Sabtu, 02 Februari 2013

Tafsir Sufi (Kajian Perspektif Maqam-maqam)


Bab I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Kajian atas Islam dengan begitu saja mengabaikan Al-Qur’an, merupaka suatu langkah yang tidak menemuan validitas kajian yang memadai[1]. Sebab, dalam keimanan Islam, Juga termaktub dalam QS Al-Baqarah : 185 bahwasannya Al-Qur’an dipandang sebagai petunjuk bagi umat manusia, yang dengan nyata menempati posisi penting dalam pemikiran dan peradaban umat Islam.
Studi terhadap al-Qur’an dan tafsir berikut metodologinya sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya al-Qur’an hingga sekarang. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqa’i) yang tak terbatas.
Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalihin li kulli zaman wa makan (al-Qur’an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat). Karenanya, sebagaimana dikatakan Muhammad Syahrur, al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia. Kebutuhan manusia akan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh manusia mengharuskan mereka untuk mengorek lebih dalam jawaban yang disediakan oleh al-Qur’an. Hal senada juga diungkapan pendahulu Muhammad Syahrur, Hasan Hanafi. Yang memiliki pemikiran bahwa perlu ada pembaharuan dalam kehidupan kaum muslim. Khususnya dalam ranah membaca teks al-Qur’an (penafsiran).[2]
Dalam kajian studi al-Qur’an, salah satu relevansi dan fungsi al-Qur’an adalah menjadi pedoman hidup yang senantiasa mengiringi zaman. Pendekatan untuk hal itu adalah penafsiran al-Qur’an itu sendiri kedalam ranah-ranah zaman yang sedang berlangsung dan menggejala. Tentu dengan dilandasi keilmuan dalam pendekatan tersebut.
Al-Qur’an adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah.
Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.
Ranah sufisme, memiliki sebuah petak atau corak tersendiri dalam kajian tafsirnya.[3] Terdapat 2 corak tafsir yang dikenal dalam ranah sufisme yakni Tafsir Suf[4]i Isyari dan Tafsir Nadzari.[5] Dalam ranah Sufi juga dikenal istilah Maqamat (maqam). Sebuah pengistilahan untuk menggambarkan tahapan atau tingkatan spiritual yang dicapai oleh seorang sufi. Bagaimana korelasi antara tafsir dan maqom tersebut?
Dari sedikit pemaparan diatas makalah ini dihaturkan dengan pembahasan Tafsir Sufi, Perspektif kajian maqam-maqam.

B.     Rumusan Masalah
Pada makalah ini, pembahas akan menitik beratkan pembahasan pada rumusan berikut :
1.      Bagaimana pengertian dan sejarah tafsir sufi?
2.      Bagaimana pengertian maqam?
3.      Bagaimana konsep sufi dan maqam dalam al-Qur’an?

C.    Tujuan Masalah
Yang menjadi tujuan dari rumusan diatas adalah :
1.      Mengetahui perngertian dan sejarah tafsir sufi
2.      Mengetahui pengertian maqam
3.      Mengetahui konsep sufi dan maqam dalam al-Qur’an
















Bab II
Pembahasan

1.    Pengertian dan Sejarah Tafsir Sufi
Kata sufi ini mempunya banyak pengertian salah satunya ialah bahwa suf (صوف) berasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Namun, tidak semua orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasala dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti jirnih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Gerakan kaum sufi juga dikenal dengan tasawuf.
Dapat disimpulkan bahwa  dimaksud dengan tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi.[6] Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari.
Tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”
Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untuk menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati[7] Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur’an.
Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an. Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata”.
 Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan Tafsir yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.[8]
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’an-lah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan di sinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah Al-Taftazani. Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri.[9]

2.    Pengertian Maqam
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan.[10]
Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan bahwa  maqam  adalah keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya.  Jika diperhatikan beberapa pendapat sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan.[11]
Dalam konsep Sufistik, permasalahan yang kerap muncul seputar pembahasan maqam adalah metode dan cara mencapainya (maqam). Dalam dunia sufistik dikenal istilah insan kamil, yakni sebutan untuk sosok manusia yang mencapai derajat (maqam) kesempurnaan.
Maqamat merupakan proses verivikasi yang harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan ideal, melalui proses verivikasi jiwa diminimalkan kecenderungan kepada materi, Dalam konteks ini, Seseorang harus terlepas dari keinginan hawa dan nafsu pribadinya dan hanya mengikuti keinginan dan iradah Tuhan.
Adapun tata cara sistematis meninggalkan keduniaan guna mencapai tujuan yang telah tersebut, disebut dengan  Maqamat.[12]
Adapun Ahwal merupakan keadaan atau karakter spiritual yang diberikan Tuhan ketika sesorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqamat. Adapun pada perkembangannya muncul istilah-istilah sufistik yang kita kenal dalam literarut seperti : Wahdah al-wujud, Wahdah al-Syuhud, Ahwal, Maqamat, Hulul.[13]
Begitupun pengistilahan terhadap maqam per maqam yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan. Seperti contoh dalam Ta’aruf li Madzhab ahl al-Tasawuf Karya Muhammad al-Kalabazi mengidentifikasi tingakatan-tingkatan tersebut sebagai berikut[14] :
1)      Taubat
2)      Mujahadah
3)      Zuhud
4)      Khauf  dan Raja’
5)      Faqr
6)      Sabar
7)      Cinta dan Rindu
8)      Wara’
9)      Uns
10)  Riyadah
11)  Ma’rifah

3.    Konsep Sufi dan Maqam dalam al-Qur’an

3.1 Sufi dalam al-Qur’an
Al-Qur’an adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus (terkikis) oleh dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah.
Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, Isyarat adalah bagi orang khusus, Lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan Haqaiq adalah bagi para Nabi.[15]
Ibn Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin memperoleh ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, hendaklah ia membaca Al-Qur’an.” Seorang sufi mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terhimpun semua ilmu yang ada di dunia. Ini sejalan dengan keterangan Al-Qur’an sendiri, yakni al-Qur’an adalah “penjelasan bagi segala sesuatu” (Q.S. 6:6) dan “Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sesuatupun” (Q. S. 6:38). Maka, tak heran jika dikatakan bahwa mu’jizat terbesar dari Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an.
Tentu saja pencapaian ilmu macam ini tidak bisa diperoleh dengan tafsir lahiriah atau akal/rasio. Dalam kasus pengetahuan Wahyu Ilahi, agar bisa memahami dan menguraikan pesan-pesan yang dikandungnya, kita mesti membersihkan diri kita; atau, dalam bahasa Islam, kita harus menjadi “buta huruf” (ummi). Pada dasarnya kita tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memahami wahyu; kita hanya bisa menempatkan diri kita sepenuhnya dalam kekuasaan Wahyu. Maka, agar makna terdalam dari Wahyu bisa dipahami, kita mesti menghentikan pemikiran dan refleksi intelektual atau akal, sebab dalam dirinya sendiri akal adalah terbatas dan pemikiran rasional boleh jadi dipengaruhi oleh kondisi jiwa yang kurang bersih.
Sedangkan kebenaran Wahyu adalah suci dan tak terbatas, karena ia dari dan merepresentasikan Tuhan Yang Maha TakTerbatas ilmu-Nya. Yang terbatas mustahil menguasai yang tak terbatas. Jadi, Ketika hati sepenuhnya aman dari pemikiran reflektif dan lintasan-lintasan pikiran, maka ini adalah keadaan “buta huruf” dan siap menerima anugerah petunjuk Allah secara sempurna — inilah makna mistis dari fakta bahwa “Muhammad adalah Nabi yang buta huruf.”
Di sisi lain, perkataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an secara tersirat menyatakan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an tak lain adalah diri kita sendiri. Yang dimaksud oleh Sufi dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya sudah berada dalam diri kita sendiri. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarinya “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31). Penamaan karenanya menjadi bagian dari sifat manusia, karena Allah mengajari manusia bahasa pada saat penciptaannya.
Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam adalah pengetahuan-Nya, yang “disimpan” dalam “tubuh” Adam. Jadi setiap bagian tubuh kita mengandung aspek tertentu dari nama-nama Ilahi. Dengan kata lain, realitas tubuh manusia adalah nama-nama yang memantulkan Citra-Nya: “Allah menciptakan Adam sesuai dengan Citra-Nya.” Setiap tubuh memantulkan nama-nama yang berbeda. Jadi kita membeda-bedakan realitas melalui diri kita, karena kita adalah citra yang beragam dari satu Tuhan. Dengan cara yang sama, kita membedakan segala sesuatu dengan memberi nama (misalnya, kita membedakan tempat duduk dan tempat tidur dengan memberinya nama kursi dan ranjang).
Menurut pandangan Sufi, masalahnya adalah kita melupakan bahwa Allah telah mengajari kita nama-nama segala hal ini sejak awal penciptaan kita. Karena itu, untuk mengetahui “nama-nama” ini dan mengungkapkan hakikatnya, kita harus tahu nama-nama itu persis sebagaimana Allah mengajarkannya kepada kita, bukan sebagaimana yang kita pikirkan sendiri. Hal ini hanya bisa dicapai dengan mencintai Allah.
Mencintai Allah, dalam ajaran Islam, hanya bisa dicapai melalui peniruan perilaku dan mengamalkan ajaran Rasulullah Muhammad. Maka, dengan mencintai Rasul, kita akan mencintai Allah, dan Allah akan mencintai kita dan melalui lantaran cinta inilah Allah akan mengingatkan kita kembali tentang “nama-nama segala hal” dan kita akan memandang sesuatu sebagaimana adanya (hakikat), bukan sebagaimana yang kita pikirkan.
Jadi, ringkasnya, dengan menjadikan diri kita “buta huruf,” dan mengikuti suri tauladan akhlak Nabi Muhammad, yakni akhlak Al-Qur’an, pada akhirnya akan membuat kita mendapat petunjuk untuk memahami makna terdalam dari al-Qur’an — “maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya; ikutilah [akhlak] Nabi [Muhammad] agar kamu memperoleh petunjuk” (Q.S. 7:158).
Kemudian, menurut Sufi, Al-Qur’an turun pada “Malam Kemuliaan” (Q.S. 97:1) dalam bentuk pengetahuan Allah yang utuh tak terbedakan, sebagai “totalitas kalimat” (jawami’ al-kalim) yang “dipatrikan” ke dalam hati Rasulullah. Wahyu tidak turun melalui “pikiran” Nabi, tetapi ke dalam seluruh keberadaannya, atau dalam “tubuh” Nabi yang dipercaya untuk melaksanakan dan mengamalkan titah Allah; seperti kata Aisyah, “Rasulullah adalah Qur’an yang berjalan.” Wahyu turun pada “malam,” yang melambangkan kerahasiaan yang tersembunyi, seperti kegelapan menyembunyikan sesuatu, dan juga malam adalah suasana yang menebarkan aroma misterius, seperti ada khazanah tersembunyi yang mesti diungkap agar diperoleh manfaatnya. Malam (Layla) dalam tafsir Sufi juga melambangkan “Zat Tuhan” yang tersembunyi dari pengetahuan siapapun. “Kegelapan” misteri haruslah diterangi dengan “Cahaya” yang terangnya “melebih seribu bulan,” yakni cahaya yang amat terang tetapi tak menyilaukan seperti matahari, sebab cahaya matahari justru membutakan. Dan dengan “cahaya seribu bulan” itulah tersibak apa-apa yang tersimpan dalam rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu saja yang bisa menerangi misteri Ilahi hanyalah cahaya Ilahi saja. Maka, manusia harus meraih anugerah cahaya ilahi ini, yang bisa diakses oleh manusia melalui pensucian jiwa, melalui zikir, sebab seperti kata Syekh Athaillah As-Sakandari, “Zikir adalah cahaya yang menerangi.” Tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa), karena itu, adalah kunci pertama dan utama dalam membuka rahasia Al-Qur’an.
Tetapi jelas pula bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan hanya kepada golongan elit spiritual seperti Nabi dan Wali Allah, tetapi juga kepada seluruh manusia yang bertingkat-tingkat kedudukan ruhaninya. Karena manusia dalam dirinya sendiri adalah “terbatas” dan memiliki banyak kekurangan, maka Allah berkenan mengejawantahkan Wahyu, yang tak lain adalah representasi Tuhan itu sendiri, ke dalam bentuk yang bisa dipahami manusia, agar manusia bisa mengenal Tuhannya melalui sarana Wahyu itu. Jadi, sebagaimana kita lihat sekarang, Al-Qur’an diajarkan dalam bentuk kalimat, yang tersusun dari kata, yang tersusun dari huruf. “Kalimat adalah dari huruf, dan huruf adalah dari udara, dan udara adalah dari Nafas al-Rahman.” demikian kata Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Untuk memahami kalimat ini manusia memerlukan kehadiran dari al-Rahman, yakni Tuhan, karena hanya karena Dia-lah yang bisa menghidupkan apa-apa yang menjadi kandungan dari kalimat-kalimat itu.
Karena, seperti telah disinggung di atas, Al-Qur’an, atau “Kalimat Allah,” tak lain adalah makhluk termasuk manusia, maka unsur penyusun dari seluruh ciptaan tak lain adalah “huruf” dari tiupan “Nafas al-Rahman.” Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia, yakni tiupan rahmat, maka kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam Diri-Nya dihidupkan. Jadi, huruf-huruf dihidupkan, dihubungkan dan dibentuk menjadi makhluk atau kalimat-kalimat. Setiap huruf, seperti ditunjukkan dalam ilmu fonetik modern, adalah tempat di mana nafas berhenti atau dibelokkan. Kombinasi huruf menjadi kalimat, dan kalimat menyampaikan makna dari si pembicara, yakni Allah SWT. Karenanya dikatakan bahwa barangsiapa ingin bercakap dengan Allah hendaklah ia membaca al-Qur’an.
Penafsiran Sufi atas makna rahasia (batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan batin).[16]
Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat, sebuah kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.” Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin. Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak langsung tempat kedudukannya (matla’).”
Al-Tirmidhi menyatakan bahwa semua ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya berasal dari Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah mengajari Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari “nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata. Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi (perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna.




3.2  Maqam dalam al-Qur’an

Seperti telah dijabarkan diatas bagaimana kedudukan al-Qur’an dalam kajian sufistik. Lebih dalam lagi akan dijabarkan mengenai maqam dalam lingkup yang ada dalam al-Qur’an.
Mafatih al-Gayb,  Karangan Fakhr al-Raziy menjadi serangkaian model mengenai kajian tentang topik-topik maqam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Fakhr al-Raziy mengklasifikasikan Penjelasan maqam ini pada 2 pembahasan, pertama penjelasan maqam-maqam yang ada dalam al-Qur’an  dan kedua penjelasan mengenai maqam-maqam dalam kedudukan tinggi (puncak) yang terdapat dalam al-Qur’an.[17]
Berikut akan sedikit dijabarkan mengenai maqam-maqam tersebut, dimulai dari penjabaran maqam-maqam yang ada dalam al-Qur’an :
1)      Maqam Ibrahim
Salah satu ayat yang mengandung kata maqam adalah ayat yang bercerita perihal nabi Ibrahim. Yang terdapat dalam al-Baqarah 125 :
 (#räσªB$#ur `ÏB ÏQ$s)¨B zO¿Ïdºtö/Î) ~?|ÁãB (
dan jadikanlah maqam Ibrahim tempat shalat
Secara kolektif Fakhr al-Raziy mengemukakan bahwa Maqam Ibrahim  adalah tonggak awal kenabian. Dimana terjadi ketika pembangunan kabah. Tersurat bahwa segala sesuatu dipusatka kepada Allah, seperti halnya sholat yang kiblatnya berpusat di Kabah.

2)      Maqam Amin
Term maqam  juga terdapat dalam surah al-Dukhan 51-52 :
¨bÎ) tûüÉ)­FãKø9$# Îû BQ$s)tB &ûüÏBr& ÇÎÊÈ Îû ;M»¨Zy_ 5cqãããur ÇÎËÈ
51.  Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman,
52.  (yaitu) di dalam taman-taman dan mata-air-mata-air;

Dalam penjelasan ini al-Raziy mengatakan :
ان يكون أمنا عن جميع ما يجاف ويحذرو وهو المراد من قوله (فى مقام أمين)
Menjadi  aman dari segala sesuatu yang menakutkan dan mengkhawatirkan adalah makna dari maqam amin.

3)      Maqam Mahmudah
Allah  berfirman dalam Q.S Isra’ ayat 79 :
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7tƒ y7/u $YB$s)tB #YŠqßJøt¤C ÇÐÒÈ
79.  Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.

Maqam mahmudah memiliki dua pengertia, bangkit dengan perilaku terpuji dan di maknai secara dhahir. Adapula yang memaknai syafa’at. Dari term tersebut disimpulkan bahwa ini menjadi harapan yang akan dicapai manusia dalam perjalanannya menuju Allah.

4)      Maqam Karim
Allah berfirman dalam al-Dukhan 25-27 :
óOx. (#qä.ts? `ÏB ;M»¨Zy_ 5bqãŠããur ÇËÎÈ 8írâãur 5Q$s)tBur 5OƒÌx. ÇËÏÈ 7pyJ÷ètRur (#qçR%x. $pkŽÏù tûüÎgÅ3»sù ÇËÐÈ
25.  Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan,
26.  Dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah,
27.  Dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya,

al-Raziy mengatakan :
والمراد بالمقام الكريم ما كان لهم من المجلس والمنازل الحسنة
Maksud dari maqam karim adalah kedudukan atau tempat yang baik.

Kemudia al-Raziy mengtip pendapat Mujahid yang mengatakan bahwa Karim tersebut bermakna mereka belum sepakat untuk taat kepada Allah. Dan mengingkarinya, pengertian ini kemudian melahirkan tiga bentuk pemahaman,  bermakna nasib mereka dikeluarkan (keluar dan menyusun), mengalirkan, dan bermakna diangkat.

5)      Maqam Rabbih
Allah berfirman dalam surat al-Rahman : 46
ô`yJÏ9ur t$%s{ tP$s)tB ¾ÏmÎn/u Èb$tF¨Zy_ ÇÍÏÈ
46.  Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga[18]

Al-Raziy mengatakan bahwa ketika disebutkan kata “takut” disebutkan pula “maqam” dan pada “kebaikan” disebut “karim”. Tentang makna maqam rabbih,  terdapat dua pandangan, pertama maqam yang ada disisi Tuhan, kedua yakni maqam Tuhan diartikan bahwa Allah berada diatas hamba-Nya.
Kata خاف diartikan takut karena merendah dan membesarkan keagungan Allah.



6)      Maqamiy
Dalam surat Ibrahim : 14 Allah berfirman :
ãNä3¨YoYÅ6ó¡ä^s9ur uÚöF{$# .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ 4 šÏ9ºsŒ ô`yJÏ9 š%s{ ÍG$s)tB t$%s{ur ÏÏãur ÇÊÍÈ
14.  Dan kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku

Ayat diatas menerangkan tentang kondisi orang-orang yang takut terhadap acaman allah. Ketakutan akan ancaman tersebut diaplikasikan dengan menegakkan keadilan dan kebenaran dijalan Allah. Shinggah memperoleh maqam.

7)      Maqam Ma’lum
Dalam surah al-Saffat 164-169  Allah berfirman :
$tBur !$¨ZÏB žwÎ) ¼çms9 ÓQ$s)tB ×Pqè=÷è¨B ÇÊÏÍÈ $¯RÎ)ur ß`ósuZs9 tbqù!$¢Á9$# ÇÊÏÎÈ $¯RÎ)ur ß`ósuZs9 tbqßsÎm7|¡çRùQ$# ÇÊÏÏÈ bÎ)ur (#qçR%x. tbqä9qà)us9 ÇÊÏÐÈ öqs9 ¨br& $tRyZÏã #[ø.ÏŒ z`ÏiB tûüÏ9¨rF{$# ÇÊÏÑÈ $¨Yä3s9 yŠ$t7Ïã «!$# tûüÅÁn=øÜßJø9$# ÇÊÏÒÈ
164.  Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, 165.  Dan Sesungguhnya kami benar-benar bershaf-shaf (dalam menunaikan perintah Allah). 166.  Dan Sesungguhnya kami benar-benar bertasbih (kepada Allah). 167.  Sesungguhnya mereka benar-benar akan berkata: 168.  "Kalau sekiranya di sksi kami ada sebuah Kitab dari (kitab-kitab yang diturunkan) kepada orang-orang dahulu,169.  Benar-benar kami akan jadi hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa)".

Secara kontekstual, ayat ini menerangkan perihal maqam manusia yang kedudukan ibadahnya setaraf malaikat. Dimana malaikat tak pernah henti bertasbih dan mengingat allah. Maqam ma’lum sendiri dalam pendapat jumhurul ulama saf-saf malaikat yang beribadah dan bertasbih tiada henti kepada Allah.

Adapun Term maqam lain dalam al-Qur’an yakni : Maqamika (Q.S al-Naml: 39), Maqam Taqwa (al-Nahl : 72), Maqam Ma’rifah (konsep dalam Q.S al-Zariyat ; 56), Maqam Tawakkal (konsep dalam al-Nisa: 77) , Maqam al-Mahabbah (Konsep al-Imran : 31) , Maqam Zuhud (konsep al-Hadid: 20) , Maqam Hal  (konsep al-Alaq : 14).

Adapun konsep atau term Puncak-puncak maqam dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut :

1)      Maqam Ahadiah
Konsep maqam ini diambil dari Q.S al-Ikhlas : 1
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

Menurut al-Raziy pengertian ayat tersebut adalah :
إعلم أن معرفة الله تعالى حاضرة
Selanjutnya keterangan al-Raziy bahwa ayat diatas menunjukkan pengertian wahdaniyah melalui pendengaran, kemampuan akal untuk menerima (istidlal) dan kovergensi keduanya.
2)      Maqam Aqrabiyah
Kedekatan pada Allah (qarb) pada hakikatnya meruakan kedudukan sempurna. Inilah batas perjalanan tingkatan seorang hamba sebelum fana dalam diri Allah.
ونحن أقرب من حبل الوريد
Dan kami lebih dekat dari pada urat leher.

3)      Maqam Ihsan
Disebut juga tingkatan keindahan spiritual. Dimana seorang hamba merasakan keindahan atas apa saja, yang kemudian ditatarkan pada dzikir, baik diluar maupun didalam ibadah.

4)      Maqam Maraqabah al-Tauhid
Jika maqam Ihsan ditatarkan pada dzikir, pada maqam ke 4 ini, segala hal yang dilihat sejatinya adalah allah (penunggalan berarti pemisahan diri sepenuhnya dengan segala sesuatu)
5)      Maqam Basyariyah
Pada maqam ini, diyakini allah melihat segala yang menyebut namanya dalam segala hal dan gerak dan segala yang ditakdirkan kepada nya, sehingga seakan-akan sang hamba diperhatikan selalu oleh Allah, dan dia mengetahui perhatian tersebut.









Bab III
Penutup


Berbagai pendekatan penafsiran al-Qur’an melahirkan berbagai macam perspektif yang kemudian melahirkan konsep-konsep yang sangat kaya yang bersumber dari al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala keilmuan juga memuat kandungan konsep-konsep sufistik, terlebih konsep maqam-maqam yang ada dalam ranah sufi. Baik secara tekstual maupun konstektual.
Penafsiran tasawwufi sendiri bukan berangkat dari sesuatu yang nol, dalam artian harus memiliki landasan keagamaan yang kuat. Baik dalam landasan keilmuan maupun kerohaniyyahan.
Maqam dalam tataran sufi menjadi semacam tangga menuju sebuah tujuan kamil yang menempatkan manusia begitu dekat dengan Tuhan. Dalam rangka menelisiki maqam tersebut al-Qur’an telah menggambarkan konsep-konsep maqam yang tertera didalamnya. Penggalian keilmuan menuju hal tersebut merupakan sebuah khazanah tersendiri, baik dalam dunia tafsir maupun tasawuf.



[1] Murthada Muthahhari, Memahami Al-Qur’an, terj. Tim Staf YBT, Jakarta:1996, Yayasan Bina Tauhid, Hlm, 9
[2] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, (Jakarta : Penerbit Teraju, 2002) Hlm xv
[3]Hadi Mutamam, Maqam-Maqam Sufi dalam  al-Qur’an, Studi terhadap Tafsir Mafatih al-Ghaib, (Yogyakarta : al-Manar, 2010) Hlm 12
[4]Didefinisikan sebagai tafsir yang menjelaskan bahwa setiap ayat mengandung makna tertentu, bukan hanya makna yang dhahir, namun juga makna yang tersembunyi, Lihat Hadi Mutamam, Ibid
[5]Didefinisikan sebagai tafsir yang tidak hanya menampakkan sesuatu yang tersembunyi, namun juga memperlihatkan makna yang Nampak serta menganalisanya dengan analisa ilmiah.
[6]Muhammad Abd Al-Azim Al-Zarqani, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986) Hlm 117
[7] Jalaludin Al-Suyuti,  Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951) Hlm 104
[8] Muhammad Abd Al-Azim Al-Zarqani, Manabil Al-IrfanHlm 129
[9] Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung; Penerbit Pustaka, 1997) Hlm 207
[10] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Cet. II( Bandung: Mizan 2006)  Hlm. 133
[11] Ibid
[12] Hadi Mutamam, Maqam-Maqam Sufi…Hlm 57
[13] Muhammad Fakhr al-Din al-Raziy Ibnu al-Allama Ahy al-Din Umar al-Syahir Bikhatibary, al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Gayb, Jilid II (Beirut: Dar-al fikr, 1983) Hlm 216
[14] Hadi Mutamam, Ibid , Hlm 57-77
[15] Tri Wibowo S, Gunung Makrifat : Memoar Pencari Tuhan, (Kaki Langit Kencana :  2009) Hlm 143
[16] Mifrahul Khaer, al-Qur’an dan Tafsir Sufi, http://miftah19.wordpress.com diakses pada 13 Januari 2012  Link lengkap : http://miftah19.wordpress.com/2011/03/12/al-qur%E2%80%99an-dan-tafsir-sufi/
[17]  Hadi Mutamam, Ibid Hlm 103-144
[18] yang dimaksud dua surga di sini adalah, yang satu untuk manusia yang satu lagi untuk jin. ada juga ahli tafsir yang berpendapat syurga dunia dan syurga akhirat. Lihat Terjemahan Quran in Microsoft word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar