]
Karena
kapasitas intelektual perawi berbeda-beda sifatnya maka kualitas sifat dhabith
seorang perawi pun diklasifikasi kepada dua bagian, yaitu: [36]
a)
Dhabit sadri, yakni terpeliharanya
hadis yang diterimanya dalam hafalan,
sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya
itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan
mampu meriwayatkannya dengan sempurna.
b)
Dhabit kitab yaitu
terpeliharanya periwayatan melalui tulisan yang dimilikinya dengan mengingat
betul hadis yang ditulis, menjaga dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang
lain dengan benar.
2.
Meneliti Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
Adapun
yang dimaksud dengan sanad yang bersambung adalah bahwa tiap-tiap periwayat dalam sanad
hadits berjalinan erat dalam menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat
sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits
itu.[37]
Tidak
semua peneliti hadis melakukan penelitian terhadap perihal persambungan sanad.
Sebab sebahagian mereka berpikiran bahwa keadilan dan kedhabithan
sanad hadis cukup untuk menunjukkan bersambungnya sanad hadis.
Dengan demikian mereka hanya memperketat
penelitian perihal keadilan dan
kedhabithan sanad hadis saja. Diantara tokoh yang berpendapat
demikian adalah Sekh Muhammad Al-Ghazaly.[38]
Adapun
kriteria persambungan sanad di kalangan ahli hadits terjadi perbedaan
pendapat yaitu sebagai berikut:
a.
Imam
al-Bukhari mengklaim bersambungnya sanad apabila memenuhi dua kriteria,
yaitu:
1)
Al-Liqa’,
yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi
berikutnya, yang ditandai adanya suatu pertemuan langsung antara murid yang
memperoleh hadis dari gurunya.
2)
Al-Mu’asharah,
yakni apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru
dengan muridnya.[39]
b.
Sementara
Imam Muslim memberikan kriteria yang sedikit lebih longgar, menurutnya sebuah
hadis telah dikatakan bersambung sanad-nya apabila antara satu
perawi dengan perawi berikutnya sampai seterusnya ada kemungkinan bertemu
karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama, dan tempat tinggal mereka
tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu.[40]
Dengan demikian Imam muslim tidak mensyaratkan liqa’ sebagai salah satu
syarat dari bersambungnya sanad.
Jika
dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim sebagai mana di atas,
dapat di katakan bahwa kriteria al-Bukhari
yang layak menduduki peringkat pertama. Oleh karena demikian, maka
dengan mengacu kepada kriteria
kebersambungan sanad inilah salah
satu yang membuat posisi al-Bukhori menduduki peringkat pertama di bandingkan
dengan kitab hadist karya Muslim maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan
jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih al-Bukhari sebagai hadis paling utama.[41]
Disamping
al-liqa’ dan al-mu‘asharah sebagai kajian penelitian hadis yang
berkenaan dengan bersambungnya sanad, lambang-lambang atau kata-kata
yang dipilih sebagai metode periwayatan juga menjadi objek perhatian para
peneliti hadis.
Dalam
Kitab Ilmu Hadits ada 8 macam cara-cara periwayatan yaitu: as-sima’,
al-qirā’ah, al-Ijāzah, al-munāwalah, al-mukātabah, al I’lam, al-wasiyyah dan
al-wijādah. Kedelapan metode periwayatan tersebut
memiliki lambang-lambang yang menunjukkan perbedaan dalam tingkat akurasi
persambungan sanad hadis tersebut.[42]
Tingkat
akurasi tertinggi dalam metode periwayatan hadis menurut jumhur ulama adalah
metode al-sima’ dan al-qira’ah. Lambang-lambang yang di
disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan metode al-sima adalah:
1)
اخبرني dan اخبرنا. Artinya seseorang telah memberitakan kepadaku/ kami.
2)
حدثني dan حدثنا. Artinya
seseorang telah bercerita kepadaku/ kami.
3)
سمعت dan سمعنا . Artinya saya
mendengar dan kami mendengar.
