Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
adalah makhluk ciptaan Allah yang misterius dan sangat menarik. Dikatakan
misterius karena semakin dikaji semakin terungkap betapa banyak hal-hal
mengenai manusia yang belum terungkapkan.
Sebagai
mahluk yang sangat sempurna, bahkan dikatakan sebagai pemimpin seluruh umat
yang ada di alam semesta ini. Terdapat satu pembeda manusia dari mahluk lainnya
adalah kemampuan untuk berpikir, dari hal-hal sederhana sampai dengan hal-hal
yang nyaris seakan diluar pemikiran itu sendiri, toh semuanya tetap merupakan
wujud dari sang pemikiran. Juga dari manusia itu sendiri.
Tak
salah pula mungkin jika malah mengatakan Manusia adalah mahluk yang unik, dan sekaligus
merupakan makhluk yang paradoksial.[1] Fenomena
di dunia ini sesungguhnya terkadang menyimpang berbagai pertanyaan. Terutama
sekali bila kita dihadapkan pada problematika carut marutnya kehidupan manusia
yang paradoksial itu. Kekuaan dan
kelemahan melekat menjadi satu, kecerdasan dan kebodohan nyaris berimpit tanpa
batas, kezaliman dan kebijaksanaan bagaikan saudara kembar, pemikiran dan
perasaan dapat berganti secepat kilat, dan semuanya atas nama kesempurnaan
sebagai makhluk bernama manusia.
Manusia
sebagai subjek sekaligus sebagai objek kajian yang tiada henti-hentinya terus
dilakukan manusia khususnya para ilmuwan. Oleh karena itu ia telah menjadi
sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua lembaga
pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya
sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Berbagai kajian dihaturkan untuk
meneliti sosok manusia. Mengenai proses penciptaannya, Hubungan antar
sesamanya, Organ dan Syarafnya, Pemikirannya dsb. Pun berbagai Perspektif dan
sudut pandang yang begitu beragam juga hadir dan memperkaya pengetahuan perihal
mahluk unik ini. Filsafat, Sains, Humaniora bahkan Teologi memiliki cara
pandang terhadap esensi penciptaan manusia. Lantas bagaimana menurut Perspektif
Pendidikan Islam?
Dari
uraian diatas, Pemakalah akan sedikit menguraikan “Penciptaan Manusia dalam
Perspektif Pendidikan Islam”
B.
Rumusan Masalah
Yang menjadi
pokok dan sentral pembahasan pada makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
Hakikat Penciptaan manusia dalam perspektif umum?
2.
Bagaimana
Hakikat Penciptaan manusia dalam perspektif Pendidikan Islam?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan
dari makalah ini adalah :
1.
Mengetahui
Hakikat Penciptaan manusia dalam perspektif umum
2.
Mengetahui
Hakikat Penciptaan manusia dalam perspektif Pendidikan Islam
Bab II
Pembahasan
1.
Hakikat Penciptaan manusia dalam perspketif Umum
Manusia
pada hakekatnya sama saja dengan mahluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat
dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan
dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan,
kesadaran dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan mahluk lain.
Manusia
sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang
memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan
binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan
yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam
kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang memilikinya,
sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat instinctif.
Berbicara
tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif,
ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan
pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia
sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia
mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan
simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai
homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila
terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu
pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk
hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia
harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat
disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan
mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber
hal tersebut dikarenakan manusia adalah tukang yang menggunakan alat-alat dan
menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo
ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri
khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi
lucu dan menyenangkan.[2]
Antropologi,
adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang
hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang
dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang
kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan
mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks,
dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan
tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia
dimuka bumi.[3]
Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah
sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun
dalam subtansinya tidak berubah.
