Kamis, 15 November 2012

Rasm Al-Qur'an



BAB I
Pendahuluan


A.    Latar Belakang Masalah

Al-Quran diturunkan secara bertahap. Setiap kali ada ayat turun, Rasulullah SAW segera menyampaikannya kepada umat, dan memerintahkan untuk menulisnya. Diantara sahabat, ada yang langsung menghafal ayat al-Qur'an setiap kali turun. Ada pula yang hanya menulisnya, dan Rasulullah menuntun penulisan itu sesuai dengan urutan surat dan ayat.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku (mushaf), melainkan tersimpan dalam dada para sahabat, terukir diatas lembar-lembar para penulis wahyu. Pada saat itu para penghafal al-Qur'an sangat banyak, dan ada yang hafal secara keseluruhan.
Ketika Abu Bakar --khalifah pertama—memberantas kaum murtadin dan pendukung nabi palsu; Musailamah, banyak dari penghafal al-Qur'an gugur sebagai Syahid, hingga Abu Bakar khawatir hal ini akan mengakibatkan lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Umar bin Al-Khattab adalah sahabat yang mempunyai banyak keistimewaan, diantaranya adalah sesuainya pendapat Umar dengan wahyu yang akan diturunkan, seperti masalah disunahkannya shalat sunah di maqam Ibrahim. Dalam masalah ini beliau menyarankan agar segera dilakukan pengumpulan Al-Quran dalam sebuah buku. Melalui usaha keras akhirnya saran Umar ini diterima Abu Bakar menerimanya dan segera memerintahkan Zaid bin Tsabit, pemuda cerdas penulis wahyu untuk Rasulullah SAW, untuk membukukan al-Qur'an. Dengan pembukuan Al-Qur'an ini maka sempurnalah apa yang terkandung dalam firman Allah:

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

"Sesunggunya kami telah menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya kami akan melindunginya".

Al-Quran yang telah dikumpulkan berdasar hafalan-hafalan para sahabat, tulisan tulisan yang tercerai berai di atas bebatuan, kulit-kulit unta dan lembar-lembar daun kurma, disimpan di kediaman Abu Bakar, lalu Hafshah binti Umar. Mushaf Abu Bakar ini adalah mushaf Al-Qur'an yang memasukkan 7 bacaan, sesuai dengan riwayat shahih tentang bacaan al-Quran, Mushaf ini dikenal dengan mushaf bakriyah.
Pada saat Utman bin Affan RA memerintah Islam, beliau melihat banyaknya perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur'an, sebabkan tersebarnya para qari'in di berbagai kota, hingga menimbulkan bacaan al-Qur'an dengan bermacam-macam dialek. Kemudian beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al-'Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hasyim untuk menulis kembali Al-Qur'an dengan rujukan mushaf al-bakriyah yang berada di kediaman Hafshah. Penulisan kedua ini didasarkan pada dialek arab suku Quraisy dan berarti Utsman menyisakan hanya satu bacaan dari tujuh bacaan al-Qur'an yang diturunkan.  Alasannya ialah karena memang Al-Qur'an diturunkan dengan lughat bangsa Quraisy. Dengan tindakan ini seluruh mushaf al-Qur'an yang berbeda dengan tulisan keempat sahabat tersebut dibakar untuk menghindari perbedaan yang akan menimbulkan perpecahan. Sementara Mushaf Bakriyah dikembalikan lagi ke Sayyidah Hafshah. 
Mushaf ini diperbanyak dan dikirim diberbagai kota penting di wilayah kekuasaan Islam. Mushaf ini terkenal dengan sebutan mushaf utsmani atau rasm utsmani. Kejadian ini terjadi pada tahun 25 Hijriyah.
Dari sedikit paparan diatas, Makalah ini mencoba untuk mensentralkan pembahasannya pada Rasm Qur’an, Atau Lebih Mashyur dengan Rasm Utsmani










BAB II
Pembahasan

A.    Definisi Rasm Al-Qur’an
Istilah Rasm al-Qur’an terdiri dari dua kata: rasm dan al-Qur’an. Rasm merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja rasama yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis dan juga berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan Al-Atsar, ‘alamah. Sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dengan perantara malaikat Jibril yang ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), mempelajarinya merupakan amal-ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup oleh surat an-Nass.
Rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Para ulama lebih cenderung menamainya dengan istilah rasmul Mushaf. Ada pula yang menyebut rasm al-Qur’an dengan rasm ‘Usmany dikarenakan istilah ini lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf ‘Utsman, yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empatyang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits yang ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Atau lebih hematnya, Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan.







B.     Kaidah Rasm Qur’an (Utsmani)

Kaidah ini teringkas dalam enam kaidah[1];
  1. Al–Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
  2. Al-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
  3. Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
  4. Badal (penggantian),  seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
  5. Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
  6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).


C.    Susunan Ayat Dan Surah Dalam Rasm Utsmani

Bahwa berdasarkan Ijma dan nash-nash yang ada, susunan surat dan ayat dalam al-Qur'an adalah tawqifi. Ijma' tentang urutan ayat dan surat ini telah dinukil oleh sebagian besar ulama, diantaranya adalah Az-Zarkasyi dalam kitab "Al-Burhan", dan Abu Ja'far bin Zubair dalam kitab "Al-Munasabat"
Sedangkan dari nash diantaranya adalah hadits riwayat Zaid bin Tsabit, ia berkata:

كنا نؤلفُ القرآن من الرِّقاع

"Kami menulis al-quran dari riqa', yakni mengumpulkannya untuk menertibkannya"

Dan  banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan. Nama surat juga tawqifi. Dalilnya ialah hadits Muslim dari Abuh Hurairah:

ان البيت الذى تقرأ فيه البقرة لا يدخله شيطان

"Sesungguhnya rumah yang dibacakan surat al-Baqarah tidak akan kemasukan syetan". (HR. Muslim)

Ulama yang mengatakan bahwa urutan surah bukan tawqifi, tetapi hasil ijtihad para sahabat menggunakan dalil dari hadits riwayat Muslim dari Hudzaifah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW dalam sebuah shalat pada rakaat pertama membaca surat An Nisa dan pada rakaat kedua membaca surat Ali Imran. Ini membuktikan bahwa urutan surat dalam al-Qur'an adalah hasil ijtihad para sahabat, seperti yang dikatakan al-Qadli 'Iyadl.



D.    Pendapat Ulama Tentang Rasm Al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat mengenai status rasm al-Qur’an (tata-cara penulisan al-Qur’an):
a.       Sebagian dari mereka berpendapat bahwasanya Rasm ‘ustmani itu bersifat tauqifi yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis al-Qur’an dan harus sungguh disucikan. dengan kata lain mereka bahkan sampai pada tingkat menyakrakalnya. Mereka berargumen, bahwa Nabi SAW memiliki para penulis, yang bertugas menulis wahyu. Secara praktis, mereka menulis dengan rasm ini, dan hal itu mendapatkan pengakuan dari Nabi SAW, setalah masa Nabi berlalu, al-Qur’an masih ditulis seperti itu, tak mengalami perubahan dan pergantian. Untuk mendapatkan ini, mereka merujuk kepada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi meletakkan undang-undang yang bekenaan dengan wahyu, baik berkenaan dengan rasm ataupun lainnya , yang disampaikan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya.
الق الدواة، وحرّف القلم، وانصب الياء، وفرّق السين، ولاتعوّرالميم، وحسّن الله، ومدّالرّحمن، وجوّدالرّحيم، وضع قلمك على أذنك اليسرى، فإنّه أذكر لك
Artinya:
“Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan”ba”, bedakan”sin”, jangan kamu miringkan “mim”, buat baguslah (tulisan) “Allah”, panjangkan (tulisan) “ar-Rahman”, dan buatlah bagus (tulisan) “ar-Rahim” dan letakkanlah penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuat kamu lebih ingat” .
Mereka pun mengutip pernyataan Ibn al-Mubarak,
“Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan al-Qur’an, karena penulisan al-Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seprti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambah alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal Misalnya, penambahan huruf ya’ pada kata iadin yang terdapat :والسّمَاء بنينها بأيدٍ”(Q.S. 51:47). Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-kitab-Nya yang mulia, yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al-Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun juga mukjizat”.
b.      Pendapat kedua yaitu mereka yang berpendapat bahwa rasm al-Qur’an itu bukan tauqifi, bukan ketetapan Nabi. Rasm Utsmani itu suatu cara penulisan yang disetujui oleh khalifah Utsman Ibn Affan dan diterima umat Islam dengan baik. Karenanya, menjadi keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Pendapat ini dipelopori oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqilani. Pendapatnya antara lain terlihat dalam bukunya al-Inthishar, bahwa mengenai tulisan al-Qur’an, Allah sama sekali tidak mewajibkan kepada umat Islam dan tidak melarang para penulis al-Qur’an menggunakan rasm selain itu (Utsman). Apa yang dikatakan kewajiban itu hanya diketahui dari berita-berita yang didengar. “Kewajiban” itu tidak terdapat dalam nash al-Qur’an, dan tidak ada pula pengertian yang mengisyaratkan bahwa rasm al-Qur’an dan pencatatannya hanya boleh dilakukan dengan bentuk khusus atau dengan cara tertentu yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak ada nash Hadits khusus yang mewajibkan dan meng demikian pula syaratkan hal itu. Demikian pula dengan ijma’ul unmmah (kebulatan pendapat umat islam). Bahkan sunah Rasullullah menunjukkan dibolehkannya penulisan al-Qur’an dengan rasm yang paling mudah. beliau memerintahkan penulisannya tanpa menjelaskan bentuk tulisan (rasm) tertentu, dan beliau tidak melarang siapa pun menulis al-Qur’an. Karena itulah sehingga bentuk tulisan mushaf berbeda-beda. Karena itu boleh saja al-Qur’an ditulis dengan huruf kufiy. Boleh saja huruf laam ditulis mirip huruf kaaf, huruf alif dibengkokokan penulisanya, atau ditulis dengan bentuk-bentuk huruf yang lain. Jadi, menurut pendapat kedua ini al-Qur’an boleh saja ditulis dengan tulisan dan huruf hija zaman kuno, dan boleh juga ditulis dengan huruf hija dan bentuk tulisan yang sudah diperbarui.

Pendapat pertama mengandung penghormatan kepada Rasm Utsman yang berlebih-lebihan, karena mengada-ngadakan pengertian dengan cara dipaksa-paksakan dan hanya berlandaskan pada emosi. Atas dorongan perasaan sufisme mereka menyerahkan persoalan pada selera batin, padahal selera adalah nisbi (relatif), tidak ada kaitanya dengan agama dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan tentang kebenaran hukum syara’. Tidak logislah bila dikatakan bahwa soal rasm (huruf dan tulisan) Qur’an itu tauqif, yakni atas tuntutan, petunjuk dan persetujuan langsung dari Rasullullah SAW. Beliau pun tidak pernah sama sekali menyatakan adanya rahasia di dalam kandungan huruf-huruf terpisah yang mengawali surah-surah. Hadits Rasullullah mengenai hal tersebut perlu diteliti kebenarannya.
Yang benar ialah bahwa penulis mushaf (panitia empat) sepakat menggunakan istilah rasm al-Qur’an. Dan istilah itu disetujui khalifah, bahkan khalifah Utsman menetapkan pedoman yang harus diindahkan oleh para penulis mushaf bila terjadi perbedaan pendapat.
Subhi as-Shalih tidak sepakat dengan pendapat kedua yang dilontarkan oleh Al-Baqilani. Tentang kebolehan menulis al-Qur’an dengan rasm kuno, namun ia sepakat dengan pendapat Al-‘Izz Bin ‘Abdus-Salam yang mengatakan bahwa dewasa ini penulisan mushaf tidak boleh berdasarkan rasm kuno yang telah disepakati oleh para imam masa dulu, agar tidak mengakibatkan hilangnya ilmu-ilmu agama Islam. Ini berarti a-Qur’an seharusnya ditulis dengan cara yang lazim dikenal pada zamanya. Bukan berarti rasm usmani yang lama harus ditiadakan. Jika ditiadakan, hal ini akan merusak lambang keagamaan besar yang telah disepakati bulat oleh seluruh umat islam, yang dapat menyelamatkan umat daari perpecahan, karena mushaf Utsman merupakan salah satu cara untuk memelihara persatuan dan kesatuan umat Islam atas dasar satu syiar dan satu istilah.
Mushaf-mushaf yang dikirim Utsman ke seluruh penjuru negeri yang disebut sebagai rasm utsmani, adalah mushaf yang wajib diikuti berdasar kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak begitu mengerti apa hikmah dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa alasan. Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat. Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'. Rasulullah SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah beliau dan sunnah-sunnah khulafa'ur Rasyidin.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya.
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya.
Jika ditanya, mengapa kita tidak memakai mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf utsman? Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di mana di dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu qira'ah dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu Bakar yang hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa bangsa Quraisy.




E.     Usaha Ulama dalam menerjemahkan Gaya Penulisan Mushaf
Banyak para ulama yang berusaha menerjemahkan gaya penulisan mushaf utsmani yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan arab yang baku. Banyak alasan-alasan dan hikmah-hikmah yang mereka kemukakan dibalik tulisan mushaf itu. Namun hal ini hanya sebagai penghibur dan pemanis, karena alasan-alasan dan hikmah itu diciptakan jauh sesudah para sahabat wafat, dimana mereka meninggalkan rasm yang tidak diketahui hikmahnya dan tidak dipahami petunjuknya, tanpa memandang alasan-alasan nahwiyah atau sharfiyah yang sudah tercipta. Diantara hikmah-hikmah itu ialah:
  1. Pembuangan alif dalam بسم الله adalah untuk mempermudah dan meringankan, karena sering digunakan. Ada yang mengatakan bahwa karena alif dibuang maka sebagai petunjuk pembuangan alif, awal penulisan ba' dibuat panjang.
  2. Pembuangan wawu pada ayat يمح الله الباطل berfungsi sebagai petunjuk akan cepat hilangnya kebatilah.
  3. Penambahan ya' pada والسماء بنينها بإييد berfungsi untuk membedakan lafadz أيدي  yang bermakna kekuatan dan yang bermakna tangan.
  4. Penambahan Alif pada لا اذبحنه berfungsi sebagai petunjuk bahwa penyembelihan tidak terjadi, seolah-olah لا dalam ayat itu adalah nafiyah.
F.     Penambahan Titik dan Harokat
Titik dan harokat pada zaman sebelum Islam tidak dikenal, begitu pula saat munculnya rasm utsmani. Ketika agama Islam tersebar bukan hanya ke wilayah Arab saja, maka terjadi kesalahan dalam pembacaan al-Qur'an oleh orang-orang non Arab. Orang yang memprakarsai pertama kali penambahan harokat, titik, tanda waqaf dan tanda-tanda yang lain seperti yang kita kenal saat ini adalah Gubernur Mekah Al-Hajjaj Yusuf Ats Tsaqafi, gubernur dzalim pada zaman khalifah Abbasiyah Abdul Malik bin Marwan. Dialah yang telah membunuh banyak ulama dan sahabat dan menghancurkan Ka'bah.



















BAB III
Kesimpulan
Bagaimanapun, Rasm Utsmani adalah sebuah prestasi gemilang dalam sejarah perkembangan Islam, meredam perbedaan dan menghindarkan Al-Qur'an dari kesirnaan. Jika rasm utsmani tidak ada, mungkin al-Qur'an tidak akan pernah sampai ke tangan kita. Dan apapun pendapat ulama tentang rasm utsmani, ia adalah maha karya sahabat dan khulafaur rasyidin, di mana kita dianjurkan berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah khulafaur rasyidin, jika menginginkan keselamatan di saat perpecahan umat semakin menjadi yang menjadikan Islam semakin penuh warna, dan semakin meningkatnya kecenderungan manusia terhadap dunia.













Daftar Pustaka

Al-Khudlari, Muhammad, Tarikh At-Tasyri' al-Islami, Maktabah Dar Ihya' al Kutub al-Arabiah, Surabaya, Cet. Tahun 1981
Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Al-Mushannaf, Dar El Fikr, Beirut
Al-Suyuthi, Abdur Rahman bin Al-Kamal Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an
Al-Kurdi, Muhammad Tahir, 'Ulum al-Qur'an
http://fadliyanur.multiply.com/journal/item/27
http://id.wikipedia.org/wiki/Rasm_al-Qur’an
Rosihun Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia. 2000
Muhammad Quraish Shihab dkk. Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000










Dasar-Dasar Pendidikan Islam



Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang Masalah

Setiap kegiatan atau aktivitas yang disengaja secara sadar untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan tempat berpijak yang kokoh dan kuat. Dasar adalah pangkal atau titik tolak suatu aktivitas. Di dalam menetapkan dasar suatu aktivitas manusia selalu berpedoman kepada pandangan hidup dan hukum-hukum dasar yang dianutnya, karena hal ini yang akan menjadi pegangan dasar di dalam kehidupannya. Apabila pandangan hidup dan hukum dasar yang dianut manusia berbeda, maka berbeda pulalah dasar dan tujuan hidupnya[1].
Dasar adalah merupakan landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar sesuatu tersebut tegak kokoh berdiri. dasar suatu bangunan yaitu fondamen yang menjadi landasan bangunan tersebut agar bangunan itu tegak dan kokoh berdiri. demikian juga dasar pendidikan islam yaitu fondamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan islam dapat tegak berdiri tidak mudah roboh karena tiupan angin kencang berupa ideologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang. dengan adanya dasar ini maka pendidikan islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan ataupun mempengaruhinya[2].
Islam merupakan agama universal yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada manusia diseluruh muka bumi ini sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat kelak. Untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan tersebut diperlukan adanya suatu usaha, yang merupakan kewajiban bagi manusia dan sebagai pelaksanaannya manusia harus berpedoman pada tata aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, karena dalam melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik, manusia sendiri yang melakukannya.
Pendidikan adalah suatu usaha sekaligus proses mencapai perubahan dan perbaikan dalam mencapai kebahagiaan hidup yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dari sejak lahir sehingga akhir hayat. Oleh karena tugas yang cukup berat dan mulia itu maka diperlukan suatu landasan, dasar atau fondasi tempat berpijak sehingga apa yang menjadi tujuan pendidikan tidak menyimpang dan pindah jalur, akan tetapi menjadi jelas. Disatu sisi, Pendidikan Islam merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan umat Islam.
Pendiddikan merupakan unsur terpenting bagi manusia untuk meningkatkan kadar keimanannya terhadap Allah SWT, karena orang semakin banyak mengerti tentang dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam maka kemungkinan besar mereka akan lebih tahu dan lebih mengerti akan terciptanya seorang hamba yang yang beriman. Manusia hidup dalam dunia ini tanpa mengenal tentang dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam, maka jelas bagi mereka sulit untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, apa lagi menjadi hamba yang beriman.
Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem yang berusaha mengembangkan dan mendidik segala aspek pribadi manusia dengan segala kemampuannya. Termasuklah kedalamnya pengembangan segala segi kehidupan manusia/masyarakat misalnya sosial budaya, ekonomi dan politik; serta bersedia menyelesaikan problema masyarakat masa kini dalam menghadapi tuntutan-tuntutan masa depan dan memilihara sejarah dan kebudayaannya[3].
Pendidikan Islam sendiri telah diakui sebagai salah satu bidang studi atau kajian dalam Islam. Ha ini terbukti dari adanya Fakultas yang secara khusus membidani Ilmu Pendidikan Islam. Yaitu Fakultas Tarbiyah pada STAIN, IAIN dan UIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta Lainnya. Pertumbuhan dan perkembangannya ditandai  dengan adanya disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti Fiqih, Ilmu Kalam, Tafsir, Ilmu Hadist dsb.
Dalam kaitannya pernyataan diatas dapat diberikan definisi bahwa kita perlu mempelajari suatu hal yang lebih dalam tentang Islam. Namun banyak orang yang belum mengerti apa saja yang menjadi dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam. Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang di sengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan agama Islam sebagai suatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan bagi semua kegiatan didalamya.
Menurut Zakiyah Darajat “Landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad[4] Karena itu pendidikan yang memiliki permasalahan yang befitu kompleks dan memiliki proses yang panjang, hendaklah dia melepaskan landasannya baik idealnya maupun operasionalnya.
Untuk lebih Jelasnya, makalah ini akan menerangkan perihal “Dasar-Dasar Pendidikan Islam”. Yang spesifiknya penjelasan ini akan mengarah pada Dasar Ideal Pendidikan Islam atau bisa disebut Dasar Pokok Pendidikan Islam, sedangkan dasar operasionlnya aka dijelaskan oleh Pemakalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua amin.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian diatas , kami mencoba memahami berbagai masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dasar pendidikan Islam ?
2.      Apa dasar-dasar pendidikan Islam ?

C.    Signifikansi Pembahasan

Yang menjadi tujuan dan kegunaan yang diharapkan pembahas dari adanya pembahasan kali ini adalah :
1.                           Tujuan Pembahasan
1.1              Mengetahui Pengertian dari Dasar Pendidikan Islam
1.2              Mengetahui Dasar-dasar Pendidikan Islam
2.                           Kegunaan Pembahasan
Hasil pembahasn ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi:
2.1              Pembahasan ini diharapkan  dapat menjadi Pembelajaran penulisan karya ilmiah dalam upaya mengembangkan kompetensi Pembahas.
2.2              Guna memenuhi salah satu syarat dalam Landasan Pendidikan Dan Pembelajaran, Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda
2.3              Sebagai sebuah khazanah untuk memperkaya Kekayaan Keilmuan, Khususnya dunia Pendidikan Agama Islam.

D.    Langkah-langakh Pembahasan

Makalah ini terdiri dari empat bab yang diawali dengan pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah, yakni uraian tentang alasan persoalan ini perlu diangkat dan disajikan sebagai bahan studi kajian. Selanjutnya dijelaskan pula rumusan signifikansi dan langakah pembahasan.
Pada bab II Berisi Kajian Pustaka yang mengetengahkan tentang Pengertian dasar-dasar Pendidikan Islam dan Menerangkan Dasar-dasar Pendidikan Islam
Pada bab III berupa Kesimpulan
Daftar Pustaka





































BAB II
Pembahasan


1.      Pengertian Dasar Pendidikan Islam

Dasar mesti ada dalam suatu bangunan. Tanpa dasar, bangunan itu tidak akan ada. Pada pohon, dasar adalah akarnya. Tanpa akar, pohon itu mati; dan ketika sudah mati, bukan pohon lagi namanya, melainkan kayu. Maka tak ada akar, pohon pun tak ada. Dasar (Arab: Asas; Inggris: Foudation; Perancis: Fondement; Laitn: Fundamentum) secara bahasa berarti alas, fundamen, pondasi pokok atau pangkal segala sesuatu ( pendapat, ajaran, aturan)[5].
Dasar megandung pengertian sebagai berikut:
Pertama,  sumber dan sebab adanya sesuatu. Umpamanya, alam rasional adalah dasar alam inderawi. Artinya, alam rasional merupakan sumber dan sebab adanya alam inderawi.
Kedua, proposisi paling umum dan makna paling luas yang dijadikan sumber pengetahuan, ajaran atau hukum. Dasar adalah merupakan landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar sesuatu tersebut tegak kokoh berdiri. dasar suatu bangunan yaitu fondamen yang menjadi landasan bangunan tersebut agar bangunan itu tegak dan kokoh berdiri. demikian juga dasar pendidikan islam yaitu fondamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan islam dapat tegak berdiri tidak mudah roboh karena tiupan angin kencang berupa ideologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang. dengan adanya dasar ini maka pendidikan islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan ataupun mempengaruhinya[6].
Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut[7].
Dengan demikian, dasar pendidikan Islam berarti landasan yang digunakan dalam melakukan proses pendewasaan anak didik; baik pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotoriknya sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Dasar pendidikan islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sistem pendidikan islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu[8].
Dasar ilmu pendidikan Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber dari al-Qur`an, sunnah Rasulullah saw, (selanjutnya disebut Sunnah), dan ra`yu (hasi pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur`an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelasan tidak ditemukan di dalam al-Qur`an, maka harus dicari di dalam sunnah, apabila tidak ditemukan juga dalam sunnah, barulah digunakan ra`yu. Sunnah tidak bertentangan dengan al-Qur`an , dan ra`yu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah.







2.      Dasar-Dasar Pendidikan Islam

Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam yaitu at-tarbiyah, al-ta’lim dan at-ta’dib. Umumnya, istilah pendikan Islam banyak menggunakan at Tarbiyah. Padahal menurut Naquib Al Attas, pengertian ta’dib lebih tepat dipakai untuk pendidikan Islam daripada ta’lim atau tarbiyah.
Ta’dib merupakan mashdar dari addaba yang secara konsisten bermakna mendidik. Ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian disebut juga mu’addib. Setidaknya. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan cara-cara yang benar sesuai kaidah. Karena itu ta’dib berbeda dengan mengajarkan biasa sebagai mana umumnya mengajarkan siswa di sekolah yang hanya dominan mengejar akademis dan nilai.
Berbicara tentang dasar ilmu pendidikan Islam berarti juga berbicara tentang kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena semua aspek kehidupan yang terkandung di dalam ajaran Islam berasaskan kepada kedua sumber pokok, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Kedua dasar ini kemudian dikembangkan sesuai dengan pemahaman para ulama, baik dalam bentuk  qiyas syar’i, ijma yang diakui, ijtihad, dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan terpadu; tentang jagat raya, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan, dan akhlak dengan merujuk kepada sumber asal (Al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama.6
Alasan bahwa pendidikan Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis adalah berdasarkan firman Allah:
                                         
Artinya: “...Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maaidah: 44)
                         
Artinya: “...Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia akan bahagia sebenar-benar bahagia.” (QS. Al-Ahzab: 71)

Ayat pertama tegas mengatakan bahwa dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai sumber rujukan dalam mengambil segala kebijakan, termasuk bidang pendidikan adalah Al-Qur’an. Sementara ayat kedua menjelaskan bahwa percaya dan mematuhi Allah tidaklah cukup tanpa beriman dan mematuhi Rasul-Nya sebagai penjelas dari segala ajaran yang diwahyukan Allah. Oleh karena itu, apabila seseorang mematuhi Allah dan Sunah Rasul-Nya, maka ia akan memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Disini Pemakalah membedakan menjadi 2 dimensi Dasar yang melandasi Pendidikan Islam, yakni : Dasar Ideal dan Dasar Operasional

2.1 Dasar Ideal
Said Ismail Ali, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung menyebutkan bahwa dasar ideal pendidikan Islam terdiri dari : Al-Qur’an, Hadis, kata-kata sahabat, Ijtihad, kebiasaan masyarakat, serta hasil pemikiran para intelektual muslim[9].
·         Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dalam bahasa arab yang terang guna menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia di dunia dan di akhirat. Terjemahan Al-Qur’an ke bahasa lain dan tafsirnya bukanlah Al-Qur’an, dan karenanya bukan nasb yang qatb’I dan sah untuk di jadikan rujukan dalam menarik kesimpulan ajarannya.  
Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai kitab petunjuk. Allah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk ke (jalan) yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (Q.S. Al-Isra/ 17:9)
Ayat-ayat semacam ini menegaskan bahwa tujuan Al-Qur’an adalah memberikan petunjuk kepada umat manusia. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan memperbaiki hati dan akal manusia dengan akidah-akidah yang benar dan akhlak yang mulia serta mengarahkan tingkat laku mereka kepada perbuatan yang baik.
Atas dasar ini, sebagai mana dikemukakan ‘Ali Hasballah, setiap pembahasan tetang Al-Qur’an yang bertujuan mencapai tujuan Al-Quran tersebut merupakan pembahasan yang proposional, dibutukkan, dan berdasar pada dalil syar’i. pembahasan yang tidak bertujuan demikian tidak akan mendapat legitimasi dari dalil syar’i.
Petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana di kemukakan Mahmud Syaltut, dapat dikelompokan menjadi tiga pokok yang di sebutnya sebagai maksud-maksud  Al-Qur’an[10], yaitu:
1.      Petujuk tentang akidah dan kepercayan yang harus dianut oleh manusia dan tersimpul dalam keimanan akan Keesaan Tuhan serta kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2.      Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif.
3.      Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Dalam menyajikan maksud-maksud tersebut, Al-Qur’an menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1.      Mengajak manusia untuk memperhatikan dan mengkaji segala ciptaan Allah sehingga mengetahui rahasia-rahasia-Nya yang terdapat di dalam semesta.
2.      Menceritakan umat terdahulu, baik individu maupun kelompok, baik orang-orang yang mengerjakan kebaikan maupu orang-orang yang mengadakan kerusakan, sehingga dari kisah ini manusia dapat mengambil pelajaran tentang hukum sosial yang di berlakukan Allah terhadap mereka.
3.      Menghidupkan kepekaan batin manusia yang mendorongnya untuk bertanya dan berpikir tentang awal dan materi kejadiannya, kehidupannya, dan kesudahannya, sehingga insyaf akan Tuhan yang menciptakan segala kekuatan.
4.      Memberi kabar gembira dan janji serta peringatan dan ancaman.
Sistematika yang di gunakan Al-Qur’an dalam menyajikan kandungannya tidak sama dengan yang digunakan dalam penyususnan buku-buku ilmiah. Dalam buku-buku ilmiah satu masalah dibahas dengan satu metode tertentu serta dibagi menjadi bab-bab dean pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang menerangkan banyak persoalan induk secara silih berganti. Persoalan akidah kadang-kadang bergandengan dengan persoalan hukum diterangkan, tiba-tiba muncul persoalan lain yang sepintas tampak tidak saling berhubungan.
Al-Qur’an, dalam penegasan Allah dan keyakinan kaum muslimin, merupakan sumber pertama ajaran-ajaran dasar Islam. Sebagai ajaran yang datang dari Allah Yang Maha Besar, kebenarannya bersifat mutlak dan kekal. Oleh sebab itu, sikap keagamaan orang mukmin terhadap Al-Qur’an adalah memahami kebenaran pernyataannya dengan bertitik tolak dari keyakinan; bukan memandangnya sebagai bahan baku teori, hipotensi, atau asumsi ilmiah yang memerlukan pembuktian dengan bertitik tolakdari keraguan. Umpamanya, di dalam Al-Qur’an terdapat firman Allah yang menyatakan sebagai berikut: 
… dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)keji dan mungkar…(Q.S. al-Ankabut/29:45)
Pernyataan tersebut menunjukan kepada hubungan kausalitas antara salat dan tercegahnya tidak kekejian dan kemungkaran. Apabila pernyataan itu dipahami dengan logika ilmiah, maka kebenarannya akan bersifat sementara sebelum terbukti secara empiris. Apabila pendidikan muslim berfikir demikian, maka dalam mendidik anak-anak agar tidak melakukan tindak kekejian dan kemungkaran ia tidak akan bersandar kepada pendidikan shalat, bahkan mungkin ia akan membiarkan anak-anak tidak melaksanakannya sampai kebenaran pernyataan di atas terbukti. Dengan demikian, ia siap melanggar kewajiban yang di sampaikan Nabi saw, sebagai berikut:
Suruhlah anak-anak kamu melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun; dan pukullah mereka karena meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka (H.R. Abu Dawud)  

Al-Qur’an bukan kitab teori ilmu. Meskipun demikian, antara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat. Hubungan itu terlihat pada pilihan moral: obyek apa yang akan diteliti dan untuk apa pengetahuan yang dihasilkan diterapkan. Disamping itu, sebagai mana di kemukakan M.Quraisy Shihab, hubungan antara Al-Quran dan ilmu tidak dilihat dari adakah suatu teori tercantum di dalam Al-Qur’an, tetapi dari adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan. Kemajuan ilmu tidak hanya di nilai dengan apa yang dipersembahkan kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan terciptanya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu itu. Al-Qur’an telah menciptakan iklim tersebut dengan menjadikan ilmu sebagai bentuk kesadaran muslim yang amat sentral, yang menengahi antara iman dan amal. Dalam hal ini, para ulama sering mengemukakan perintah Allah SWT., langsung maupun tidak langsung, kepada manusia untuk berpikir, merenung, menalar, dan sebagainya. Banyak sekali seruan dalam Al-Qur’an kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan, atau perintah supaya ia berpikir, merenung, dan menalar. Umpamanya, terdapat firman Allah yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran dalam mencapai hasil:
Katakanlah (hai Muhammad): “sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.” (Q.S. Saba’ / 34:46)
Firman Allah yang menekankan betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat: 
Tanyakanlah hai Muhammad: “Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan mereka yang tidak mengetahui?” (Q.S. Al-Zuma r/ 39:9)
Firman Allah yang mengeritik pedas orang-orang yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa data obyektif dan ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut:
Inilah kamu (wahai Abi Al-kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.   (Q.S. Ali’Imran / 3:66)

Hubungan antar Al-Qur’an dan ilmu pendidikan Islam tampak terbatas pada segi-segi dikemukakan di atas. Namun, ini tidak berarti bahwa Al-Qur’an tidak mempunyai hubungan yang luas dengan pendidikan. Dalam kaitan ini, Ahmad Ibrahim Muhanna mengatakan bahwa Al-Qur’an membahas berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan terpenting yang dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan setiap manusia. Hal ini tidak aneh mengingat Al-Qur’an merupakan Kitab Hidayah; dan seseorang memperoleh hidayah tidak lain karena pendidikan yang benar serta ketaatannya. Meskipun demikian, hubungan ayat-ayatnya dengan pendidikan tidak semuanya sama. Ada yang merupakan bagian pondasional dan ada yang merupakan bagian parsial. Dengan perkataan lain, hubungannya dengan pendidikan ada yang langsung dan tidak ada yang tidak langsung.

·         Sunnah
Al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada umat manusia dengan penuh amanat; tidak sedikit pun ditambah ataupun dikurangi. Selanjutnya, manusialah yang hendaknya berusaha memahaminya, menerimanya, kemudian mengamalkannya.
Seringkali manusia menemui kesulitan dalam memahaminya, dan ini dialami oleh para shahabat sebagai generasi pertama penerima Al-Qur’an. Karenanya, mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah saw. yang memang diberi otoritas untuk itu.
Setelah Al-Qur’an, pendidikan Islam menjadikan Sunnah Rasulullah SAWsebagai dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah, Sunnah berarti jalan, metode dan program. Sedangkan secara istilah, sunah adalah sejumlah perkara yangdijelaskan melalui sanad yang sahih, baik itu berupa perkataan, perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai, dan dibenci, peperangan,tindak tanduk dan seluruh aktivitas kehidupan Nabi SAW.
 Pada hakikatnya,keberadaan Sunnah ditujukan untuk mewujudkan dua sasaran, yaitu:
1.  Menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tujuan ini diisyaratkan Allahdalam firman-Nya: Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya.” (QS. Al-Nahl: 44)
2.  Menjelaskan syariat dan pola perilaku, sebagaimana ditegaskan dalam firmanAllah:
Artinya: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorangRasul di antara m kepada mereka ayat-ayat-Nya (Al-Qur’an), menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab danhikmah.” (QS. Al-Jumu’ah:2)

Dalam dunia pendidikan Sunnah mempunyai dua manfaat pokok[11] :
Pertama, Sunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep Al-Qur’an serta lebih memerinci penjelasan dalam Al-Qur’an.
Kedua, Sunnah dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan. Misalnya, kita dapat menjadikan kehidupan Rasulullah SAW dengan para sahabat maupun anak-anaknya sebagai sarana penanaman keimanan. Rasulullah adalah sosok pendidik yang agung dan pemilik metode pendidikan yang unik. Beliau sangat memperhatikan manusia sesuaidengan kebutuhan, karakteristik dan kemampuan akalnya, terutama jika beliau berbicara dengan anak-anak.

·         Perkataan Para Sahabat (Qaul al-Shahabah)

Pada masa Khulafa’ al-Rasyidin, sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur’an dan Sunnah juga perkataan, sikap, dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegangi karena Allah sendiri dalamAl-Qur’an memberi pernyataan:
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulahkemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah: 100)
Di antara perkataan sahabat yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikanIslam adalah sebagai berikut:

1.      Perkataan Abu Bakar setelah dibai’at menjadi khalifah, ia mengucapkan pidato sebagai berikut: “Hai manusia saya telah diangkat untuk mengendalikanurusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Jika akumenjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tapi jika aku berbuat salah, betulkanlah aku, orang yang kamu pandang kuat, aku pandang lemah sehingga aku dapat mengambil hak darinya, sedangkan orang yang kamu pandang lemah,aku pandang kuat sehingga aku dapat mengembalikan haknya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika aku tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu taat kepadaku.” Menurut pandangan Nazmi Luqa, ungkapan Abu Bakar ini mengandung arti bahwamanusia harus mempunyai prinsip yang sama di hadapan Khaliknya. Selama baik dan lurus, ia harus diikuti, tetapi sebaliknya jika ia tidak baik dan lurus, manusia harus bertanggung jawab memutuskannya.
2.      Umar bin Khattab terkenal dengan sifat jujur, adil, dan cakap serta berjiwademokratis yang dapat dijadikan panutan masyarakat. Sifat-sifat Umar disaksikan dan dirasakan sendiri oleh masyarakat pada masa itu. Sifat-sifat seperti ini sangat perlu dimiliki oleh seseorang pendidik karena di dalamnya terkandung nilai-nilai paedagogis yang tinggi dan teladan yang baik yang harus ditiru.

·         Ijtihad
Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhirlah masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin dan digantikan oleh Dinasti Umayyah. Pada masaini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara bahkan ke Spanyol. Perluasan daerah kekuasaan ini di ikuti oleh ulama dan guru atau pendidik. Akibatnya terjadi pula perluasan pusat-pusat pendidikan yang tersebar di kota-kota besar.
Karena Al-Qur’an dan Hadis banyak mengandung arti umum, maka para ahli hukum Islam, menggunakan ijtihad untuk menetapkan hukum tersebut. Ijtihad ini terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi SAW dan beranjaknya Islam mulai ke luar tanah Arab.
Para fuqaha mengartikan ijtihad dengan berfikir menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’ah Islam, dalam hal-hal yang belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu. Ijtihad dapat dilakukan dengan Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan lain-lain.
Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis bersifat pokok-pokok dan prinsipnya saja. Bila ternyata ada yang agak terinci, maka rinciannya itu merupakan contoh Islam dalam menerapkan prinsip itu. Sejak diturunkan ajaran Islam sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW, Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntutoleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.

·         Adat Kemasyarakatan

Masyarakat mempunyai andil yang sangat besar terhadap pendidikan anak-anak. Masyarakat merupakan penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran, danmasyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, pemutus hubungan kemasyarakatan. Atas izin Allah, Rasulullah SAW menjadikan masyarakat sebagai sarana membina umat Islam yang tidak mau terlibat dalam peperangan. Beliau menyuruh para sahabat untuk memutuskan hubungan dengan beberapa orang (tiga orang) yang tidak mau terlibat dalam kegiatan keprajuritan.Pembinaan melalui tekanan masyarakat yang tujuannya jelas untuk kebaikan,merupakan sarana yang paling efektif.
Pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuhkarena bagaimanapun masyarakat muslim adalah masyarakat yang satu padu, atau dengan kata lain pendidikan kemasyarakatan bertumpu pada landasan afeksikemasyarakatan, khususnya rasa saling mencintai.

·      Hasil Pemikiran Para Intelektual Muslim
Hasil pemikirian para intelektual muslim tentu pada kekinian dapat dijadikan acuan dan dasar dalam pendidikan Islam, tawaran konsep dari para Intelektual tentu bukanlah sembarang konsep tanpa ada dasar. Konsep-konsep yang mereka tawarkan umumnya merupakan pengembangan dari dasar-dasar ideal sebelumnya. Yang diramu dan dikorelasikan dengan keadaan zaman ini. Sehingga pendidikan tidak hanya berdiri dalam satu masa, namun mengiringi masa dan waktu dan mewarnainya. Dalam bahasa lain, Pendidikan bersifat elastis mengikuti perkembangan zaman.

2.2     Dasar Operasional

Dasar operasional adalah dasar yang mengatur secara langsung pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pendidikan agama mulai dimasukkan kedalam sekolah di Indonesia[12]. Dasar-dasar operasional jugamempunyai bermacam-macam bentuk yang akan diuraikan sebagai berikut:
·         Dasar Historis
Sejarah dianggap sebagai salah satu faktor budaya yang paling penting yangtelah dan tetap mempengaruhi filsafat pendidikan, baik dalam tujuan maupunsistemnya pada masyarakat manapun juga. Kepribadian nasional, misalnya yangmenjadi dasar filsafat pendidikan di berbagai masyarakat haruslah berlaku jauh kemasa lampau, walaupun sistem-sistemnya adalah hasil dari pemerintahanrevolusioner, yang didirikannya dengan sengaja untuk mengembangkan danmemperbaiki pola-pola warisan budaya dari umat dan rakyat.
Kandell sebagaimana dikutip Hasan Langgulung, berkata, bahwa pendidikan perbandingan (yang menitikberatkan pada identitas nasional dalam sistem pendidikan) dan sejarah pendidikan: “Berusaha menyingkap kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor yang berdiri di belakang sistem-sistem pendidikan di setiap masyarakat.” Oleh sebab itu: “Dapatlah dianggap pendidikan perbandingan itu sebagai kelanjutan sejarah pendidikan sampai hari ini.”
·         Dasar Sosial
Banyak aspek sosial yang mempengaruhi pendidikan, baik dari segi konsep,teori, dan pelaksanaannya. Dimensi-dimensi sosial yang biasanya tercakup dalam aspek sosial ini adalah fungsi-fungsi sosial yang dimainkan oleh pendidikan[13] seperti pewarisan budaya yang dominan pada kawasan-kawasan tertentu di suatu lembaga pendidikan, seperti sekolah, Dalam usaha kita untuk menganalisa masalah pendidikan dari segi sosial kita dapat mengajukan soal-soal kepada empat aspek sosial pendidikan itu sekaligus atau kita pusatkan pada salah satu aspek saja tetapi tidak mengabaikan aspek-aspek yang lain,misalnya sejauh mana penerapan nilai-nilai Islam itu berkesan dalam menumbuhkan sifat-sifat keberanian, patriotisme, kejujuran, dan lain-lain memperkuat pertahanan masyarakat.
·         Dasar Ekonomi
Ekonomi dan pendidikan selalu bergandengan sejak zaman dahulu kala. Ahli-ahli ekonomi sejak dahulu, begitu pula pencipta-pencipta sains telah mengakui pentingnya peranan yang dimainkan oleh pendidikan dalam pertumbuhan pengetahuan manusia belakangan ini upaya perkembangan ekonomi. Namun baru belakangan ini suatu disiplin ilmu yang khusus untuk itu diciptakan.
Dalam bidang ekonomi, yang sangat releven dengan pendidikan biasanyaadalah hal-hal yang berkenaan dengan investmen dan hasilnya. Artinya kalau modal ditanam sekian, berapa banyak nanti keuntungan yang diharapkan dari itu. Jika dalam pendidikan Islam telah meletakkan dasar-dasar yang menjadi tapak tempat berdirinya pendidikan Islam itu, maka juga dalam ekonomi Islam telahmeletakkan dasar-dasar pokok tempat ekonomi Islam itu berdiri.

·         Dasar Politik dan Administrasi

Membicarakan soal politik dan administrasi dalam pendidikan sama halnyamembicarakan soal ideologi. Sebab tujuan politik adalah mencapai tujuan ideologi didalam negara dan masyarakat. Dengan kata lain, setiap politik memperjuangkan suatuideologi tertentu untuk dilaksanakan di masyarakat. Sedangkan administrasi adalahsalah satu alat, mungkin alat yang paling ampuh untuk mencapai tujuan politik tersebut.
Sepanjang sejarah Islam antara politik, administrasi, dan ideologi selalu sejalan dansaling membantu satu sama lain menuju tujuan bersama. Sudah tentu dalam perjalanannya selama 14 abad itu banyak masalah yang dilaluinya dan sempatdiselesaikannya dan ada yang tidak dapat diselesaikannya.

·         Dasar Psikologis
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah pemindahan nilai-nilai, ilmu dan keterampilan dari generasi tua ke generasi mudauntuk melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat tersebut. Dalam pemindahannilai-nilai, ilmu, dan keterampilan inilah psikologi memegang peranan yang sangat penting.
Istilah pemindahan yang digunakan para penulis lain, melibatkan dua aspek dalam psikologi yang dapat perhatian besar dan mendorong begitu banyak  penyelidikan. Kedua aspek itu adalah mengajar (teaching) dan belajar (learning).Dahulu orang beranggapan bahwa sebenarnya ada satu aspek saja yaitu mengajar.Belakangan ini kajian-kajian psikologi menunjukkan bahwa sebenarnya belajarlah yang lebih penting. Mengajar hanyalah salah satu cara memantapkan proses belajar itu.
Jadi, hubungan psikologi dengan pendidikan adalah bagaimana budaya,keterampilan, dan nilai-nilai masyarakat dipindahkan, dalam istilah psikologinya dipelajari (learned), dari generasi tua ke generasi muda supaya identitas masyarakat terpelihara[14].

·         Dasar Filosofis
Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan, jugamenjadi tulang punggung kemana bagian-bagian yang laindalam pendidikan itu bergantung dari segi tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum, metode mengajar, penilaian, administrasi, alat-alat mengajar, dan lain-lain lagi aspek pendidikan yangbergantung pada filsafat pendidikan yang memberinya arah, menunjuk jalan yangakan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip tempat tegaknya.
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengandasar dan tujuan ajaran Islam, atau tepatnya tujuan Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Dari kedua sumber inikemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan. Dengan demikian, hasil pemikiran paraulama seperti qiyas syar’i dan ijma sebagai sumber sekunder.
Ajaran yang termuat dalam wahyu merupakan dasar dari pemikiran filsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan filsafat pendidikan Islam yang berisi teoriumum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar konsep ajaran Islam yangtermuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Keabsahan kedua sumber itu untuk dijadikandasar pemikiran filsafat pendidikan Islam bukan tanpa alasan yang rasional.
Pemikiran filsafat pendidikan Islam yang didasarkan atas ajaran wahyu tersebut padahakikatnya sejalan dengan yang dikehendaki oleh berfikir falsafi, yaitu mendasar,menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkannya.Adanya ketentuan-ketentuan dasar ketentuan wahyu yang dijadikan landasan pemikiran filsafat pendidikan Islam itu sendiri sehingga filsafat pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan lainnya (umum).
Filsafat pendidikan Islam dalamkaitannya dengan pendidikan berdasarkan lima prinsip utama, yaitu: pandanganterhadap alam, pandangan terhadap manusia, pandangan terhadap masyarakat, pandangan terhadap pengetahuan manusia, dan pandangan terhadap akhlak.





























Bab III
Kesimpulan


Dasar pendidikan Islam berarti landasan yang digunakan dalam melakukan proses pendewasaan anak didik; baik pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotoriknya sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Dasar pendidikan islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, Namun bisa saja dasar Negara masuk dan turut mendasari pendidikan Islam sebagai pendukung dan penyokong langkah dari Dasar Ideal.
Dasar-dasar Pendidikan Islam yang ideal disandarkan pada Al-Qur’an, Hadis, kata-kata sahabat, Ijtihad, kebiasaan masyarakat, serta hasil pemikiran para intelektual muslim. Aspek-aspek tersebut menjadi pondasi utama dalam perumusan Pendidikan Islam yang akan di transformasikan kepada pelajar muslim.
Selain Dasar ideal diatas adapula Dasar Operasional, yaitu dasar yang mengatur secara langsung pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Seperti dasar Historis, Ekonomi, Sosial dan politik.

















Daftar Pustaka

H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia, 2010
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2005
Omar Mohammad at-Tourny al-Syaibani, Falsafah Tarbiyyah al-Islamiyyah, terj. Hasan Langgulung, Jakarta, Bulan Bintang, 1979
Zakiyah darajat, Ilmu Pendidikan Islam, cet.II, Jakarta: Bumi Aksara,1992
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, konsep dan perkembangan, cet III Jakarta : PT. RajaGraafindo Persada, 1999
 Hasan Lunggalung, Asas-asas Pendidikan Islam; Pustaka Al-Husna, cet ke-II, 1 992
Ihsan Ali Fauzi, “Membumikan” Al-Qur'an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Bandung: Mizan, 2002
Irsjad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (ed. Ali Nurdin, Herman Fauzi), Jakarta: Yayasan karsa utama mandiri dan PB Mathala’ul Anwar, 1998
Robert Richard Boehlke, Sejarah perkembangan pikiran dan praktek pendidikan agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius hingga berkembangan PAK di Indonesia, BPK Gunung Mulia, 1997
Daryanto & Tasrial, Konsep Pembelajaran Kreatif, Malang : Gava Media, 2011
Baharuddin, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007