Sedangkan
lambang-lambang yang tidak disepakati dalam periwayatan hadis dengan
menggunakan metode al-sima’ adalah: qãla lanã (قال لنا) dan dzakara lanã (ذكر لنا).[43]
Selanjutnya
lambang-lambang yang disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan
metode al-qira`ah adalah:
1)
قرأت عليه (qara`tu ‘alaihi)
2)
قرأت عليه (quri`at ‘alahi)
3)
حدثنا عليه (haddatsanã ‘alaihi)
4)
اخبرنا عليه (akhbaranã ‘alaihi)
5)
قرأت عليه (qara`tu ‘alaihi)
Sedangkan
lambang-lambang yang tidak disepakati penggunaannya dalam metode al-qira`ah adalah: sami’tu, haddatsanã, akhbaranã, qãla lanã dan dzakara lanã.[44] Untuk lebih detailnya, penjelasan materi
ini akan dibahas oleh judul makalah yang membicarakan indikasi mayor dan minor
kesahihan sanad dan matan hadis.
Adapun
langkah-langkah operasional untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad
hadis, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.
Mencatat
nama semua periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat untuk mengetahui kesesuaian zaman atau
hubungan guru-murid dalam periwayatan hadits tersebut.
c.
Meneliti
kata-kata atau lambang-lambang yang menghubungkan antara suatu periwayat dengan
periwayat yang terdekatnya dalam sanad sehingga diketahui cara
periwayatannya apakah metode al-sima’ atau al-qirã’ah atau yang
lainnya. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat lambang-lambangnya apakah
ia memakai kataسمعت, سمعنا, حدثني حدثنا atau
yang lainnya.[45]
3.
Meneliti Keselamatan Sanad dari Syadz
Mahmud
Thahan dalam kitab ‘Taisir Mushthalah al-Hadits” memberikan defenisi Syudzuz
sebagai berikut:
الشذوذ هو مخالفة الثقة لمن هو أوثق منه
Artinya: “Syudzudz ialah berbeda dengan hadits yang tsiqāt
atau berbeda dengan yang lebih tsiqāt daripadanya.”[46]
Pengertian
Sadz telah dalam suatu hadis telah mengalami perbedaan pendapat
dikalangan ulama. [47]
Namun dalam konteks ini, Imam Syafi’i (w. 204 H. / 820 M.) telah merumuskan syadz
sebagai hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi
riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang
tsiqāh juga. Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama hadits sampai
saat ini.
Metode
penelitian untuk mengetahui keadaan sanad yang terhindar dari syadz
suatu hadis dapat diterapkan dengan cara berikut:
1)
Semua
sanad yang memiliki matan hadis yang pokok masalahnya sama
dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dibandingkan.
2)
Para
perawi dalam setiap sanad diteliti kualitasnya.
3)
Apabila
dari seluruh dari perawi tsiqah ternyata ada seorang perawi yang sanadnya
menyalahi sanad-sanad yang lain, maka itulah dimaksudkan sebagai
hadis syadz.[48]
4.
Meneliti Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat
Mahmud
Thahan mendefenisikan ‘illat menurut istilah adalah sebagai berikut :
العلة سبب غامض خفي يقدح فى صحة الحديث مع أن الظاهر السلامة منها.
Artinya:“’Illat
ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya
menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak
shahih.”[49]
Menurut
Yusuf dalam kutipan Umi Sumbulah, kriteria illat dalam sebuah sanad hadis
dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.
Sanad yang
tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mauquf.
2.
Sanad yang
tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mursal.
3.
Terjadi
percampuran hadis dengan bagian hadis yang lain.
4.
Terjadi
kesalahan menyebutkan perawi, karena adanya rawi-rawi yang punya kemiripan
nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya tsiqah.[50]
Adapun
cara meneliti ‘illat suatu sanad hadits adalah dengan cara
membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang
isinya semakna.
5.
Meneliti Keselamatan Matan Hadis dari Syadz dan ‘Illat
Setelah
selesai melakukan penelitian terhadap sanad hadis, maka aktivitas
selanjutnya adalah kritik/ penelitian matan hadis. Adapun
unsur-unsur yang perlu diteliti pada matan hadis mengacu kepada kaedah
kesahihan matan hadis sebagai tolok ukurnya adalah terhindar dari syadz
dan ‘illah.[51]
Adapun kriteria syadz menurut Umi Sumbulah adalah; terdapat sisipan
ucapan perawi pada matan hadis, pembalikan teks hadis, dan kesalahan ejaan.[52]
Menurut
jumhur ulama hadits, karakteristik matan hadits yang memiliki syadz dan
‘illah adalah:
1)
Susunan
bahasanya rancu. Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan
memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu
tersebut.
2)
Kandungan
pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit
diinterprestasikan secara rasional.
3)
Kandungan
pernyataanya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, misalnya berisi
ajakan untuk berbuat maksiat.
4)
Kandungan
pernyataanya bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam).
5)
Kandungan
pernyataanya bertentangan dengan fakta sejarah yang mutawatir.
6)
Kandungan
pernyataanya bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun hadits mutawatir yang
telah mengandung petunjuk secara pasti. Contohnya:
أنا
خاتم النبين لا نبي بعدي إلا أن يشاء الله
7)
Kandungan
pernyataanya berada di luar jalur kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran
Islam; misalnya amalan yang tidak seberapa tetapi diiming-iming dengan
balasan pahala yang sangat luar biasa.[53]
Dengan
mengetahui karakteristik syadz dan ‘illah pada matan hadis maka
dapat disimpulkan bahwa matan hadis yang sahih adalah matan hadis yang terhindar
dari tujuh point di atas.
5. Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Hadis
Sebagaimana
objek penelitian hadis itu ada dua, yaitu sanad dan matan. Maka
adapun kitab-kitab tentang penelitian hadis juga muncul dari dua sisi objek
penelitian hadis ini, yaitu kitab-kitab yang dibutuhkan dalam melakukan
penelitian sanad atau sering juga disebut dengan kitab Rijal al-Hadis
dan kitab-kitab yang diperlukan dalam melakukan penelitian matan.
Kitab-Kitab
Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Sanad Hadis
Kitab-kitab
yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian sanad muncul dalam berbagai
bentuk dan sifatnya, mulai dari yang bersifat umum sampai kepada yang bersifat
khusus.
a.
Kitab-kitab Sanad Hadis Yang Bersifat Umum
1)
Al-Tarikh
al-Kabir
Kitab
ini merupakan karya terbesar Al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M), di dalamnya
terdapat 12.315 biografi periwayat hadis. Al-Bukhari menyusun nama-nama orang
secara alfabetis dengan ciri khas tertentu, dengan disesuaikan dari huruf
pertama dari nama itu dan nama ayahnya. Nama yang pertama diuraikan adalah
mereka yang bernama Muhammad, nama tersebut dipertimbangkan kemuliaan nama Nabi
Muhammad Saw., sebagaimana didahulukannya nama sahabat yang paling pertama,
dengan tanpa melihat nama ayah mereka. Setelah penulis menguraikan nama-nama
yang ditempatkan secara khusus itu, baru ia menguraikan nama-nama yang lain
secara alfabetis.[54]
2)
Al-Jarh wa al-Ta’dil
Kitab ini ditulis oleh Ibn Abi Hatim (wafat 327 H).
Nama-nama periwayat ditulis secara lengkap dengan menyebutkan nama ayah dan
gelarnya, kemudian diurut secara alfabetis. Yang paling menonjol dari kitab ini
adalah memberikan penilaian kualitas periwayat sesuai dengan nama kitab
tersebut, yaitu al-jarh wa ta’dil.[55]
b. Kitab-kitab Sanad hadis yang bersifat khusus
1) Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para
periwayat kitab-kitab tertentu, Seperti:
a) Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifah ahli al-Tsiqat wa al Saddat
Kitab ini dikarang oleh Abi Nashr Ahmad Ibn
Muhammad Al-Kalabadi (wafat 318 H). Kitab ini dikhususkan pengarangnya hanya
membahas biografi para periwayat dalam Sahih Bukhari.
b) Rijal al-Sahih Muslim
Kitab ini dikarang oleh Abi Bakr Ahmad Ibn Ali
Al-Asfahani yang dikenal dengan nama Ibn Manjuyah (wafat 428 H). Kitab ini
berisi para periwayat kitab Sahih Muslim secara khusus.
2) Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para
periwayat beberapa kitab hadis:
a) Kutub al-Tarajum al-Khassah bi Rijal al-Kutub al-Sittah
“Induk dari kitab-kitab yang termasuk dalam
kelompok ini adalah kitab al-Kamal fi Asma al-Rijal, karangan Abdu gani
Al-Maqdisi (wafat 600 H). Kitab ini merupakan kitab induk dalam kajian rijal
al-Hadis.
Kitab rijal yang termasuk dalam kelompok
ini adalah Tahzib al-Kamal oleh Al-Syahr Abu Hajjaj Yusuf Ibn Zakki
Al-Mizzi (wafat 742 H). Kitab Tahzib al-Kamal kemudian disempurnakan
oleh ‘Alaw Al-Din Al-maghlathay (wafat 762 H) dengan judul Ikmal Tahzib
al-Kamal. Karya Al-Mizzi di atas juga disusun ulang oleh Abu Abdillah Ibn
Ahmad Al-Zahabi (wafat 748 H) dengan judul Tahzib al-Tahzib. Ibnu hajar
Al-Asqalani juga menulis kitab dengan judul yang sama, yaitu Tahzib
al-Tahzib.
3) Kitab-kitab sanad hadis yang khusus memuat periwayat tingkat
sahabat:
a) Kitab Ma’rifah man Nazala min al Sahabah Sair al-Buldan karya Abu
al-Hasan Ali ibn Abdullah al-Madini (w.234)
b) Kitab al-Ma’rifah karya Abu Muhammad Abdullah ibn Isa al-Marwazi,
Kitab al-Sahabah karya Abu hatim Muhammad ibn Hibban Al-Busti,
c) Kitab Al-Istiab fi Marifah al-Ashab karya Abu Umar Yusuf ibn
Abdillah ibn Muhammad ibn Abd Barr al-Namiri Al-Qurtubi (w. 463)
d) Kitab Tajrid Asma al-Sahabah karya al-Hafiz Syams al-Din Abu
abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Asir (555-630),
e) Kitab al-Badr al-Munir fi Sahabah al-Basyir al-Nazir karya Muhammad
Qasim ibn Salih al-Sindi, dan lain-lain.[56]
4)
Kitab-kitab yang
secara khusus menghimpun para periwayat-periwayat Tsiqah saja, seperti:
a) Ali Ibn Abdullah Al-Madini (234 H) menghimpun periwayat hadis yang Tsiqah
dalam karyanya yang diberi judul al-tsiyat wa al Mutsabbitin yang
terdiri dari sepuluh juz.
b) Abu Al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah Ibn Shalih Al-‘Ijli (261 H) juga menghimpun
perwayat hadis yang tsiqah dalam koleksinya diberi judul Kitab
al-Tsiqah. Di dalam kitab ini, nama-nama periwayat hadis disusun secara
alfabetis.
c) Muhammad Ibn Ahmad Hibban Al-Busti (354 H) juga menghimpun periwayat hadis
yang tsiqah dalam satu kitab tertentu, yang diberi nama Kitab al-Tsiqat.,
nama periwayat dalam kitab ini disusun secara alfabetis.[57]
5)
Kitab-kitab
sanad hadis yang khusus mengkaji dan menghimpun periwayat dhaif:
a)
Kitab al-duafa’ wa al-Matrukin, karya
An-Nasa’i.
b)
Kitab al-Du’afa’, karya Abu Ja’far
Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili (w 323 H).[58]
Kitab-kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Matan Hadis
Kitab yang khusus membahas kritik matan belum
ditemukan pada awal awal perkembangan ilmu hadis. Namun, kitab tentang matan
telah muncul bersamaan dengan
berkembangnya ilmu hadis. Kitab yang membahas tentang matan hadis,
pertama muncul dalam bentuk penyelesaian hadis-hadis kontroversi, baik kontroversi
hadis dengan hadis sahih, hadis dengan akal, maupun dengan Alquran.
Adapun
kitab-kitab yang mengkaji seputar penelitian terhadap matan hadis antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab yang berjudul
ikhtilaf al-hadits untuk menyelesaikan
kitab yang kelihatannya saling bertentangan terutama yang menyangkut
hukum.
b. Imam Ibn Qutaybah Al-Dinuri (wafat 204 H) menulis kitab yang senada dengan
karya Imam Al-Syafi’i dengan judul Ta’wil Mukhtalif al-Hadits.
c. Shalah Al-Din ibn Ahmad
Al-Adabi menulis kitab berjudul Manhaj
naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi
d. Muhammad Thahir Al-Jawabi menulis kitab berjudul Juhud al-Muhadditsin fi
Naqd Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
e. Muhammad Mushthafa Al-A’zhami menulis kitab yang berjudul Manhaj al-Naqd
‘Inda al-Muhadditsin,
f. Yusuf Qardawi menulis kitab yang berjudul kayfa Nataamal ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyah, Muhammad Al-Ghazali menulis kitab yang berjudul Al-Sunnah
al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits.
Kitab-kitab
di atas berusaha menawarkan metodologi penelitian dan kritik matan hadis
serta berupaya mengidentifikasi hadis-hadis yang dianggap berseberangan dengan
sumber hukum yang lain.[59]
Bab III
Penutup
1.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik
hadis adalah suatu upaya untuk menyeleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian
dan membuktikan kemurnian dan keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga berarti
mendudukkan hadis sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam
kedua, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk
memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut.
Munculnya kegiatan penelitian/ koreksi terhadap hadis
sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi
terjaganya kemurnian dan keaslian hadis sampai masa sekarang ini. Namun untuk
mengantisipasi kepalsuan hadis atau ketidak murniannya akibat diriwayatkan oleh
orang yang rendah kapasitas intelektualnya, kurang kesalehannya (fasik), dan dipalsukan non Islam maka menjadi suatu
keharusan bagi kita untuk bersikap hati-hati dalam menerima hadis dengan
melakukan kritik atau penelitian terhadap kualitas sanad dan matan hadis
tersebut berdasarkan metode penelitian hadis yang tepat dan akurat.
2.
Saran
Saran penutup dari penulis adalah seharusnya setiap
muslim (khususnya pendidik atau kaum intelektual) mengkritisi atau meneliti
hadis-hadis yang akan digunakannya sebagai hujjah. Sebab apabila kualitas hadis yang digunakannya adalah lemah atau bahkan palsu maka hal tersebut akan berimplikasi terhadap kebenaran hukum
Islam yang dilahirkannya.
Praktek Kritik Sanad dan Matan
Ø Contoh Kritik Sanad
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ اَيُّوْبَ
وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ وَعَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيْعًا عَنْ اِسْمَاعِيْلَ
بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ اَيُّوْبَ حَدَّثَنَا اِسْمَاعِيْلُ بْنُ جَعْفَرٍ
قَالَ اَخْبَرَنَا الْعَلَاءُ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى
الْحُرْقَةِ عَنْ مَعْبَدِ بْنِ كَعْبِ السَّلَمِىِّ عَنْ اَخِيْهِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ كَعْبٍ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُوْلََ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ
امْرِىءٍ مُسْلِمٍ بِيَمِيْنِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ , فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : وَإِنْ كَانَ شَيْأً يَسِيْرًا
يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : وَإِنْ كَانَ قَضِيْبًا مِنْ أَرَاكٍ . ( رواه مسلم
).
Artinya :
“Yahya bin Ayyub, Quthaibah bin Sa’id,
dan ‘Alī bin Hujr semuanya telah memberitakan kepada kami dari Isma’īl bin
Ja’far. Ibnu Ayyub berkata: Telah memberitahukan kepada kami Isma’īl bin Ja’far
katanya: telah memberikan khabar kepada kami Al-‘Ala yaitu Ibnu Abdurrahman
maula Al-Hurqah dari Ma’bad bin Ka’ab As-Salami dari saudaranya yaitu Abdullah
bin Ka’ab dari Abū Umamah Al-Harits r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang
siapa yang mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, maka Allah telah mewajibkan
baginya api neraka dan Dia mengharamkan baginya surga”. Seseorang bertanya
kepada Rasulullah SAW., “Walaupun hanya sedikit, wahai Rasulullah ? “Beliau
menjawab, “Walaupun hanya setangkai daun pohon duri”. (HR. Muslim).
Tinjauan tentang para perawi :
Yahya
bin Ayyūb, nama
lengkap beliau adalah Yahya bin Ayyub Al-Maqabīri Abū Zakaria al-Ghadadi
al-Abīd. Dilahirkan pada tahun157 H dan wafat pada tanggal 2 Rabī’ul Awwal 234
H. Guru-guru beliau adalah Isma’īl bin Ja’far, Abdullah bin
Mubarak, Hasyim, marwan bin Muawiyah, Ibn Wahab, dan lain-lain. Sedangkan
murid-murid beliau adalah Imam Muslimi, Abū Daud, Imam Bukhari, Imam Nasā’i,
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Ibnu Syu’aib Al-Hirany mengatakan
bahwasanya Yahya bin Ayyub adalah seorang hamba pilihan Allah SWT. Imam
Husein bin Fahmi juga mengatakan bahwa Ibnu Yahya bin Ayyub adalah orang yang tsiqāh
(kuat), wara’, muslim yang baik, berkata-kata sesuai dengan sunnah.
Qutaibah
bin Sa’id, Nama
lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah
Ats-Tsaqafy. Ibnu Adi mengatakan: nama beliau adalah Yahya, sedangkan Qutaibah
adalah gelar. Sedangkan Ibnu mundah mengatakan : nama beliau adalah Alī.
Guru-guru beliau adalah : Malik, Al-Laits, Rasyidin bin Sa’ad, Isma’īl bin
Ja’far, Isma’īl bin ‘Alīyah, ibnu Dhamrah, Ibnu Usamah, Marwan bin
Mu’awiyah, dan lain-lain.Murid-murid beliau adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abū Daud, Imam Nasā’i, Imam TarmidziAhmad bin Sa’ad Ad-Darimy, Abū Bakar
bin Syaibah, dan lain-lain. Ibnu Mu’ayyan, Abū Hatim, dan Imam Nasā’i
mengatakan bahwa Qutaibah adalah orang yang tsiqāh (kuat). Imam Nasā’i
menambahkan, beliau juga dalah orang yang shuduq (dapat dipercaya).
Farhiyany mengatakan : Qutaibah adalah orang yang dapat dipercaya. Al-hakim
juga berpendapat: Qutaibah adalah orang yang tsiqātun ma’mun (kuat lagi
amanah).
Alī
bin Hujrin, Nama
lengkap beliau adalah Alī bin Hujrin bin Iyas bin Maqatil bin Makhadis bin
Masymarakh bin Khalid As-Sa’dy Abū Al-Husein Al-Maruzy. Guru-guru beliau adalah
: ayah beliau sendiri, ma’ruf al-Khiyath temannya Watsilah, Halaf bin KhAlīfah,
Isma’īl bin Ja’far, Isma’īl bin ‘Alīyah, dan lain-lain.
Murid-murid beliau adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tarmidzi, Imam
Nasā’i, Muhammad bin Alī bin Hamzah, dan lain-lain. Muhammad bin Alī bin Hamzah
mengatakan bahwa Alī bin hujrin adalah fhadilan, hafizhan (orang yang
mulia dan kuat hafalan). Imam Nasā’i mengatakan behawa Alī bin Hujrin adalah
orang yang tsiqātun ma’mun hafizhan (kuat dan amanah lagi kuat hafalan).
Al-Khathib mengatakan beliau adalah oranga yang dapat dipercaya, takwa, kuat
hafalan, dan hadits beliau terkenal di Meru.
Isma’īl
bin Ja’far, Nama
lengkap beliau adalah Isma’īl bin Ja’far bin Ibn Katsir Al-Anshary Az-Zarqy
Maula Abū Ishaq Al-Fary. Guru-guru beliau adalah abī Thawalah, Abdullah bin
Dinar, Rabī’ah, Ja’far Shadiq, Israil bin Yunus, Amru bin Abī Amru, ‘Ala
Ibn Abdurrahman, Muhammad bin Amru bin Abī Halhamlah, dan lain-lain.
Murid-murid beliau adalah Muhammad bin Jahdam, Yahya bin Yahya An-NisAbūri,
Sarih ibn Nu’man, Qutaibah bin Zanbur, Yahya bin Ayyub Al-Maqabīry, Alī
bin Hujrin, dan lainnya. Ahmad, Abū Zar’ah dan Imam Nasā’i
mengatakan bahwa Isma’īl bin Ja’far adalah orang yang tsiqāh (kuat).
Ibnu Mu’ayyan dan Ibn Sa’ad mengatakan bahwa Isma’īl bin Ja’far adalah tsiqāh.
Ibnu
Abdurrahman (Abū Al’Ala),
penulis belum dapat menemukan biografi beliau.
Ma’bad
bin Ka’ab As-Salami. Nama
lengkap beliau adalah Ma’bad bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari As-Salamy
Al-Madani. Guru-guru beliau seperti Ibnu Qatadah, Jabīr, saudara-saudara beliau
yaitu Abdullah bin Ka’ab dan Ubaidullah bin Ka’ab. Murid-murid
beliau seperti Wahab bin Kisan, Muhammad bin Amru bin Halhalah, ‘Ala bin
Abdurrahman, Walid bin Katsir, Ibnu Ishaq, Usamah bin Zaid Al-Laits,
Isa bin Muawiyah, dan lain-lain.
Abdullah
bin Ka’ab, Nama
lengkap beliau adalah Abdullah bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari As-Salamy
Al-Madani. Guru-guru beliau adalah Abī Ayyub, Abī Lubabah, Abī Umamah bin
Tsa’labah, Utsmān bin Affān, Ibnu Abbas, Jabīr, dan lainnya. Sedangkan
murid-murid beliau adalah anak beliau sendiri yaitu Abdurrahman,
saudara-saudara beliau seperti Abdurrahman, Ma’bad bin Ka’ab, Zuhri
bin Ibrahim, Abdullah bin Abī Umāmah bin Tsa’labah, dan lannya. Pendapat para
ulama tentang beliau, seperti Abū Zar’ah mengatakan bahwa beliau orang yang tsiqāh,
Ibnu Sa’ad mendengar dari Utsmān bahwa Abdullah bin Ka’ab adalah orang yang
tsiqāh.
Abū
Umamah, Nama
lengkap beliau adalah Abū Umamah Iyas bin Tsa’labah bin Al-Harits Al-Anshari
Al-Khajraji. Dia tidak menyaksikan Perang badar karena orang tuanya terkena
sakit dan telah mendapat izin dari Rasulullah SAW untuk tidak mengikuti Perang
Badar tersebut. Abū Umamah adalah seorang sahabat yang memiliki banyak hadits.
Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Zaid bin Al-Muhajir dan anaknya
Abdullah bin Umamah.
Imam
Muslim. Nama
lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abūl Husain an-NaisAbūri.
Wafat: 261 H. Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb, Ibn Abī Syaibah, Ahmad
bin Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru. Murid-muridnya antara lain: Ahmad
bin salamah, Ibrahim bin Abū Thalib, Abū Amru al-Kharaf. Derajatnya: Menurut
Abī Hitam: Tsiqāh, al-Jarudi berkata: Ia sangat banyak mengetahui
hadis. Ibn Qasim: Tsiqāh.
Contoh Kritik
Matan
Kita kerap
mendengar potongan hadist berikut:
إِخْتِلاَفُ أُمَّتي رَحْمَةٌ
"Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat".
Namun tahukan kita bagaimana matan dari hadist
tersebut? Ataukah hanya sepotong kalimat
tersebut?
Syekh Nashiruddin
al-Albani menilai bahwa hadis ini tidak
ada dasar dan sumbernya (لاَ أَصْلَ لَهُ). Sebuah
hadis harus terdiri dari unsur sanad dan matan. Hadis yang dibicarakan ini belum
pernah ditemukan sanadnya, sebab
memang bukan sabda Nabi SAW. Hadis yang ada sanadnya adalah hadis yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
مَهْمَا أُوْتِيْتُمْ مِنْ كِتَابِ
اللهِ فَالْعَمَلُ بِهِ لاَ عُذْرَ لأَحَدٍ فِيْ تَرْكِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ
كِتَابِ اللهِ فَسُنَّةٌ مِنِّيْ مَاضِيَةٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ سُنَّةٌ مِنِّيْ
فَمَا قَالَهُ أَصْحَابِيْ إنَّ أَصْحَابِيْ بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي
السَّمَاءِ فَأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِيْ
لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Selagi kamu telah diberi kitab Allah, maka ia harus diamalkan.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya. Apabila tidak ada
keterangan dalam kitab Allah, maka (kamu harus memakai) Sunnah daripadaku yang
berjalan. Apabila tidak ada keterangan dalam Sunnah, maka (kamu harus memakai)
pendapat para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku itu ibarat bintang-bintang
di langit. Mana yang kamu ambil pendapatnya, kamu akan mendapatkan petunjuk.
Dan perbedaan (pendapat) para sahabatku itu merupakan rahmat bagi kamu”.
Hadis ini diriwayatkan Baihaqi
(458 H/1067 M) dalam kitabnya al-Madkhal ilâ as-Sunan al-Kubrâ,
al-Khathib al-Baghdadî (463 H/1072 M) dalam kitabnya al-Kifâyah fî `Ilm
ar-Riwâyah. Di antara periwayat dalam
sanadnya bernama Juwaibir dan adh-Dhahhak. Ibn Hajar al-`Asqalânî (852
H/1449 M) dalam Tahdzîb at-Tahdzîb (1404 H/1984 M, II: 123) dan
adz-Dzahabî (748 H/1347 M) dalam Mîzân al-I`tidâl fî Naqd ar-Rijâl
(1382 H/1963 M, I: 427) menyebutkan bahwa Juwaibir
dinilai sebagai munkar, matrûk, dan dzâhib al-hadîts
(pemalsu hadis). Adh-Dhahhâk diklaim menerima hadis tersebut dari Ibn Abbas,
padahal ia tidak pernah bertemu dengan Ibn Abbas. Dengan demikian, hadis
tersebut kualitasnya sangat daif, yakni matrûk (tertolak). Bahkan
al-Albani menilainya sebagai hadis palsu.
Dilihat dari segi kandungannya, bahwa perbedaan
pendapat adalah rahmat. Hal ini belum tentu, sebab boleh jadi perbedaan
pendapat justru menjadi laknat. Bukankah perbedaan pendapat itu biasanya
merupakan pemicu awal terjadinya pertentangan. Pertentangan membuka peluang
terjadinya perpecahan. sehingga tidak mau bekerja sama apalagi bersatu.
Perbedaan pendapat dalam masalah aqidah dan tauhid, khususnya mengenai kesaan
Allah adalah tidak boleh. Sedang perbedaan pendapat dalam masalah fiqh yang
bersifat furu`iyah (bukan prinsip) adalah boleh saja. Dalam ilmu fiqh
ada lembaga ijtihad sebagai bentuk pengakuan adanya perbedaan pendapat itu.
[2] Muhammad
Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda
al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu (Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990),
hlm. 5.
[3] Ramli Abdul
Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung:
Cita Pustaka Media, 2005) hlm. 23-27
[4] Usman
Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hlm.
10-11.
[5] Ibid., hlm. 12.
[7] Ibid., hlm.
122.
[8] Umi Sumbulah, Kritik
Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),
hlm. 32-33
[9] Ibid.
[12] Jalal al-Din Al-Syuyuti, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, (ttp.:
Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th.), juz
II, hlm. 45.
[13] Muhammad
Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda
al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu, hlm. 8.
[15] Usman
Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002), hlm. viii.
[16] Umi Sumbulah, Kritik
Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 40-41.
[17] Ibid., hlm.
43.
[19] Muhammad Ali Qasim al-Umri, Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsîn, (Yordan: Dar An-Nafais, 2000), hal. 11.
[20] Ibid., hlm. 17.
[22] Ibid.
[23] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, hlm. 183.
[25] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa
mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963), hlm. 43.
[26] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1985), Cet ke-8, hlm. 16.
[27] Umi Sumbulah, Kajian
Kritik Hadis; Pendekatan Historis
Metodologis, hlm. 63-64.
[28] Ibid.
[29] Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm.
43.
[30] Syuhudi
Isma’īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Sejarah¸(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), hlm. 134.
[31] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.
131 - 132 .
[32] Syuhudi
Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), hlm. 69.
[33] Suryadi dan
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 104.
[34] Umi
Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 117.
[36] Usman
sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hlm.
36-37.
[37] Subhi
al-Shalīh, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin,
1977), cet IX, hlm. 145.
[38] Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 102.
[39] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, hlm. 113-114.
[40] Ibid., hlm.
114.
[41] Umi Sumbulah,
Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Op., Cit. hlm. 46.
[42] Ibid., hlm.
67-76.
[43] Ibid.,h, 68.
[44] Umi
Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op.,
Cit,. h. 70.
[45] Syuhudi
Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 128.
[46] Mahmud Thahan,
Taisir Mushthalahul hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), hlm. 30.
[47] Al-Hakim
an-Naisaburi (w.405 H / 1014 M) mengemukakan bahwa hadits syudzudz ialah
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi orang yang tsiqāh
lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Abū Ya’la al-Khalili (w.446 H)
mengemukakan hadits syudzudz ialah hadits yang sanadnya hanya
satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqāh maupun tidak bersifat tsiqāh.
Sumber: Ahmad bin Alī bin Hajar al-‘Asqalani, Nuzhatun Nazar
Syarh Nukhbah al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th), hlm. 20.
[48] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, Op.Cit., hlm. 185-186.
[49] Mahmud Thahan,
Taisir Mushthalahul hadits, 30.
[50] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, hlm. 186.
[51] Umi Sumbulah, Kritik
Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 103.
[53] Salahuddin bin
Ahmad al-Adlabī, Manhaj Naqil Matn, (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah,
1403 H./ 1983 M), hlm. 237 – 238.
[54] Ibid., hlm.
25.
[55] Ibid.
[56] Suryadi dan
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Op.Cit., hlm. 117.
[57] Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 27-28.
[58] Ibid.
[59] Ibid., hlm.
61-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar