Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Kajian
atas Islam dengan begitu saja mengabaikan Al-Qur’an, merupaka suatu langkah
yang tidak menemuan validitas kajian yang memadai[1].
Sebab, dalam keimanan Islam, Juga termaktub dalam QS Al-Baqarah : 185
bahwasannya Al-Qur’an dipandang sebagai petunjuk bagi umat manusia, yang dengan
nyata menempati posisi penting dalam pemikiran dan peradaban umat Islam.
Studi
terhadap al-Qur’an dan tafsir berikut metodologinya sebenarnya selalu mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan
kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya al-Qur’an hingga
sekarang. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan
umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks (nash) yang
terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia
sebagai konteks (waqa’i) yang tak terbatas.
Hal
itu juga merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam
bahwa al-Qur’an itu shalihin li kulli zaman wa makan (al-Qur’an itu
selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat). Karenanya, sebagaimana dikatakan
Muhammad Syahrur, al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era
kontemporer yang dihadapi umat manusia. Kebutuhan manusia akan solusi terhadap
berbagai problem yang dihadapi oleh manusia mengharuskan mereka untuk mengorek
lebih dalam jawaban yang disediakan oleh al-Qur’an. Hal senada juga diungkapan
pendahulu Muhammad Syahrur, Hasan Hanafi. Yang memiliki pemikiran bahwa perlu
ada pembaharuan dalam kehidupan kaum muslim. Khususnya dalam ranah membaca teks
al-Qur’an (penafsiran).[2]
Dalam
kajian studi al-Qur’an, salah satu relevansi dan fungsi al-Qur’an adalah
menjadi pedoman hidup yang senantiasa mengiringi zaman. Pendekatan untuk hal
itu adalah penafsiran al-Qur’an itu sendiri kedalam ranah-ranah zaman yang
sedang berlangsung dan menggejala. Tentu dengan dilandasi keilmuan dalam
pendekatan tersebut.
Al-Qur’an
adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris
(ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda
dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil.
Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah
(literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan-perubahan dalam
sejarah.
Menurut
Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada
derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab
Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat
adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi
para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.
Ranah
sufisme, memiliki sebuah petak atau corak tersendiri dalam kajian tafsirnya.[3] Terdapat
2 corak tafsir yang dikenal dalam ranah sufisme yakni Tafsir Suf[4]i
Isyari dan Tafsir Nadzari.[5]
Dalam ranah Sufi juga dikenal istilah Maqamat (maqam). Sebuah
pengistilahan untuk menggambarkan tahapan atau tingkatan spiritual yang dicapai
oleh seorang sufi. Bagaimana korelasi antara tafsir dan maqom tersebut?
Dari
sedikit pemaparan diatas makalah ini dihaturkan dengan pembahasan Tafsir
Sufi, Perspektif kajian maqam-maqam.
B.
Rumusan Masalah
Pada
makalah ini, pembahas akan menitik beratkan pembahasan pada rumusan berikut :
1.
Bagaimana
pengertian dan sejarah tafsir sufi?
2.
Bagaimana
pengertian maqam?
3.
Bagaimana
konsep sufi dan maqam dalam al-Qur’an?
C.
Tujuan Masalah
Yang menjadi tujuan dari rumusan diatas adalah :
1.
Mengetahui
perngertian dan sejarah tafsir sufi
2.
Mengetahui
pengertian maqam
3.
Mengetahui
konsep sufi dan maqam dalam al-Qur’an
Bab II
Pembahasan
1.
Pengertian dan Sejarah Tafsir Sufi
Kata sufi ini mempunya
banyak pengertian salah satunya ialah bahwa suf (صوف) berasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang
dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Namun, tidak semua
orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.
Sebagian ulama berpendapat
bahwa kata sufi berasala dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti
jirnih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa. Dapat
diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme
yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati
hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Gerakan kaum sufi juga dikenal
dengan tasawuf.
Dapat disimpulkan bahwa dimaksud dengan tafsir sufi adalah tafsir yang
ditulis oleh para sufi.[6]
Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua
yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan
dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari.
Tafsir sufi yang lahir
sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang
membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi
yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar
bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa
penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah
paham tasawuf.
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
لِكُلِّ
ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki
batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”
Hadits di atas, adalah merupakan
dalil yang digunakan para sufi untuk menjustifikasi tafsir mereka yang
eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an
tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin
Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin
seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati[7] Tidak
heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks
Al-Qur’an.
Mereka mengklaim bahwa
penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu
yang inheren dengan Al-Qur’an. Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa
ditolak atau diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa
menjawab dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali menafsirkan
potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ
نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut
al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua
alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan
keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah
Allah semata”.
Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran
seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang
mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada
penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa
bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang
jelas yang menghubungkan antara nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang
dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai
isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut
dengan Tafsir yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah
“menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin,
karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian
tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.[8]
Jadi, isyarat-isyarat
Al-Qur’an-lah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna
batin Al-Qur’an. Dan di sinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan
untuk disalah tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang
dilakukan oleh kaum Bathiniyah Al-Taftazani. Dengan dalih bahwa di balik makna
zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang
disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri.[9]
2.
Pengertian Maqam
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi
berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat
bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat
adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik)
sebelum bisa mencapai ujung perjalanan.[10]
Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda
oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri
pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki
pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam
adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam
rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu
tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam
dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang
hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi,
al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan bahwa maqam adalah
keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban
yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai
kesempurnaannya. Jika diperhatikan beberapa pendapat sufi diatas maka
secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat bermakna
kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui
kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan
latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai
kesempurnaan.[11]
Dalam konsep Sufistik, permasalahan yang kerap muncul seputar
pembahasan maqam adalah metode dan cara mencapainya (maqam).
Dalam dunia sufistik dikenal istilah insan kamil, yakni sebutan untuk
sosok manusia yang mencapai derajat (maqam) kesempurnaan.
Maqamat merupakan proses verivikasi yang harus dilalui para sufi dalam
mencapai tujuan ideal, melalui proses verivikasi jiwa diminimalkan
kecenderungan kepada materi, Dalam konteks ini, Seseorang harus terlepas dari
keinginan hawa dan nafsu pribadinya dan hanya mengikuti keinginan dan iradah
Tuhan.
Adapun tata cara sistematis
meninggalkan keduniaan guna mencapai tujuan yang telah tersebut, disebut
dengan Maqamat.[12]
Adapun Ahwal merupakan
keadaan atau karakter spiritual yang diberikan Tuhan ketika sesorang melakukan
perjalanan kerohanian melalui maqamat. Adapun pada perkembangannya
muncul istilah-istilah sufistik yang kita kenal dalam literarut seperti : Wahdah
al-wujud, Wahdah al-Syuhud, Ahwal, Maqamat, Hulul.[13]
Begitupun pengistilahan terhadap maqam
per maqam yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan. Seperti contoh
dalam Ta’aruf li Madzhab ahl al-Tasawuf Karya Muhammad al-Kalabazi
mengidentifikasi tingakatan-tingkatan tersebut sebagai berikut[14] :
1)
Taubat
2)
Mujahadah
3)
Zuhud
4)
Khauf dan Raja’
5)
Faqr
6)
Sabar
7)
Cinta
dan Rindu
8)
Wara’
9)
Uns
10)
Riyadah
11)
Ma’rifah
3.
Konsep Sufi dan Maqam dalam al-Qur’an
3.1 Sufi dalam al-Qur’an
Al-Qur’an adalah landasan pokok
seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek
esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat
berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil.
Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah
(literal) yang maknanya tak aus (terkikis) oleh dinamika perubahan-perubahan
dalam sejarah.
Menurut Sufi, kemampuan seseorang
dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas
keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat
perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi
orang awam, Isyarat adalah bagi orang khusus, Lathaif adalah bagi
para Wali Allah, dan Haqaiq adalah bagi para Nabi.[15]
Ibn Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin
memperoleh ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, hendaklah ia
membaca Al-Qur’an.” Seorang sufi mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terhimpun
semua ilmu yang ada di dunia. Ini sejalan dengan keterangan Al-Qur’an sendiri,
yakni al-Qur’an adalah “penjelasan bagi segala sesuatu” (Q.S. 6:6) dan “Tidak
Kami lewatkan dalam al-Kitab sesuatupun” (Q. S. 6:38). Maka, tak heran jika
dikatakan bahwa mu’jizat terbesar dari Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an.
Tentu saja pencapaian ilmu macam ini
tidak bisa diperoleh dengan tafsir lahiriah atau akal/rasio. Dalam kasus
pengetahuan Wahyu Ilahi, agar bisa memahami dan menguraikan pesan-pesan yang
dikandungnya, kita mesti membersihkan diri kita; atau, dalam bahasa Islam, kita
harus menjadi “buta huruf” (ummi). Pada dasarnya kita tidak mempunyai kemampuan
sendiri untuk memahami wahyu; kita hanya bisa menempatkan diri kita sepenuhnya
dalam kekuasaan Wahyu. Maka, agar makna terdalam dari Wahyu bisa dipahami, kita
mesti menghentikan pemikiran dan refleksi intelektual atau akal, sebab dalam
dirinya sendiri akal adalah terbatas dan pemikiran rasional boleh jadi
dipengaruhi oleh kondisi jiwa yang kurang bersih.
Sedangkan kebenaran Wahyu adalah
suci dan tak terbatas, karena ia dari dan merepresentasikan Tuhan Yang Maha
TakTerbatas ilmu-Nya. Yang terbatas mustahil menguasai yang tak terbatas. Jadi,
Ketika hati sepenuhnya aman dari pemikiran reflektif dan lintasan-lintasan
pikiran, maka ini adalah keadaan “buta huruf” dan siap menerima anugerah
petunjuk Allah secara sempurna — inilah makna mistis dari fakta bahwa “Muhammad
adalah Nabi yang buta huruf.”
Di sisi lain, perkataan Aisyah bahwa
akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an secara tersirat menyatakan bahwa
sesungguhnya Al-Qur’an tak lain adalah diri kita sendiri. Yang dimaksud oleh
Sufi dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya sudah berada dalam
diri kita sendiri. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarinya “nama-nama
segala hal” (Q.S. 2:31). Penamaan karenanya menjadi bagian dari sifat manusia,
karena Allah mengajari manusia bahasa pada saat penciptaannya.
Nama-nama yang diajarkan Allah
kepada Adam adalah pengetahuan-Nya, yang “disimpan” dalam “tubuh” Adam. Jadi
setiap bagian tubuh kita mengandung aspek tertentu dari nama-nama Ilahi. Dengan
kata lain, realitas tubuh manusia adalah nama-nama yang memantulkan Citra-Nya:
“Allah menciptakan Adam sesuai dengan Citra-Nya.” Setiap tubuh memantulkan
nama-nama yang berbeda. Jadi kita membeda-bedakan realitas melalui diri kita,
karena kita adalah citra yang beragam dari satu Tuhan. Dengan cara yang sama,
kita membedakan segala sesuatu dengan memberi nama (misalnya, kita membedakan
tempat duduk dan tempat tidur dengan memberinya nama kursi dan ranjang).
Menurut pandangan Sufi, masalahnya
adalah kita melupakan bahwa Allah telah mengajari kita nama-nama segala hal ini
sejak awal penciptaan kita. Karena itu, untuk mengetahui “nama-nama” ini dan
mengungkapkan hakikatnya, kita harus tahu nama-nama itu persis sebagaimana
Allah mengajarkannya kepada kita, bukan sebagaimana yang kita pikirkan sendiri.
Hal ini hanya bisa dicapai dengan mencintai Allah.
Mencintai Allah, dalam ajaran Islam,
hanya bisa dicapai melalui peniruan perilaku dan mengamalkan ajaran Rasulullah
Muhammad. Maka, dengan mencintai Rasul, kita akan mencintai Allah, dan Allah
akan mencintai kita dan melalui lantaran cinta inilah Allah akan mengingatkan
kita kembali tentang “nama-nama segala hal” dan kita akan memandang sesuatu
sebagaimana adanya (hakikat), bukan sebagaimana yang kita pikirkan.
Jadi, ringkasnya, dengan menjadikan
diri kita “buta huruf,” dan mengikuti suri tauladan akhlak Nabi Muhammad, yakni
akhlak Al-Qur’an, pada akhirnya akan membuat kita mendapat petunjuk untuk
memahami makna terdalam dari al-Qur’an — “maka berimanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya, yakni Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan
kalimat-kalimat-Nya; ikutilah [akhlak] Nabi [Muhammad] agar kamu memperoleh
petunjuk” (Q.S. 7:158).
Kemudian, menurut Sufi, Al-Qur’an
turun pada “Malam Kemuliaan” (Q.S. 97:1) dalam bentuk pengetahuan Allah yang
utuh tak terbedakan, sebagai “totalitas kalimat” (jawami’ al-kalim) yang
“dipatrikan” ke dalam hati Rasulullah. Wahyu tidak turun melalui “pikiran”
Nabi, tetapi ke dalam seluruh keberadaannya, atau dalam “tubuh” Nabi yang
dipercaya untuk melaksanakan dan mengamalkan titah Allah; seperti kata Aisyah,
“Rasulullah adalah Qur’an yang berjalan.” Wahyu turun pada “malam,” yang
melambangkan kerahasiaan yang tersembunyi, seperti kegelapan menyembunyikan
sesuatu, dan juga malam adalah suasana yang menebarkan aroma misterius, seperti
ada khazanah tersembunyi yang mesti diungkap agar diperoleh manfaatnya. Malam
(Layla) dalam tafsir Sufi juga melambangkan “Zat Tuhan” yang tersembunyi dari
pengetahuan siapapun. “Kegelapan” misteri haruslah diterangi dengan “Cahaya”
yang terangnya “melebih seribu bulan,” yakni cahaya yang amat terang tetapi tak
menyilaukan seperti matahari, sebab cahaya matahari justru membutakan. Dan
dengan “cahaya seribu bulan” itulah tersibak apa-apa yang tersimpan dalam
rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu saja yang bisa menerangi misteri Ilahi
hanyalah cahaya Ilahi saja. Maka, manusia harus meraih anugerah cahaya ilahi
ini, yang bisa diakses oleh manusia melalui pensucian jiwa, melalui zikir,
sebab seperti kata Syekh Athaillah As-Sakandari, “Zikir adalah cahaya yang
menerangi.” Tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa), karena itu, adalah kunci pertama
dan utama dalam membuka rahasia Al-Qur’an.
Tetapi jelas pula bahwa Al-Qur’an
tidak diturunkan hanya kepada golongan elit spiritual seperti Nabi dan Wali
Allah, tetapi juga kepada seluruh manusia yang bertingkat-tingkat kedudukan
ruhaninya. Karena manusia dalam dirinya sendiri adalah “terbatas” dan memiliki
banyak kekurangan, maka Allah berkenan mengejawantahkan Wahyu, yang tak lain
adalah representasi Tuhan itu sendiri, ke dalam bentuk yang bisa dipahami
manusia, agar manusia bisa mengenal Tuhannya melalui sarana Wahyu itu. Jadi,
sebagaimana kita lihat sekarang, Al-Qur’an diajarkan dalam bentuk kalimat, yang
tersusun dari kata, yang tersusun dari huruf. “Kalimat adalah dari huruf, dan
huruf adalah dari udara, dan udara adalah dari Nafas al-Rahman.” demikian kata
Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Untuk memahami kalimat ini manusia memerlukan
kehadiran dari al-Rahman, yakni Tuhan, karena hanya karena Dia-lah yang bisa
menghidupkan apa-apa yang menjadi kandungan dari kalimat-kalimat itu.
Karena, seperti telah disinggung di
atas, Al-Qur’an, atau “Kalimat Allah,” tak lain adalah makhluk termasuk
manusia, maka unsur penyusun dari seluruh ciptaan tak lain adalah “huruf” dari
tiupan “Nafas al-Rahman.” Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia,
yakni tiupan rahmat, maka kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam Diri-Nya
dihidupkan. Jadi, huruf-huruf dihidupkan, dihubungkan dan dibentuk menjadi
makhluk atau kalimat-kalimat. Setiap huruf, seperti ditunjukkan dalam ilmu
fonetik modern, adalah tempat di mana nafas berhenti atau dibelokkan. Kombinasi
huruf menjadi kalimat, dan kalimat menyampaikan makna dari si pembicara, yakni
Allah SWT. Karenanya dikatakan bahwa barangsiapa ingin bercakap dengan Allah
hendaklah ia membaca al-Qur’an.
Penafsiran Sufi atas makna rahasia
(batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap
melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan
batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga menukik
hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, yang boleh
dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf adalah ayat
tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai
dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui
penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai
seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan batin).[16]
Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan
bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat, sebuah
kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah
huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala
sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.”
Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin.
Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak
langsung tempat kedudukannya (matla’).”
Al-Tirmidhi menyatakan bahwa semua
ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya berasal dari
Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah mengajari
Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari
“nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada
huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata.
Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi
(perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama
Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna.
3.2
Maqam dalam al-Qur’an
Seperti telah dijabarkan diatas
bagaimana kedudukan al-Qur’an dalam kajian sufistik. Lebih dalam lagi akan
dijabarkan mengenai maqam dalam lingkup yang ada dalam al-Qur’an.
Mafatih al-Gayb, Karangan Fakhr al-Raziy
menjadi serangkaian model mengenai kajian tentang topik-topik maqam yang
diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Fakhr al-Raziy mengklasifikasikan Penjelasan maqam
ini pada 2 pembahasan, pertama penjelasan maqam-maqam yang ada dalam
al-Qur’an dan kedua penjelasan
mengenai maqam-maqam dalam kedudukan tinggi (puncak) yang terdapat dalam
al-Qur’an.[17]
Berikut akan sedikit dijabarkan
mengenai maqam-maqam tersebut, dimulai dari penjabaran maqam-maqam yang ada
dalam al-Qur’an :
1)
Maqam Ibrahim
Salah satu ayat yang mengandung kata maqam adalah ayat yang
bercerita perihal nabi Ibrahim. Yang terdapat dalam al-Baqarah 125 :
(#räϪB$#ur `ÏB ÏQ$s)¨B zO¿Ïdºtö/Î) ~?|ÁãB (
dan jadikanlah maqam Ibrahim tempat shalat
Secara
kolektif Fakhr al-Raziy mengemukakan bahwa Maqam Ibrahim adalah tonggak awal kenabian. Dimana terjadi
ketika pembangunan ka’bah.
Tersurat bahwa segala sesuatu dipusatka kepada Allah, seperti halnya sholat
yang kiblatnya berpusat di Ka’bah.
2)
Maqam Amin
Term maqam juga
terdapat dalam surah al-Dukhan 51-52 :
¨bÎ) tûüÉ)FãKø9$# Îû BQ$s)tB &ûüÏBr& ÇÎÊÈ Îû ;M»¨Zy_ 5cqãããur ÇÎËÈ
51. Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman,
52. (yaitu) di dalam taman-taman dan
mata-air-mata-air;
Dalam penjelasan ini al-Raziy mengatakan :
ان يكون أمنا عن جميع ما يجاف ويحذرو وهو المراد
من قوله (فى مقام أمين)
Menjadi aman dari segala
sesuatu yang menakutkan dan mengkhawatirkan adalah makna dari maqam amin.
3)
Maqam Mahmudah
Allah berfirman dalam Q.S
Isra’ ayat 79 :
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7t y7/u $YB$s)tB #YqßJøt¤C ÇÐÒÈ
79. Dan
pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
Maqam mahmudah memiliki dua pengertia, bangkit dengan perilaku
terpuji dan di maknai secara dhahir. Adapula yang memaknai syafa’at.
Dari term tersebut disimpulkan bahwa ini menjadi harapan yang akan dicapai
manusia dalam perjalanannya menuju Allah.
4)
Maqam Karim
Allah berfirman dalam al-Dukhan 25-27 :
óOx. (#qä.ts? `ÏB ;M»¨Zy_ 5bqãããur ÇËÎÈ 8írâãur 5Q$s)tBur 5OÌx. ÇËÏÈ 7pyJ÷ètRur (#qçR%x. $pkÏù tûüÎgÅ3»sù ÇËÐÈ
25.
Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan,
26. Dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang
indah-indah,
27. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka
menikmatinya,
al-Raziy mengatakan :
والمراد بالمقام الكريم ما كان لهم من المجلس
والمنازل الحسنة
Maksud dari maqam karim adalah kedudukan atau tempat yang baik.
Kemudia al-Raziy mengtip pendapat Mujahid yang mengatakan bahwa
Karim tersebut bermakna mereka belum sepakat untuk taat kepada Allah. Dan
mengingkarinya, pengertian ini kemudian melahirkan tiga bentuk pemahaman, bermakna nasib mereka dikeluarkan (keluar dan
menyusun), mengalirkan, dan bermakna diangkat.
5)
Maqam Rabbih
Allah berfirman dalam surat al-Rahman : 46
ô`yJÏ9ur t$%s{ tP$s)tB ¾ÏmÎn/u Èb$tF¨Zy_ ÇÍÏÈ
46. Dan
bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga[18]
Al-Raziy mengatakan bahwa ketika disebutkan kata “takut” disebutkan
pula “maqam” dan pada “kebaikan” disebut “karim”. Tentang makna maqam
rabbih, terdapat dua pandangan,
pertama maqam yang ada disisi Tuhan, kedua yakni maqam Tuhan diartikan bahwa
Allah berada diatas hamba-Nya.
Kata خاف diartikan takut karena merendah dan membesarkan keagungan
Allah.
6)
Maqamiy
Dalam surat Ibrahim : 14 Allah berfirman :
ãNä3¨YoYÅ6ó¡ä^s9ur uÚöF{$# .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ 4 Ï9ºs ô`yJÏ9 %s{ ÍG$s)tB t$%s{ur ÏÏãur ÇÊÍÈ
14. Dan
kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang
demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap)
kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku
Ayat diatas menerangkan tentang kondisi orang-orang yang takut terhadap
acaman allah. Ketakutan akan ancaman tersebut diaplikasikan dengan menegakkan
keadilan dan kebenaran dijalan Allah. Shinggah memperoleh maqam.
7)
Maqam Ma’lum
Dalam surah al-Saffat 164-169
Allah berfirman :
$tBur !$¨ZÏB wÎ) ¼çms9 ÓQ$s)tB ×Pqè=÷è¨B ÇÊÏÍÈ $¯RÎ)ur ß`ósuZs9 tbqù!$¢Á9$# ÇÊÏÎÈ $¯RÎ)ur ß`ósuZs9 tbqßsÎm7|¡çRùQ$# ÇÊÏÏÈ bÎ)ur (#qçR%x. tbqä9qà)us9 ÇÊÏÐÈ öqs9 ¨br& $tRyZÏã #[ø.Ï z`ÏiB tûüÏ9¨rF{$# ÇÊÏÑÈ $¨Yä3s9 y$t7Ïã «!$# tûüÅÁn=øÜßJø9$# ÇÊÏÒÈ
164. Tiada seorangpun di antara kami (malaikat)
melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, 165. Dan Sesungguhnya kami benar-benar
bershaf-shaf (dalam menunaikan perintah Allah). 166. Dan Sesungguhnya kami benar-benar bertasbih (kepada
Allah). 167. Sesungguhnya mereka
benar-benar akan berkata: 168.
"Kalau sekiranya di sksi kami ada sebuah Kitab dari (kitab-kitab
yang diturunkan) kepada orang-orang dahulu,169.
Benar-benar kami akan jadi hamba Allah yang dibersihkan (dari
dosa)".
Secara kontekstual, ayat ini menerangkan perihal maqam manusia yang
kedudukan ibadahnya setaraf malaikat. Dimana malaikat tak pernah henti
bertasbih dan mengingat allah. Maqam ma’lum sendiri dalam pendapat jumhurul
ulama saf-saf malaikat yang beribadah dan bertasbih tiada henti kepada
Allah.
Adapun Term maqam lain dalam
al-Qur’an yakni : Maqamika (Q.S al-Naml: 39), Maqam Taqwa
(al-Nahl : 72), Maqam Ma’rifah (konsep dalam Q.S
al-Zariyat ; 56), Maqam Tawakkal (konsep dalam al-Nisa:
77) , Maqam al-Mahabbah (Konsep al-Imran :
31) , Maqam Zuhud (konsep al-Hadid: 20) , Maqam Hal
(konsep al-Alaq : 14).
Adapun konsep atau term
Puncak-puncak maqam dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1)
Maqam Ahadiah
Konsep maqam ini diambil dari Q.S al-Ikhlas : 1
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
Menurut al-Raziy pengertian ayat tersebut adalah :
إعلم أن معرفة الله تعالى حاضرة
Selanjutnya keterangan al-Raziy bahwa ayat diatas menunjukkan
pengertian wahdaniyah melalui pendengaran, kemampuan akal untuk menerima (istidlal)
dan kovergensi keduanya.
2)
Maqam Aqrabiyah
Kedekatan pada Allah (qarb) pada hakikatnya meruakan
kedudukan sempurna. Inilah batas perjalanan tingkatan seorang hamba sebelum
fana dalam diri Allah.
ونحن أقرب من حبل الوريد
Dan kami lebih dekat dari pada urat leher.
