Sabtu, 02 Februari 2013

METODE TAFSIR TEMATIK (Aplikasi dalam studi gender dan pluralisme)


Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang Masalah

Tipologi tafsir terus berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan kontek perjalanan zaman.
Dasar tipologi atau pengelompokkan terhadap tafsir pun berbeda-beda. Di antara pengelompokan tersebut dan sudah dikenal sejak masa nabi Muhammad SAW adalah tafsir bi al-atsar, dan banyak yang menyebut tafsir bi al-ma’tsûr atau tafsir riwayah. Pengelompokan ini disebut corak tafsir. Corak tafsir lain adalah tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan nash dalam menafsirkan, baik al-Qur’an dengan al-Qur’an maupun al-Qur’an dengan sunnah. Dengan singkat, tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir antar nash. Sementara tafsir bi al-ra’y atau dikenal juga dengan tafsir dirayah adalah tafsir yang lebih mengandalkan pada ijtihad yang shahih.[1]
Sedangkan Berdasarkan metode terbagi menjadi tafsir tahlili, tafsir rmaudhu’i, tafsir kulli dan tafsir muqaran. Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik. Tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh Syaikh Mahmud Syaltut, sementara tafsir tematik berdasarkan topik oleh Abdul Hay al-Farmawi.
Sejenak kita tinggalkan sedikit kajian tafsir diatas.
Pembedaan jenis kelamin cenderung melebarkan persamaan peran kemitraan antara laki-laki dan perempuan (gender partnership). Banyak kalangan kemudian menanggapi hal ini.[2] Bahkan ada asumsi hal ini menimbulkan ketakutan dan dan kecurigaan di tolak sebagian masyarakat.[3]
Beberapa cendikiawan muslim (di Indonesia) memandang konsep gender selaras dengan konsep ajaran Islam yang mengusung keadilan dan kesetaraan sebagai mana diisyaratkan dalam al-Qur’an. Pemahaman ini tentu perlu sebuah metode dan kajian mendalam.
Dalam kasus lain, pembahasan mengenai Prulalisme mencuat. Kita tentu masih ingat bagaimana Alm. Al-Maghfurlah KH. Abdur Rahman Wahid begitu concern dengan pembahasan ini.
Pada masa sekarang ini para ilmuwan menghadapi permasalahan yang kompleks, sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi, globaliaasi informasi, maka tafsir maudhu’i semakin populer dan mutlak dibutuhkan. Karena Alquran harus dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat, tempat berkonsultasi baik bersikap maupun dalam bertingkah laku dalam rangka menjalankan fungsi seseorang berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam. Maka segala sesuatu yang diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya, perencanaannya, tujuannya, hasilnya, semuanya itu haruslah menjiwai pesan-pesan Alquran. Dari sisi ini, re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap penafsiran Alquran yang diberikan para ulama dahulu, dengan metode tafsir maudhu’i mutlak diperlukan. Kalau demikian halnya, maka akan lahir mufassir-mufassir baru yang selalu mengkaji dan menafsir Alquran sejalan dengan keadaan dari masa ke masa. Sedikit telah disinggung diatas mengenai salah satu metode tafsir adalah tafsir tematik (maudlu’i), Bagaimana sejarah perkembangan tafsir tematik tersebut dalam memandang gender dan pluralisme?
Berdasarkan uraian di atas maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Metode Tafsir Maudlu’i yang diaplikasikan dalam studi gender dan pluralisme.

B.     Rumusan Masalah
Guna tersistematisasinya pembahasan, pemakalah mengklasifikasikan point pembahasan pada point berikut :
1.      Bagaimana metode tafsir maudlu’i?
2.      Bagaimana contoh metode tafsir maudlu’i dalam gender?
3.      Bagaimana contoh metode tafsir maudlu’i dalam Pluralisme?

C.    Tujuan Masalah
Yang menjadi tujuan dari pembahasan dari makalah ini adalah :
1.      Mengetahui metode tafsir maudlu’i
2.      Memahami contoh metode tafsir maudlu’i dalam gender
3.      Memahami contoh metode tafsir maudlu’i dalam Pluralisme




















Bab II
Pembahasan

1.    Metode Tafsir Maudhlu’i

1.1    Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.[4]
Tafsir-tafsir buah karya para ulama yang kita ketahui sampai sekarang ini kebanyakan masih menggunakan metode tafsir al-tahlily yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam kitab-kitab mereka, ayat demi ayat, surat demi surat secara tertib sesuai dengan urutan adanya ayat-ayat itu dalam mushaf, tanpa memperhatikan judul/tema ayat-ayat yang ditafsirkan. Hal itu umumnya disebabkan (1) karena dahulu pada awal pertumbuhan tafsir, mereka masih belum mengambil spesialisasi dalam ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan ayat-ayat al­qur’an secara tematik/topikal atau sektoral, (2) karena mereka belum terdesak untuk mengadakan tafsir maudhu’i ini, disebabkan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang hafal seluruh ayat Alquran, dan sangat menguasai segala segi ajaran lslam sehingga mereka mampu untuk menghubungkan ayat satu dengan ayat yang lain yang sama-sama membicarakan judul/topik yang satu.[5]
Kalau kita kembali melihat ke dalam sejarah kebudayaan Ialam bahwa pada permulaan Islam yaitu zaman Rasulullah dan masa sahabat, perhatian mareka terkonsentrasi pada upaya penyiaran agama Ialam, menghadapi berbagai tantangan orang-orang non muslim, menghafal dan pelestarian Alquran dan al-hadia, maka wajarlah kalau tafsir maudhu’i belum berkembang pada masa itu seperti sekarang ini.
Pada masa sekarang ini para ilmuwan menghadapi permasalahan yang kompleks, sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi, globaliaasi informasi, maka tafsir maudhu’i semakin populer dan mutlak dibutuhkan. Karena Alquran harus dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat, tempat berkonsultasi baik bersikap maupun dalam bertingkah laku dalam rangka menjalankan fungsi seseorang berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam. Maka segala sesuatu yang diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya, perencanaannya, tujuannya, hasilnya, semuanya itu haruslah menjiwai pesan-pesan Alquran. Dari sisi ini, re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap penafsiran Alquran yang diberikan para ulama dahulu, dengan metode tafsir maudhu’i mutlak diperlukan. Kalau demikian halnya, maka akan lahir mufassir-mufassir baru yang selalu mengkaji dan menafsir Alquran sejalan dengan keadaan dari masa ke masa.
Tafsir maudhu’i lebih kompleks dan lebih tajam dibandingkan dengan tafsir tahlili (analitis). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Sadr tentang perbedaan antara tafsir maudhu’i dan tahlili yaitu :
1)      Peran mufassir yang mempergunakan tafsir tahlili umumnya pasif. Pertama-tama ia mulai dengan membahas sebuah naskah Alquran tertentu, dimulai dari sebuah ayat atau kalimat, tanpa merumuskan dasar-dasar pemikiran atau rencana terlebih dahulu, kemudian mencoba untuk menetapkan pengertian Alquran dengan bantuan perbendaharaan al-qur’gn dan berbagai indikasi yang ada padanya dalam naskah khusus tersebut ataupun yang di luar itu. Secara umum usahanya terbatas pada penjelasan sebuah naskah Alquran tertentu.
Dalam hal ini, peran naskah serupa dengan si pembicara, dan tugas pasif si mufassir ialah mendengarkan dengan penuh perhatian dengan pikiran yang cerah dan jernih serta penguasaan atas bahasa arab, baik yang klasik, halus serta gaya bahasa arab. Dengan pikiran dan semangat yang demikian mufassir duduk menghadapi A1-qur’an dan mendengarkan dengan penuh perhatian peranannya pasif sementara Alquran menonjolkan arti harfiahnya, si mufassir mencatatnya di dalam tafsimya sampai pada batas pemahamannya.
Kontras dengan hal ini, mufassir yang memaki metode maudhu’i (tematiks) tidak memulai aktifitasnya dari naskah Alquran, tetapi dari realitas kehidupan. la memusatkan perhatiannya pada sebuah subyek tertentu dari berbagai masalah yang berhubungan dengan aspek-­aspek kehidupan sosial atua kosmilogi, dengan menggunakan kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subyek tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pemecahan-pemecahan yang dianjurkan sehubungan dengan masalah tersebut, dengan jurang pemisah di antara keduanya.
Setelah itu, ia kembali kepada naskah Alquran, namun tidak dalam posisi sebagai seorang pendengar pasif dan seorang pencatat. la menempatkan sebuah topik dan masalah yang ada dari sejumlah pandangan dan gagasan manusia dihadapan Alquran. Dengan begitu ia mulai sebuah dialog dengan Alquran, di mana si mufassir bertanya dan Al-qur’an memberikan jawabannya.[6]
Dalam metode tafsir maudhu’i si mufassir mengkaji topiknya dengan menghubungkannya dalam batas-batas kemampuannya, dengan pengalaman intelektual manusia yang tidak sempurna sebagaimana yang diwakili oleh pandangan-pandangan berbagai pemikir baik yang benar maupun tidak benar dengan menggunakan pemikiran-pemikiran tersebut sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Kemudian kembali menyimpan hasil pencariannya, ia kembali kepada Alquran, tidak sebagai pendengar yang pasif tetapi sebagi seseorang yang memasuki suatu dialog. Dengan semangat pencarian dan kontemplatif, ia bertanya kepada Alquran yang dimulai dengan naskah-naskah Alquran mengenai subyek kajiannya.
Tujuannya di sini ialah menemukan pandangan Alquran mengenai subyek kajian dan sampai pada satu kesimpulan yang diilhami oleh naskah, sambil membandingkannya dengan gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan yang berhubungan dengan subyek tersebut.
Dengan demikian, perbedaan mendasar yang pertama antara tafsir tahlili dan maudhu’i ialah bahwa dalam metode yang pertama si mufassir pasif, pendengar sambil membuat catatan yang tidak demikian dengan metode yang kedua. Tafsir maudhu’i ialah meletakkan warisan intelektual dan pengalaman manusia sebagaimana juga pemikiran kontemporer di hadapan Alquran, untuk mencari pandangan Alquran tentang subyek kajian yang dibahas. Selanjutnya al-Sadr mengemukakan bahwa perbedaan kedua
2)      Bahwa tafsir maudhu’i selangkah lebih maju dari pada tafsir tahlili. Tafsir tahlili membatasi dirinya pada pengungkapan arti ayat-ayat Alquran secara terperinci, sementara tafsir tematik menuju pada sesuatu yang lebih dari itu dan mempunyai lingkup pencarian yang lebih luas. la berusaha mencari tata hubungan antara ayat-ayat yang berbeda, yang perincian masing-masing ayatnya telah disediakan oleh metode analitik, untuk mencapai kepada sebuah susunan pandangan Alquran yang utuh, yang di dalam kerangka kerja tersebut masing-masing ayatnya mempunyai tempat sendiri.
Inilah apa yang kita sebut sebagi pandangan atau cara pandang. Metode tematik berupaya, miksimal untuk sampai pada pandangan A1-qur’an tentang nubuwwah, pandangan Alquran sehubungan dengan teori ekonomi, pandangannya tentang hukum-hukum yang membentuk jalannya sejarah dan pandangannya tentang kosmologi. Dengan demikian, tafsir maudhu’i satu tahap lebih maju dari pada tafsir tahlili, dan bertujuan untuk sampai pada suatu susunan pandangan yang mewakili sikap Alquran tentang sebuah tema tertentu dari berbagai ayat idiologi, sosial dan kosmologi.[7]
Keutuhan antara naskah Alquran dan pengalaman manusia yang mana mufassir mondar-mandir berdialog dan berfikir antara Alquran membela kepentingan manusia dan Alquran sebagai wahyu Allah akan besar kemungkinan dapat menjawab masalah umat manusia.
1.2    Urgensi Tafsir Maudhlu’i
Bila dicermati, dalam metode tafsir maudhu’i akan diperoleh pengertian bahwa metode ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan berat, karena mufassir harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-­hal yang berhubungan dengan tema tersebut. Dikatakan teruji, karena memudahkan orang dalam menghayati dan memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di zaman ini. Begitu pentingnya metode ini, Abdul Djalal menyebutkan faedah metode[8] ini yaitu :
1)   Akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-qur’an dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya.
2)   Akan memberikan pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Alquran mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai topik tersebut secara lengkap.
3)   Menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran, seperti dikatakan bahwa ajara Alquran bertentangan dengan ilmu pengetahuan,
4)   Lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Alquran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami, dimanfaatkan dan diamalkan
5)   Mempermudah bagi para muballigh dan penceramah serta pengajar untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam Alquran,
6)   Akan lebih cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu topik bahasan aI-qur’an tanpa susah payah,
7)   Akan menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Al­qur’an, sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran Alquran dengan pranata kehidupan mereka.

1.3    Operasionalisasi Kerja Tafsir Maudru’i
Menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i.[9] Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab sebagai berikut:
·         Menetapkan masalah yang akan dibahas menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut
·         Menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
·         Mempelajari/memahami korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah)
·         Melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
·         Menyusun autline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok masalah
·         mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau
·         Mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas. [10]


Contoh: Potensi-potensi manusia dalam Alquran
(1)   Masalahnya apa jawaban Alquran tentang potensi-potensi manusia,
(2)   Mencari kata kunci yakni kata aql, qalb, nafs, ruuh, jasad, dan lain-lain,
(3)   Diantara sekian ayat dipilih yang mewakilinya dan ditertibkan sesuai dengan Makkiyah Madaniyahnya,
(4)   Melengkapi bahan-bahan dari hadis,
(5)   Menyusun outline penelitian,
(6)   Mempelajari secara seksama, dengan ilmu-ilmu yang dikuasai dan dapat memakai tafsir bil ma’tusr, tahlili atau lainnya,
(7)   Menyusun hasil penelitian sebagai jawaban Alquran terhadap tema yang dibahas.


















2.    Contoh Metode Tafsir Maudhlu’i dalam Gender
Berikut contoh metode tafsir maudhlu’i mengenai gender, namun contoh berikut tidak selengkap dan seruntut procedural dan operasional metode tafsir maudlu’i seperti yang telah terpapar sebelumnya. Mengingat tentu akan membutuhkan begitu banyak litaratur dan pemahaman yang sangat mendalam. Keterbatasan kami sebagai pemakalah tentu akan dipertaruhkan.
2.1 Gender dalam Al-Qur’an
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam webster’s new world dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku yang sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah ‘jender’. Jender diartikan sebagai “interpretasi moral dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
Di dalam women’s Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarkat.[11]
Hakekat  keadilan  dan  kesetaraan  gender  memang  tidak  bisa  dilepaskan  dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi/bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab  sosial  antara  laki-laki  dan  perempuan.  Kondisi  demikian  mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang  menguntungkan  dibandingkan  laki-laki.  Faktor  utama  penyebab  kesenjangan gender adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (budaya patriarki). Disamping itu, penafsiran ajaran agama yang  kurang  menyeluruh  atau  cenderung  dipahami  menurut  teks/tulisan  kurang memahami  realitas/kenyataan,  cenderung  dipahami  secara  sepotong-sepotong  kurang menyeluruh. Sementara itu, kemampuan, kemauan dan kesiapan kaum perempuan sendiri untuk merubah keadaan tidak secara nyata dilaksanakan. Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai  manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti : politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya..  Kesetaraan  gender  juga  meliputi  penghapusan  diskriminasi  dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Dengan keadilan gender  berarti  tidak  ada  pembakuan  peran,  beban  ganda,  dan  kekerasan  terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki menjadi  tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian  mereka memiliki  akses,  kesempatan  berpartisipasi  dan  kontrol  atas  pembangunan  serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Berikut beberapa ayat yang menerangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, dengan berbagai perspektif ayat.[12]
Dalam al-Dzariat : 56 di paparkan :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al-Qur'an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa, dan untuk mencapai derajat bertaqwa ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.
Dalam Kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya, Simaklah dalam al-Nahl : 97
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[13] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
Sangat jelas dan gamblang ayat tersebut menyebutkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam sebuah kesetaraan. Tidak ada perbedaan atau diskriminasi status disitu.
Maksud  dan  tujuan  penciptaan  manusia di  muka bumi, selain  untuk  menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt, juga untuk menjadi khalifah di bumi dalam Al-An'am :165 Allah berfirman :
qèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
 Kata Khalifah tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu.  Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
Dalam hal peluang untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat Al-Qur'an (Q.S. Ali Imran/3:195, Q.S. An-Nisa/4:124 dan Q.S. Mu’min/40:40).
uz>$yftFó$$sù öNßgs9 öNßgš/u ÎoTr& Iw ßìÅÊé& Ÿ@uHxå 9@ÏJ»tã Nä3YÏiB `ÏiB @x.sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& ( Nä3àÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ ( tûïÏ%©!$$sù (#rãy_$yd (#qã_̍÷zé&ur `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ (#rèŒré&ur Îû Í?Î6y (#qè=tG»s%ur (#qè=ÏFè%ur ¨btÏeÿx._{ öNåk÷]tã öNÍkÌE$t«Íhy öNßg¨Yn=Ï{÷Š_{ur ;M»¨Zy_ ̍øgrB `ÏB $pkÉJøtrB ㍻yg÷RF{$# $\/#uqrO ô`ÏiB ÏYÏã «!$# 3 ª!$#ur ¼çnyYÏã ß`ó¡ãm É>#uq¨W9$# ÇÊÒÎÈ
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.[14] Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

ÆtBur ö@yJ÷ètƒ z`ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# `ÏB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù tbqè=äzôtƒ sp¨Yyfø9$# Ÿwur tbqßJn=ôàム#ZŽÉ)tR ÇÊËÍÈ
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
ô`tB Ÿ@ÏJtã Zpy¥ÍhŠy Ÿxsù #tøgä žwÎ) $ygn=÷WÏB ( ô`tBur Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4s\Ré& uqèdur ÑÆÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù šcqè=äzôtƒ sp¨Ypgø:$# tbqè%yöãƒ $pkŽÏù ÎŽötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÍÉÈ
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.
3 Ayat diatas  mengisyaratkan konsep kesetaraan  Gender  yang  ideal dan  memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, Tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.  Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan. Salah satu obsesi Al-Qur'an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat.  Keadilan dalam Al-Qur'an  mencakup  segala  segi  kehidupan  umat  manusia,  baik  sebagai  individu maupun  sebagai anggota masyarakat.  Karena itu, Al-Qur'an tidak  mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan,  maupun  yang  berdasarkan  jenis  kelamin.   Jika  terdapat  suatu  hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan,  maka  hasil  pemahaman  dan  penafsiran  tersebut  terbuka  untuk diperdebatkan.
Jika kita runtut beberapa ayat diatas dengan pendekatan masa turunnya akan diperoleh hasil sebagai berikut [15]:
Nama surat
Tema
Maki/madani
Az-Dzariyat/51:56
Penghambaan
Makkiyah
al-Nahl/16:97
Makkiyyah
Al-An'am/6:165
Khalifah
Makkiyyah
Ali Imran/3:195
meraih prestasi
Madaniyah
An-Nisa/4:124
Madaniyah
Mu’min/40:40
Makkiyah

Dari pentahapan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat banyak yang masuk golongan Makkiyyah, ini menimbulkan asumsi bahwa pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam islam itu ada. Kita tentu tahu selama di Mekkah nabi tidak banyak mengajarkan ubudiyyah, melainkan memperbaiki ahlak kaum kafir Quraisy, yang pada adat mereka sangat membenci wanita. Setiap bayi wanita yang lahir akan dibunuh.[16]
Berikut beberapa hadist sebagai penguat dalil-dalil al-Qur’an :[17]
Hadis tentang penciptaan perempuan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ[18]
Tidak tepat kalau hadis di atas diartikan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian dijadikan penjelasan untuk menafsirkan ayat pada surat al-Nisa’. Sebab secara harfiyah dalam hadis tidak menyebutkan kata Adam dan Hawa. Penafsir tampaknya terpengaruh oleh isra’iliyyat. Untuk menghindari kesalahpahaman , sebaiknya hadis tersebut ditafsirkan secara metaforis, yakni hendaklah laki-laki atau suami bersikap bijaksana, kpenuh kesabaran dan mu’asyarah bi ak-ma’ruf, sebabb wanita itu halus dan sensitif sehingga perlu kesabaran dan kelembutan untuk menghadapinya.
Hadis tentang kepemimpinan perempuan
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً[19]
Kebanyakan ulama menjadikan ini sebagai dalil larangan wanita menjadi pemimpin padahal untuk memaknai hadis tersebut perlu menyimak sisi historsiical backgroundnya. Hadis disampaikan setelah Rasul mendapat informasi bahwa orang persi menobatkan putri kisra menjadi ratu setelah sebelumnya raja kisra menolak ajakan Nabi untuk masuk islam bahkan merobek surat tersebut. Besar kemungkinan hadis tersebut adalah prediksi nabi bahwa putri Kisra akan mengalami kegagalan.
Hadis tentang laknat malaikat kepada istri
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ[20]
Jika hadis ini dipahami secara harfiah, maka akan sangat bertentangan dengan prinsip al-Qur’an “wa ‘asyiruhunna bi al-ma’ruf”. Kata “wahuwa ghadlaban” artinya suami dalam keadaan marah, berarti kalau tidak marah, tidak apa-apa. Apalagi kalau istri sedang lelah, sakit dsb yang menyebabkan tidak bisa ‘menjalankan tugas’ maka suami pun tidak berhak untuk marah, sebab jika suami marah maka telah menyalahi ketentuan “mu’asyarah bi-al ma’ruf” .
Secara garis besar, Tafsir Metode tematik gender dalam al-Qur’an telah teraplikasi. Kesimpulannya akhir gender dan kesetaraan wanita dalam al-Qur’an itu ada.







3.    Metode Tafsir Maudhlu’i dalam Pluralisme
Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
Latar belakang munculnya gerakan Pluralisme
Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.
Wafatnya al-Maghfurlah KH. Abdur Rahman Wahid menjadi moment penting bagi para penyokong ajaran pluralisme untuk kembali menggiatkan kampanyenya mengusung gagasannya. Salah satu agenda penting yang akan digoalkan saat ini adalah menjadikan Gus Dur sebagai pahlawan Nasional, karena jasa-jasanya dalam membangun persatuan bangsa. Sebagian lagi menganggapnya sebagai “Bapak Pluralisme”.
Untuk Pembahasan ini pemakalah akan member point (nomor) sesuai procedural metode tematik yang telah ada :
1.      Pluralis mengumpamakan perbedaan dengan tiga orang buta yang menjelaskan tentang bentuk gajah. Ketiga orang buta itu diminta untuk memegang gajah, ada yang memegang telinganya, ada yang memegang kakinya, dan ada yang memegang belalainya. Setelah mereka semua memegang gajah, lalu mereka bercerita satu sama lain; yang memegang belalai mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa, yang memegang telinganya berkata bahwa gajah seperti kipas yang lebar dan kaku. Yang memegang kaki mengatakan bahwa gajah seperti pohon besar yang kokoh.
Dengan berpijak pada cerita tersebut lalu mereka mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda.
Berikut ayat-ayat yang mengandung kandungan dan muatan Pluralisme :
Al-Baqarah : 256
Iw on#tø.Î) Îû È….ûïÏe$!$#                                      
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)
            Al-Baqarah 62 :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts ÇÏËÈ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Al-Isra : 70 menerangkan penyebutan manusia dengan Bani Adam, tidak dispesifikasi dengan agama, golongan, atau bangsa
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
Pada dasarnya al-Qur’an telah menetapkan prinsip-prinsip dasar kebebasan beragama serta prinsip-prinsip hubungan antar umat beragama. hal ini dapat dimengerti mengingat sebelum al- Qur’an turun kondisi masyarakat Arab dan sekitarnya telah menganut berbagai macam agama. Karena itu, tidaklah mengherankan bila dalam al Qur’an menyebutkan beberapa nama agama yang telah dianut oleh masyarakat pada waktu itu.Al Qur’an juga mengakui eksisitensi kitab-kitab sucinya, bahkan al-Qur’an menyebutkan bahwa dalam kitab suci agama-agama sebelum Islam terdapat petunjuk dan cahaya kebenaran. Apresiasi al-Qur’an terhadap eksistensi agama-agama dan kitab suci mereka, sangatlah penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu pokok ajaran Islam, yang mempertahankan bahwa wahyu-wahyu tuhan yang lain sebelum al-Qur’an turun adalah valid.[21] Sikap al-Qur’an ini merupakan nilai positif dalam membangun kehidupan beragama dan kehidupan sosial.Selain terma-terma umum diantara agama-agama yang berbeda,  al-Qur’an juga mengungkap bahwa pada mulanya manusia adalah tunggal. Mereka berpegang kepada kebenaran tunggal, tapi kemudian mereka berselisih paham, justru setelah kebenaran itu datang, dan mereka mencoba untuk memahami kebenaran itu, setaraf dengan kemampuan mereka. Perbedaan itu kemudian dipertajam dengan masuknya berbagai jenis kepentingan. Kesatuan asal umat manusia itu dilukiskan dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 19 :
$tBur tb%x. â¨$¨Y9$# HwÎ) Zp¨Bé& ZoyÏmºur (#qàÿn=tF÷z$$sù 4 Ÿwöqs9ur ×pyJÎ=Ÿ2 ôMs)t7y `ÏB šÎi/¢ zÓÅÓà)s9 óOßgoY÷t/ $yJŠÏù ÏmŠÏù šcqàÿÎ=tFøƒs ÇÊÒÈ
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka berselisih. kalau tidaklah Karena suatu ketetapan yang Telah ada dari Tuhanmu dahulu, Pastilah Telah diberi Keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
2.      Klasifikasi beberapa ayat diatas
Surah
Tema
Makkiyah Madaniah
Al-Baqarah : 256
Tidak memaksa
Madaniah
Al-Baqarah 62
Persamaan manusia
Madaniah
Al-Isra : 70
Makkiyyah
Yunus ayat 19
Makkiyah
                                                                                   
3.      Hal ini berarti jika seseorang memilih suatu aqidah, misalnya aqidah Islamiyah, maka dia terikat dengan tuntutan-tuntutanya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapanya. Adanya penegasan larangan memaksa agama dalam ayat ini, tersirat bahwa Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak tentram, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.[22]
Mencermati pendapat Quraish Shihab, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya agama Islam telah mengatur tatacara berinteraksi dalam ke hidupan beragama, tiap-tiap umat beragama hendaknya memberi kebebasan terhadap agama lain dan tidak  saling memaksa, karena tindakan tersebut menimbulkan seseorang tidak dapat hidup damai. Tindakan pemaksaan tidak sesuai dengan kehendak agama yang bertujuan menciptakan kehidupan yang damai.
Harun Nasution mengemukakan cara untuk memupuk jiwa toleransi beragama yaitu ; 1) Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain. 2) Memperkecil perbedaan yang ada diantara agama-agama. 3) Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama. 4) Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. 5)  Memusatkan usaha pada pembinaan individu dan masyarakat mausia baik yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteisme. 6) Mengutamakan ajaran-ajaran yang embawa kepada toleransi beragama. 7) Menjauhi praktik serang menyerang antar agama.[23] Senada dengan hal tersebut juga dikemukakan oleh Yusuf al Qaradhowi, ia menyebutkan ada empat faktor yang melahirkan sikap toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim: i) keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaan dan kesukuannya. Kemuliaan ini mengimplikasikan hak untuk dihormati. ii) kayakinan bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas (ontologis) yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka untuk Islam. iii) seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang kafir atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah SWT lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan kelak.[24]
4.      Tidak ada satupun hadist nabi yang mengajarkan intoleran, bahkan tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan, pertentangan atau segala bentuk perilaku negatif, represif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Pemahaman mengenai prulalisme kebanyakan di fahami sebagai ajaran yang negative, secara aqidiyyah tentu. Namun secara kehidupan sosial, pluralisme merupakan sebuah penopang kehidupan yang damai. Tentu tidak mungkin kita akan melempar sebelah rumah kita hanya karena beda keyakinan bukan? Masalah aqidiyyah tentu memiliki ranah sendiri. Pluraslisme yang ingin dianggkat disini adalah rasa saling menghormati dan mengasihi sesame manusia. Itu saja dan tak lebih.
5 dan 6 pada point ini tidak ditampilkan, karena pemaparan pada point ini sifatnya berformat penelitian sistematis dan mendalam.














Bab III
Kesimpulan

Metode Tafsir maudlu’i (tematik) hadir sebagai salah satu metode mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengelompokka tema-tema yang memiliki kesamaan.
Metode ini banyak digunakan untuk menyikapi masalah-masalah kontemporer masa kini, pro dan kontra kesalah aplikasiannya merupakan dinamika ilmu pengetahuan. Keberadaan tafsir tematik ini semakin menambah kaya khazanah kajian tafsir, dan pengaplikasiannya secara tak langsung melahirkan asumsi bahwa Islam dan al-Qur’an adalah agama dan kitab yang fleksibel.
Wallahu a’lam



[1] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Jakarta: BulanBintang, 1972) hlm. 204 dan 224
[2] Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik : Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008) Hlm 17
[3] Siti Musdah Mulia,  Keadilan dan Kesetaraan Gender (Persfektif Islam) Marzani Anwar (ed.), (Jakarta : Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang agama departemen Agama RI, 2001) Hlm xi
[4] Abd al-Hayy al- Farmawi , AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (Matba’ah al-Hadarah al­`Arabiyah, Kairo, 1977)  Hlm 62
[5] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i Pada Masa Kini, (Kalam Mulia, Jakarta, 1990) h lm89
[6] Muhammad Baqir Sadr, “Pendekaian Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an “, dalam Ulumul Qur an, Vol I, No. 4, 1990, hal. 32-33
[7] Ibid
[8] Abdul Djalal, …Hlm 102-102
[9] Abd al-Hayy al-Farmawi , Al Bidayah..Hlm 6
[10] Taufiq Abdullah,  Metodologi Penelitian Agama, Rush Karim (ed),  (Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989)  Hlm. 141
[11] Artikel “perspektif Gender Dalam Islam” oleh Prof. DR. Nasaruddin Umar. Jurnal pemikiran islam Paramadina, Volume I no. 1, Juli – Desember 1998, hlm. 96-97
[12] Ini menjadi langkah awal operasional dalam perumusan metode tafsir maudlu’i, yakni mengumpulkan ayat-ayat yang sesuai dengan masalah, dalam hal ini gender
[13] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
[14] Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
[15] Ini menjadi Prosedural ke 2 dalam tafsir maudlu’i
[16] Ini menjadi Prosedur ke 3, korelasi ayat
[17] Ini menjadri Prosedur ke 4, Melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
[18] HR. Bukhari, kitab Ahadits al-Anbiya’, bab Khalq Adam wa Dzurriyatihi,no.hadis 3084, juga diriwayatkan oleh imam Muslim
[19] HR. BUkhori, kitab al-Maghazi, babكتاب النبي الى كسرى وقيمر, diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi dan al-Nasaa’i
[20] HR. Bukhori, kitab بدأ الخلق, bab ذكر الملائكة, diriwayatkan juga oleh Muslim dan Abu Daud
[21] Nurkholis Majid, Pluralisme Agama di Indonesia, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, no 3/vol VI , tahun 1995, 63
[22] Quraisyihab, Tafsir Al Misbah vol 1, ( Jakarta : Lentera Hati, 2002) Hlm 256
[23] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung : Mizan, 1998) Hlm 275
[24] www. Ikadi.org/ikdai kajian/toleransi intoleransi.