“What is a man?” Pertanyaan yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri ketika mulai membahas bidang telaah
filsafat.[4]
Maksud pertanyaan ini adalah pada tahap permulaan filsafat senantiasa
mempersoalkan siapakah manusia itu. Sebagai tambahan pengetahuan anda, Setidaknya ada empat pandangan yang
berbicara mengenai hakikat manusia dalam pandangan filsafat:
a. Aliran serba
Zat
Menyatakan
bahwa hakikat manusia adalah zat atau materi. Aliran ini mengatakan bahwa apa
yang disebut ruh atau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran,
ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi
yaitu sel-sel tubuh.[5]
Kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga berasal dari materi (Pandangan
Materialistis). Hal-hal yang bersifat ukhrowi (akhirat) dianggap sebagai
khayalan belaka.
b. Aliran Serba Ruh
Merupakan lawan
dari aliran serba zat. Mereka mengatakan bahwa yang ada dalam manusia
sebenarnya adalah ruh. Sedang zat hanya manifestasi ruh di dunia ini. Hal ini
berdasarkan bukti bahwa ruh lebih tinggi nilainya daripada zat.
c. Aliran Dualisme
Merupakan
aliran yang mencoba menggabungkan kedua aliran sebelumnya. Mereka berpendapat
bahwa manusia adalah makhluk dualisme, terdiri dari ruh dan badan (Zat). Antara
keduanya terjadi hubungan kausalitas. Ruh dan badan berbeda dan tidak
bergantung satu sama lain. Degan artian ruh tidak berasal dari badan, begitu
pula sebaliknya.
d. Aliran
Eksistensialisme
Aliran yang
terakhir ini terfokus kepada mana yang merupakan eksistensi atau wujud dari
manusia, apa yang menguasai manusia secara menyeluruh, dan cara beradanya
manusia
di dunia ini.
Aliran ini berbeda dari tiga aliran sebelumnya. Aliran ini timbul dari
pemikiran para ahli filsafat moderen.
Manusia
merupakan karya Allah swt. yang paling istimewa, bila dilihat
dari sosok diri,
serta beban dan
tanggung jawab yang
diamanatkan kepadanya. Manusia
satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu
mewujudkan bagian tertinggi
dari kehendak Tuhan yang
mampu menjadi sejarah.
Selain itu manusia
adalah makhluk kosmis yang
sangat penting, karena
dilengkapi dengan semua
pembawaan dan syarat-syarat
yang diperlukan.[6]
Di
samping itu, ada unsur lain yang membuat manusia dapat mengatasi pengaruh dunia
sekitarnya serta problema dirinya, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua
unsur ini sudah tampak pada berbagai makhluk lain yang diberi jiwa atau roh. Akan tetapi, pada kedua unsur
itu manusia dianugrahi nilai lebih, hingga kualitasnya berada di
atas kemampuan yang
dimiliki makhluk-makhluk lain. Dengan
bekal yang istimewa
ini, manusia mampu menopang keselamatan, keamanan, kesejahteraan
dan kualitas hidupnya. Selain itu, manusia juga merupakan makhluk berperadaban
yang mampu membuat sejarah generasinya.
Dapat
disimpulkan, Esensi Penciptaan manusia dalam perspektif umum adalah sebagai
berikut :
1.
Manusia
adalah makhluk utama, yaitu diantara semua makhluk natural dan supranatural,
manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat hakikat yang mulia.
2.
Manusia
adalah makhluk yang sadar. Ini adalah kualitasnya yang paling menonjol;
Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yang menakjubkan, ia memahami
aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yang tersembunyi dari pengamatan,
dan mampu menganalisa masing-masing realita dan peristiwa.
3.
Manusia
adalah makhluk yang sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satu-satunya
makhluk hidup yang mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri ; ia mampu
mempelajari, manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.
4.
Manusia
adalah makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai.
Nilai terdiri dari ikatan yang ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku,
perbuatan atau dimana suatu motif yang lebih tinggi daripada motif manfaat
timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan
dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau
mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.
5.
Manusia
adalah makhluk utama dalam dunia alami, mempunyai esensi uniknya sendiri, dan
sebagai suatu penciptaan atau sebagai suatu gejala yang bersifat istimewa dan
mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur dalam alam yang independen, memiliki
kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil dalam menciptakan gaya hidup melawan
kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya suatu keterlibatan dan tanggung jawab yang
tidak akan punya arti kalau tidak dinyatakan dengan mengacu pada sistem nilai.
6.
Manusia
adalah mahluk yang berfikir, karena berfikir inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lain. Dengan berfikir manusia dapat menciptakan hal baru,
pengetahuan baru, memecahkan problema, membangun peradaban. Dsb.
Masih
banyak konsep-konsep hakikat penciptaan manusia secara umum, namun tidak akan
dituangkan dalam makalah ini.
2.
Hakikat Penciptaan manusia dalam perskeptif Pendidikan Islam
Mari kita mulai pembahasan Hubungan manusia
dengan pendidikan dengan sebuah pertanyaan: apakah manusia
dapat dididik? Ataukah manusia dapat bertumbuh dan berkembang sendiri menjadi
dewasa tanpa perlu dididik?
Kedua pertanyaan tersebut
nampaknya sejak lama telah menjadi bahan kajian para ahli
pendidikan Barat, yaitu sejak zaman Yunani
Kuno. Pendapat yang umumnya
dikenal dalam pendidikan barat, mengenai
mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran
filsafat pendidikan, yaitu
nativisme, empirisme, dan konvergensi.
Menurut aliran Nativisme, manusia
tidak perlu dididik
sebab perkembangan manusia sepenuhnya ditentukan oleh bakat yang secara
alami sudah ada pada dirinya. Sedangkan menurut
penganut aliran Empirisme adalah sebaliknya.
Perkembangan dan pertumbuhan manusia
sepenuhnya ditentukan oleh
lingkungannya. Dengan
demikian aliran ini
memandang pendidikan berperan
penting dan sangat menentukan
arah perkembangan manusia. Adapun aliran ketiga yaitu Konvergensi yang
merupakan perpaduan antara Nativisme dan Empirisme. Menurut mereka, manusia
memiliki kemampuan dalam dirinya
(bakat dan potensi), tetapi potensi itu hanya dapat berkembang jika ada
pengerahan, pembinaan serta
bimbingan dari luar. Perkembangan seseorang tidak hanya ditentukan
oleh kemampuan potensi dan bakat
yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar, bakat dan potensi seseorang
tidak mungkin berkembang dengan baik.
Dengan demikian kemampuan
seseorang akan berjalan dengan
baik dan dapat
dikembangkan secara maksimal apabila ada
sinergi antara faktor dasar (potensi/bakat), ajar/ajaran
(bimbingan) serta kemauan
dari individu itu
sendiri untuk mengembangkan
dirinya. Jadi, disamping faktor potensi bawaan dan bimbingan dari lingkungan,
untuk mengembangkan diri, seseorang perlu didorong oleh motivasi
intrinsik yaitu semacam dorongan dari dalam dirinya.
Aliran-aliran filsafat pendidikan Barat di atas menampilkan dua
pandangan yang berbeda
tentang hubungan manusia
dengan pendidikan. Pandangan pertama menampilkan Pesimisme,
sedangkan aliran kedua memunculkan Optimisme. Akan tetapi,
tampaknya perkembangan berikutnya
pandangan yang kedua
lebih dominan. Manusia memang
hampir tidak mungkin dapat
berkembang secara maksimal tanpa intervensi
pihak luar. Oleh karena
itu, manusia memerlukan
pendidikan.[7]
Adapun filsafat pendidikan
Islam meletakkan hubungan manusia dengan pendidikan atas dasar
prinsip penciptaan, eksistensi dan tanggung jawab. Dalam kaitan ini manusia
dilihat sebagai makhluk ciptaan Allah yang terkait oleh ketentuan-ketentuan
yang telah diatur oleh Penciptanya. Dengan demikian, manusia adalah makhluk
yang terikat oleh nilai-nilai
ilahiyah, yaitu tatanan
nilai yang telah ditetapkan oleh Penciptanya.
Jika pada tahap awal filsafat mempersoalkan masalah manusia,
demikian pula dengan pendidikan Islam. Ia tidak akan memiliki paradigma yang
sempurna tanpa menentukan sikap konseptual filosofis tentang hakikat manusia,
sebab bagaimanapun juga manusia adalah bagian dari alam ini.
Keberadaan manusia sebenarnya sudah tercantum dalam ayat-ayat
al-quran yang merupakan sumber dan landasan dalam pendidikan Islam. Berita mengenai
manusia, proses penciptaan manusia sampai tatanan kehidupan manusia pun sudah
diatur di dalam al-quran. Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa pendidikan Islam
merupakan cara yang paling sempurna dalam mengembangkan potensi fitrah yang
sudah ada sejak jaman ajali. Pendidikan Islam akan memberikan bimbingan bagaimana menjadikan manusia
sebagai manusia yang beriman sekaligus sebagai khalifah yang bertanggung jawab.
Dalam memahami manusia tentu harus dituntun dengan pandangan
Islam sebagai tolak ukur yang mendasar untuk mengetahui sesungguhnya apa
hakikat manusia. Dalam pandangan Islam manusia tercipta dari dua unsur yaitu
unsur materi dan non materi. Dari pengertiannya bahwa dimensi materi bermakna
manusia adalah al-jism dan dimensi non-materi bermakna al-ruh.[8]
Dalam ranah dimensi materi manusia memerlukan pendidikan
yang berguna untuk mengembangkan potensi yang sudah terlahir, pembinaan dan
pengembangan potensi yang dimiliki manusia berfungsi untuk menunjukkan bahwa
manusia layak menjadi khalifah dimuka bumi ini. Perkembangan jaman yang terus-menerus
semakin menunjukkan perkembangannya, harus diimbangi dengan ilmu pengetahuan
yang relevan guna untuk memberikan keseimbangan antara alam dengan manusia.
Jika pendidikan tidak mengambil perannya, maka manusia akan
tertinggal dan tidak akan mampu mengelola kapasitas rahasia dan potensial yang perlu diungkap yang berguna untuk
menambah wawasan manusia dalam mengurus dan menjaga alam. Dimensi materi juga
memiliki dua daya, yaitu:
1. Daya Fisik atau jasmani seperti:
melihat, meraba, mendengar, merasa, dan mencium
2. Daya gerak yaitu kemampuan manusia
untuk menggerakkan tangan, mata, kaki dan sebagainya.
Sedangkan dimensi non materi bermakna tempat bagi segala
sesuatu yang intelligible (jelas) dan dilengkapi dengan plot-plot yang
memiliki sebutan berlainan dalam keadaan yang berbeda, yaitu ruh, nafs, qalb,
dan aql.[9]
Dimensi non-materi juga memiliki dua daya yaitu:
1. Daya berpikir yang disebut akal (aql)
berpusat di kepala
2. Daya rasa disebut qalb
atau hati yang berpusat di dada
Dapat disimpulkan bahwa manusia secara hakikatnya yang
ditinjau dari kualitas dan kuantitas dalam pandangan pendidikan Islam merupakan gabungan dua unsur yang
terdiri dari unsur jasmani dan unsur rohani. Dua unsur tersebut telah
menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan memiliki tingkat
kecerdasan tinggi dan tingkat perubahan yang signifikan.
Hasan Langgulung mengatakan, Manusia pada hakikatnya diciptakan
untuk mengembang tugas-tugas
pengabdian kepada Penciptanya.
Agar tugas dimaksud dapat dilaksanakan
dengan baik, maka
Sang Pencipta telah menganugrahkan kepada
manusia seperangkat potensi
yang dapat ditumbuhkembangkan.
Potensi yang siap pakai tersebut dianugrahkan dalam bentuk kemampuan dasar,
yang hanya mungkin berkembang secara optimal melalui bimbingan dan arahan yang
sejalan dengan petunjuk Sang Penciptanya.[10]
Dengan kemampuan pengetahuan yang benar, manusia berusaha menjaga
dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan
pengetahuannya di dalam perilaku sehari-hari. Persoalan pendidikan adalah
persoalan yang lingkupnya seluas persoalan kehidupan manusia. Masalah kehidupan
secara kodrati melekat pada tubuh dalam diri manusia. Secara langsung atau
tidak, setiap kegiatan hidup manusia selalu mengandung arti dan fungsi
pendidikan. Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas.
Karena manusia, pendidikan mutlak ada, dank arena pendidikan, manusia semakin
menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.[11]
Pada dasarnya, tugas utama pendidikan adalah
mengubah (transform) potensi-potensi manusia menjadi kemampuan-kemampuan atau
keterampilan-keterampilan yang dapat dimanfaatkan manusia. Potensi intelektual
misalnya, tidak ada gunanya kalau hanya disimpan di kepala. Ia akan menjadi
berguna manakala sudah diubah, melalui proses pendidikan, menjadi
penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penemuan-penemuan ini pada dasarnya merupakan cerminan atau hasil olahan dari
upaya pengembangan potensi intelektual manusia yang dulunya tersembunyi.
Berbagai lembaga pendidikan yang berfungsi khusus mengembangkan potensi intelektual
manusia, kiranya telah berhasil membekali manusia dengan penemuan-penemuan
tertentu. Hingga kini, lembaga-lembaga itu berhasil mentransformasikan
pengetahuan dan ketrampilan kepada generasi muda, agar mereka tetap dasar
survive.
Pendidikan Islam, sesungguhnya merupakan solusi
bagi penyakit yang menimpa manusia modern. Pendidikan islam adalah pendidikan
yang dibangun atas dasar fitrah manusia. Pendidikan Islam senantiasa bertujuan
menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui
latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh
manusia. Oleh karenanya, pendidikan Islam selalu berusaha menyediakan jalan
bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual,
imjinasi, fisik, ilmiah, linguistic baik secara individual maupun secara kolektif,
dan memotivasi semua aspek ini untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan hidup
manusia.
Tujuan Terciptanya Manusia dalam
Perspektif Pendidikan Islam
1). Menjadi Khalifah
Islam menempatkan manusia di muka bumi
ini sebagai khalifah. Kata khalifah bermakna sebagai pemimpin yang hakikatnya
sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya di muka bumi ini. Selain
itu makna khalifah juga dapat dimaknai sebagai pemimpin yang diberi tugas untuk
memimpin diri sendiri dan makhluk lainnya. Kepemimpinan yang harus dilaksanakan
manusia sebagai khalifah adalah untuk menjaga, merawat, memelihara,
mendayagunakan serta memakmurkan alam semesta guna kepentingan manusia secara
keseluruhan.
Tujuan manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam terlahir
kedunia ini tidak lain adalah untuk menjadi pemimpin atau khalifah, hal ini
telah ditegaskan dalam Firman allah dalam surat Hud ayat 61:
uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkÏù
…dia Telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[12]…
Dari keterangan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah
swt telah memberikan mandat kepada manusia untuk menjadi penguasa yang mengatur
tatanan bumi dan segala isinya. Inilah kekuasaan yang bersifat umum yang
diberikan Allah kepada manusia sebagai khalifah yakni untuk memakmurkan
kehidupan di bumi.[13]
2). Mengabdi Kepada Allah
Dalam Al-quran telah ditegaskan bahwa manusia diciptakan
hanya untuk mengabdi kepada sang khaliq yaitu Allah swt. Hal ini sebagaimana
firman Allah dalam al-Dzariat : 56 yang artinya:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.
Dari keterangan ayat diatas menyatakan bahwa apa yang harus
dilakukan manusia ketika terlahir kepermukaan bumi ini adalah hanya untuk
mengabdi kepada allah. Dalam konteks ibadah dapat dimaknai bahwa segala
aktifitas yang dilakukan manusia dalam keseharianya harus disandarkan dengan
tujuan ibdah. Segala bentuk pengabdian harus disertai dengan niat dan tujuan hanya
karena allah.
Makna ibadah tidak saja dapat diartikan dalam bentuk ritual
keagamaan yang bersifat wajib saja, namun secara mendalam, konteks ibadah
merupakan bentuk perlakuan dan perbuatan manusia yang disandarkan dengan niat
dan tujuan hanya untuk mengabdi kepada allah semata.
Implikasi Esensi Manusia dalam
Perspektif Pendidikan Islam
Berdasarkan tujuan terciptanya manusia, maka tujuan
pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pendidikan adalah untuk
mengenali dan meneguhkan kembali syahadah manusia terhadap Tuhan.[14]
Dalam hal ini, pendidikan haruslah merupakan suatu proses pemberi bantuan
kemudahan atau bimbingan bagi seorang anak manusia untuk mengenali dan
meneguhkan kembali syahadah primordialnya kepada Allah swt. Dalam pengertian
ini, mengenali berarti menyadarkan manusia untuk mengetahui bahwa ia akan
kembali kehadapan Allah, dan ia harus mempertanggungjawabkan segala bentuk
perbuatannya kepada Allah swt.
Dalam konteks fungsi penciptaan manusia, implikasi esensi
manusia sebagai Abdi Allah terhadap pendidikan Islam adalah sebuah upaya untuk
memberikan bantuan kemudahan bagi peserta didik dalam mengaktualitaskan
daya-daya al-jism dan al-ruh ke arah ketundukan dan kepatuhan yang sepenuhnya
kepada Allah swt. Dalam Perspektif Pendidikan Islam, pendidikan harus
melatihkan dan membiasakan prilaku abid serta mengarahkan pikiran, emosi, nafsu
dan perasaan peserta didik dan manusia umumnya untuk sepenuhnya taat dan tunduk
terhadap perintah Allah swt.
Bab III
Kesimpulan
Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk mengembang
tugas-tugas pengabdian kepada
Penciptanya. Agar tugas dimaksud dapat dilaksanakan
dengan baik, maka
Sang Pencipta telah menganugrahkan kepada
manusia seperangkat potensi
yang dapat ditumbuhkembangkan.
Tugas utama pendidikan secara umum
adalah mengubah (transform) potensi-potensi manusia tadi menjadi
kemampuan-kemampuan atau keterampilan-keterampilan yang dapat dimanfaatkan
manusia.
Pendidikan Islam selalu berusaha menyediakan
jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual,
imjinasi, fisik, ilmiah, linguistic baik secara individual maupun secara
kolektif, dan memotivasi semua aspek ini untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan hidup manusia.
[1]
Willy Wong, Men(g)akali
Pikiran, Cara Cerdas Negosiasi, Melobi, Mempengaruhi dan Memprovokasi Orang
lain, (Jakarta: Visi Media, 2012), hlm.xiii
[2] K.Bertens, Panorama
Filsafat Modern, (Jakarta: Teraju, PT.Mizan Publika, 2005), Hlm 79
[3] Musa Asy’arie,
Filsafat Islam, (Lembaga Studi Filsafat Islam, Lesfi, 1999) Hlm 49
[4]
Lihat Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1988) Hlm 27
[6] Jalaluddin, Teologi
Pendidikan,( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Hlm 5
[7] Mohammad Noor
Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Kependidikan Filsafat Pancasila,(Jakarta:
Usaha Nasional, 1986) Hlm 149
[8] Al-Rasyidin, Percikan
Pemikiran Pendidikan (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 6
[9] M. Naquib
al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. Terj. Haidar Bagir (Bandung:
Mizan, 1990), hlm. 5-7
[10]
Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam menghadapi Abad-21, (Pustaka al-Husna, 1988),
Hlm 84
[11] Suhartono Suparlan, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta:
Ar Ruzz. 2007). Hlm. 56
[12]
Maksudnya:
manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
[13] Ahmad Azhar
Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1994), Hlm.
48
[14] Al-Rasyidin,
…Hlm 11