3)
Maqam Ihsan
Disebut juga tingkatan keindahan spiritual. Dimana seorang hamba
merasakan keindahan atas apa saja, yang kemudian ditatarkan pada dzikir, baik
diluar maupun didalam ibadah.
4)
Maqam Maraqabah al-Tauhid
Jika maqam Ihsan ditatarkan pada dzikir, pada maqam ke 4 ini,
segala hal yang dilihat sejatinya adalah allah (penunggalan berarti pemisahan diri
sepenuhnya dengan segala sesuatu)
5)
Maqam Basyariyah
Pada maqam ini, diyakini allah melihat segala yang menyebut namanya
dalam segala hal dan gerak dan segala yang ditakdirkan kepada nya, sehingga
seakan-akan sang hamba diperhatikan selalu oleh Allah, dan dia mengetahui
perhatian tersebut.
Bab III
Penutup
Berbagai pendekatan penafsiran
al-Qur’an melahirkan berbagai macam perspektif yang kemudian melahirkan
konsep-konsep yang sangat kaya yang bersumber dari al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala
keilmuan juga memuat kandungan konsep-konsep sufistik, terlebih konsep
maqam-maqam yang ada dalam ranah sufi. Baik secara tekstual maupun konstektual.
Penafsiran tasawwufi sendiri bukan
berangkat dari sesuatu yang nol, dalam artian harus memiliki landasan keagamaan
yang kuat. Baik dalam landasan keilmuan maupun kerohaniyyahan.
Maqam dalam tataran sufi menjadi
semacam tangga menuju sebuah tujuan kamil yang menempatkan manusia
begitu dekat dengan Tuhan. Dalam rangka menelisiki maqam tersebut al-Qur’an
telah menggambarkan konsep-konsep maqam yang tertera didalamnya. Penggalian
keilmuan menuju hal tersebut merupakan sebuah khazanah tersendiri, baik dalam
dunia tafsir maupun tasawuf.
[1]
Murthada Muthahhari, Memahami Al-Qur’an, terj. Tim Staf YBT, Jakarta:1996, Yayasan
Bina Tauhid, Hlm, 9
[2]
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Qur’an
Menurut Hassan Hanafi, (Jakarta : Penerbit Teraju, 2002) Hlm xv
[3]Hadi
Mutamam, Maqam-Maqam Sufi dalam
al-Qur’an, Studi terhadap Tafsir Mafatih al-Ghaib, (Yogyakarta :
al-Manar, 2010) Hlm 12
[4]Didefinisikan
sebagai tafsir yang menjelaskan bahwa setiap ayat mengandung makna tertentu,
bukan hanya makna yang dhahir, namun juga makna yang tersembunyi, Lihat Hadi
Mutamam, Ibid
[5]Didefinisikan
sebagai tafsir yang tidak hanya menampakkan sesuatu yang tersembunyi, namun
juga memperlihatkan makna yang Nampak serta menganalisanya dengan analisa
ilmiah.
[6]Muhammad Abd
Al-Azim Al-Zarqani, Manabil
Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986) Hlm 117
[9] Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung; Penerbit
Pustaka, 1997) Hlm 207
[10]
Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Cet. II( Bandung: Mizan 2006) Hlm. 133
[11]
Ibid
[12]
Hadi Mutamam, Maqam-Maqam Sufi…Hlm 57
[13]
Muhammad Fakhr al-Din al-Raziy Ibnu al-Allama Ahy al-Din Umar al-Syahir
Bikhatibary, al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Gayb, Jilid II (Beirut:
Dar-al fikr, 1983) Hlm 216
[14]
Hadi Mutamam, Ibid , Hlm 57-77
[15]
Tri Wibowo S, Gunung Makrifat : Memoar Pencari Tuhan, (Kaki Langit
Kencana : 2009) Hlm 143
[16]
Mifrahul Khaer, al-Qur’an dan Tafsir Sufi, http://miftah19.wordpress.com
diakses pada 13 Januari 2012 Link
lengkap : http://miftah19.wordpress.com/2011/03/12/al-qur%E2%80%99an-dan-tafsir-sufi/
[17] Hadi Mutamam, Ibid Hlm 103-144
[18] yang
dimaksud dua surga di sini adalah, yang satu untuk manusia yang satu lagi untuk
jin. ada juga ahli tafsir yang berpendapat syurga dunia dan syurga akhirat.
Lihat Terjemahan Qur’an in Microsoft
word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar