Kamis, 04 Juli 2013

Blog dan Pendidikan Hak Cipta (Tugas Akhir TIK PPS STAIN Samarinda)*




Dahulu, ketika dunia komputer belum menjamah berbagai kalangan. Sebagian dari kita kerap menggunakan buku diary, note dan papper gunanya merangkum apa saja yang di dapatnya, baik cerita hidup, pelajaran, pengetahuan umum yang di dapat. Lambat laun budaya tersebut beralih, segala macam catatan tersebut di rangkum dalam sebuah "kerta maya", salah satunya adalah blog.

Sebuah blog dapat dijadikan buku diary, menggantikan buku cantik yang merangkum keseharian. dapat pula menggantikan note dan papper dalam merangkum pelajaran atau catatan-catatan yang mungkin bisa saja berserakan.

Daya inovasi manusia begitu maju, hal-hal yang tadinya begitu ribet coba di minimalisir dan diorganisir sehingga memudahkan dalam mengakses, mendokumentasikan dan mempublikasikannya. Blog merupakan singkatan dari web log adalah bentuk aplikasi web yang menyerupai tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting) pada sebuah halaman web umum. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urut terbalik (isi terbaru dahulu baru kemudian diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Situs web seperti ini biasanya dapat diakses oleh semua pengguna Internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut.

Media blog pertama kali dipopulerkan oleh Blogger.com, yang dimiliki oleh Pyra Labs sebelum akhirnya PyraLab diakusisi oleh Google.Com pada akhir tahun 2002 yang lalu. Semenjak itu, banyak terdapat aplikasi-aplikasi yang bersifat sumber terbuka yang diperuntukkan kepada perkembangan para penulis blog tersebut.
Blog mempunyai fungsi yang sangat beragam,dari sebuah catatan harian, media publikasi dalam sebuah kampanye politik, sampai dengan program-program media dan perusahaan-perusahaan. Sebagian blog dipelihara oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis, . Banyak juga weblog yang memiliki fasilitas interaksi dengan para pengunjungnya, seperti menggunakan buku tamu dan kolom komentar yang dapat memperkenankan para pengunjungnya untuk meninggalkan komentar atas isi dari tulisan yang dipublikasikan, namun demikian ada juga yang yang sebaliknya atau yang bersifat non-interaktif.

Situs-situs web yang saling berkaitan berkat weblog, atau secara total merupakan kumpulan weblog sering disebut sebagai blogosphere. Bilamana sebuah kumpulan gelombang aktivitas, informasi dan opini yang sangat besar berulang kali muncul untuk beberapa subyek atau sangat kontroversial terjadi dalam blogosphere, maka hal itu sering disebut sebagai blogstorm atau badai blog.

Sesuai perkembangannya banyak muncul blog-blog dengan berbagai macam tema dan corak penulisan. wikipedia mengklasifikasikannya sebagai berikut :
  • Blog politik: Tentang berita, politik, aktivis, dan semua persoalan berbasis blog (Seperti kampanye).
  • Blog pribadi: Disebut juga buku harian online yang berisikan tentang pengalaman keseharian seseorang, keluhan, puisi atau syair, gagasan, dan perbincangan teman.
  • Blog bertopik: Blog yang membahas tentang sesuatu, dan fokus pada bahasan tertentu.
  • Blog kesehatan: Lebih spesifik tentang kesehatan. Blog kesehatan kebanyakan berisi tentang keluhan pasien, berita kesehatan terbaru, keterangan-ketarangan tentang kesehatan, dll.
  • Blog sastra: Lebih dikenal sebagai litblog (Literary blog).
  • Blog perjalanan: Fokus pada bahasan cerita perjalanan yang menceritakan keterangan-keterangan tentang perjalanan/traveling.
  • Blog mode: Lebih dikenal dengan "fashion blog". Isinya seputar gaya, perkembangan mode, selera fesyen, liputan pameran mode, dan lain-lain.
  • Blog riset: Persoalan tentang akademis seperti berita riset terbaru.
  • Blog hukum: Persoalan tentang hukum atau urusan hukum; disebut juga dengan blawgs (Blog Laws).
  • Blog media: Berfokus pada bahasan berbagai macam informasi
  • Blog agama: Membahas tentang agama
  • Blog pendidikan: Biasanya ditulis oleh pelajar atau guru.
  • Blog kebersamaan: Topik lebih spesifik ditulis oleh kelompok tertentu.
  • Blog petunjuk (directory): Berisi ratusan link halaman website.
  • Blog bisnis: Digunakan oleh pegawai atau wirausahawan untuk kegiatan promosi bisnis mereka
  • Blog pengejawantahan: Fokus tentang objek diluar manusia; seperti anjing
  • Blog pengganggu (spam): Digunakan untuk promosi bisnis affiliate; juga dikenal sebagai splogs (Spam Blog)
  • Blog virus (virus): Digunakan untuk merusak

Namun, setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. belakangan esensi ngeblog sedikit beralih kepada profit ekonomi. muncul berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam dunia blog. Sebut saja hak cipta. kerap kita menemukan tulisan A muncul di Blog Si B, namun tanpa mencantumkan sumber. hal ini terkesan begitu simple. namun implikasinya membawa pelaku tidak memiliki rasa menghargai terhadap apa yang telah di unggah orang lain. secara perundangan memang tak ada aturan tersebut. namun jika tindakan tersebut berlangsung terus menerus, dapat dipastikan budaya orisinalitas akan lenyap. bukan hanya dalam hal blogging, namun dalam penghormatan terhadap karya-karya diluar blog juga akan terkena imbas.

Susah memang menerapkan rule copy paste di dunia maya. mengingat semu akses terbuka dan tersedia. semua kembali pada kesadaran penggunanya.

* Tulisan ini di unggah sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah TIK, Program Pasca Sarjana STAIN Samarinda
 Muhammad Latif Fauzi

Minggu, 17 Maret 2013

Metode Kritik Sanad dan Matan (Teori & Praktek)


Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang Masalah

Hadis merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Alquran. Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alquran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal yang sangat penting.
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi.  Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja.
Dalam tujuan mengetahui otentik atau tidak nya sumber Hadis tersebut maka kita harus mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad dan matan. Kedua unsur tersebut mempunyai hubungan fungsional yang dapat menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis. Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan penelitian, penilaian dan penelusuran Hadis dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dilakukan oleh Muhadditsin karena mungkin ia menyadari bahwa perawi Hadis adalah manusia sehingga dalam dirinya terdapat keterbatasan dan kelemahan serta kesalahan.
Berangkat dari hal tersebut, makalah ini akan sedikit menyajikan perihal metode kritik sanad dan matan hadis.

B.     Rumusan Masalah
Yang menjadi pembahasan pada makalah ini adalah :
1.      Apa Pengertian dan Cakupan Kritik Sanad dan Matan?
2.      Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Kritik Hadis?
3.      Apa Urgensi Kritik Sanad dan matan Hadist?
4.      Bagaimana Langkah-langkah meneliti Sanad & Matan Hadist?

C.    Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembahasan diatas adalah :
1.        Mengetahui definisi dan Cakupan Kritik Sanad dan Matan
2.        Mengetahui Sejarah dan Perkembangan Kritik Hadis
3.        Mengetahui Urgensi Kritik Sanad dan matan Hadist
4.        Mengetahui  Langkah-langkah meneliti Sanad & Matan Hadist










Bab II
Pembahasan

1.    Pengertian dan Cakupan Kritik Sanad dan Matan

Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadis.
Kritik hadis dikalangan ahli hadis dikenal dengan sebutan (نقد الحديث) naqd al-hadis. Kata “an-naq” dari sisi bahasa adalah berarti mengkritik, menyatakan dan memisahkan antara yang baik dari yang buruk.[1] Sedangkan makna kritik dalam konteks ilmu hadis  adalah cenderung kepada maksud kegiatan penelitian hadis, dan bukan berarti sebuah kecaman terhadap hadis.
Sementara pengertian kritik hadis (naqd al-hadis) secara terminologi adalah sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mustafa Azami berikut:
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
"Naqd al-hadis adalah upaya membedakan antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da'if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya." [2]

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa makna kritik hadis adalah suatu kegiatan penelitian hadis untuk menemukan kekeliruan yang terdapat pada hadis Rasulullah Saw. sehingga dapat ditentukan mana hadis dapat diterima dan mana yang tidak, dan bagaimana kualitas periwayatan hadis yang bersangkutan.
Adapun kawasan kritik hadis adalah meliputi penelitian sanad dan matan hadis, sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau tidaknya sebuah hadis.
Sanad menurut bahasa berarti sandaran atau pegangan (al-mu’tamad). Sementara pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis adalah jajaran orang-orang orang-orang yang membawa hadis dari Rasul, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ At- Tabi’in, dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis tersebut.[3]
Sebagian orang terkadang keliru dalam menyebutkan urutaan sanad dan rawi-nya (periwayat). Oleh karena itu, penulis merasa penting menjelaskan perbedaan urutan sanad dan rawi pada tabel berikut:
No. Urut
Sanad
Rawi (Periwayat)
1.
البخاري
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
2.
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ
أَبِي صَالِحٍ
3.
أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
4.
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ
5.
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ
6.
أَبِي صَالِحٍ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ
7.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
البخاري

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkatan periwayat hadis dengan tingkatan sanad hadis adalah bertolak belakang. Karena orang yang menjadi sanad pertama dalam hadis tersebut adalah disebut sebagai periwayat terakhir. Misalnya pada riwayat hadis di atas sebagaimana telah diuraikan pada tabel bahwa Al-Bukhari adalah sanad pertama atau periwayat terakhir.
Disamping kata sanad, ada kata lain yang maknanya berdekatan dengan sanad, yaitu kata isnad dan musnad. Menurut Al-Thibi sebagaimana dikutip oleh Usman Sya’roni, kata isnad mempunyai arti yang sama dengan sanad. Tetapi Usman Sya’roni kemudian menunjukkan perbedaan diantara keduanya, yaitu isnad lebih menunjukkan kepada proses periwayatan hadis, sedangkan sanad ialah susunan orang-orang yang berurutan meriwayatkan sebuah materi hadis.[4]
Sementara arti musnad ada empat, yaitu: Pertama, hadis yang disandarkan kepada orang yang meriwayatkannya. Kedua, nama kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat, seperti kitab musnad Ahmad bin Hambal. Ketiga, kumpulan hadis yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanad-sanadnya secara lengkap, seperti kitab musnad al-Syihab dan musnad al-firdaus. Keempat, nama bagi hadis marfu’ (disandarkan kepada nabi) yang sanad-nya muttasil (bersambung).[5]
Selanjutnya, pengertian matan (al-matn) dari sisi bahasa adalah tanah yang meninggi, ada pula yang mengartikan matan dengan kekerasan, kekuatan dan kesangatan.[6] Dengan demikian, pengertian matan dari sisi bahasa adalah menunjukkan nama bagi segala sesuatu yang sifatnya keras, kuat, dan menjadi bagian inti.
Sementara pengertian matan menurut istilah adalah sebagaimana dalam kutipan Totok Jumantoro,  Ajjaj Al-Khattib di bawah ini:
الفاظ الحديث التى تتقوم بهامعا نيه
Artinya: “Lafadhz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”.[7]

Dengan demikian maka yang dimaksud dengan matan al-hadits adalah materi/ berita/ pembicaraan yang diperoleh sanad terakhir, baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi Saw, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Saw.
Kritik Sanad & Matan dapat diartikan sebagai  suatu kegiatan penelitian hadis untuk menemukan kekeliruan yang terdapat pada hadis Rasulullah Saw. sehingga dapat ditentukan mana hadis dapat diterima dan mana yang tidak baik dari segi periwayat maupun materi hadist.

2.    Sejarah dan Perkembangan Kritik Hadis

Aktivitas kritik hadis marak terjadi pada abad ke-3 hijriyah. Namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan kritik  hadis. Sebab ketika penelitian hadis dipahami (dengan sederhana) sebagai upaya untuk membedakan antara hadis yang sahih dan yang tidak sahih, maka kegiatan kritik hadis dalam bentuk yang begitu sederhana telah muncul sejak masa Rasululullah masih hidup.[8] Munculnya kegiatan penelitian/ koreksi terhadap hadis sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi terjaganya kemurnian dan keaslian hadis yang telah diteliti kualitasnya. Sehingga dari sisi pendekatan sejarah, hadis tersebut dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya.
a)   Kritik Hadis Di Era Rasulullah Saw. Masih Hidup
Kritik hadis pada saat Rasulullah masih hidup sangat mudah dilakukan para sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima itu melalui jalan konfirmasi kepada Rasulullah Saw.[9]
Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai sumber hukum Islam disamping Alquran,[10] juga untuk mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan hadis yang langsung mereka yakini kebenarannya dari Rasulullah Saw.[11] Para ulama sepakat bahwa konfirmasi hadis di era Rasulullah ini dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya ilmu kritik hadis.[12]
b)   Kritik Hadis Di Era Sahabat (Abad 1)
Pada era sahabat, metode penelitian hadis mulai berkembang dengan pola yang bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini, setelah wafatnya Rasulullah Saw. para sahabat seperti Abu Bakr Siddik, Umar Bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib kemudian mulai membuat suatu rambu-rambu atau syarat diterimanya suatu hadits, antara lain misalnya dengan mengharuskan kesaksian sahabat yang lain untuk membenarkan periwayatan hadis tersebut.
Pada masa khalifah Ali, perjalanan sejarah hadis semakin digoyah oleh berbagai kasus manipulasi. Antara lain disebabkan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman ibn `Affan pada tahun 35 H., serta peperangan Ali dan Muawiyah yang kemudian berakibat pada perpecahan kaum muslim. Oleh karena hal tersebut maka pola tradisional penelitian hadis yang dikenal selama ini mengalami banyak cobaan disebabkan munculnya berbagai hadis palsu yang mereka ungkapkan untuk tujuan atau kepentingan politik atau kepentingan membela golongan.[13]
Namun walaupun perpecahan umat Islam memberikan dampak negatif bagi persatuan kaum muslimin tetapi ternyata peristiwa tersebut juga memiliki implikasi positif bagi pengembangan struktur ilmiah metode kritik hadis. Bahkan menurut Umi Sumbulah, momentum tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan sistem kerja penelitian hadis, karena hal tersebut telah memberikan motivasi positif kepada para ahli hadis agar lebih efektif mengkaji kriteria-kriteria hadis yang sahih ditinjau dari kondisi sanad dan matan hadisnya.[14]
c)    Penelitian Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga Kodifikasi Hadis (Abad II-III).
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang-orang non muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk meruntuhkan Islam.[15]
Munculnya pemalsuan hadis kemudian menuntut para ulama yang hidup pada masa tabi’in dan sesudahnya untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan penelitian hadis. Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan dengan semakin ramainya aktivitas perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok daerah yang bermaksud mempelajari hadis Rasulullah Saw.
Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif dalam merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadis, Hal tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis yang terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadis.[16]
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadis pada abad ke II dan ke III antara lain adalah sebagaimana ungkapan Malik dalam kutipan Umi Sumbulah berikut:
a.         Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang selalu memperturutkan ambisi pribadinya (hawa nafsu).
b.         Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohonnya itu ia kemudian membuat kebohongan atas nama Rasulullah.
c.         Tidak meriwayatkan hadis dari seseorang yang sebenarnya baik amal ibadahnya, namun hadis yang diriwayatkannya itu tidak dikenal (umum).[17]

Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (abad ke-II dan ke-III) telah mencakup kepada penelitian sanad dan matan hadis. Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke  seluruh  pelosok  negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya.[18]
Selanjutnya berkat kegiatan kritik (baca: penelitian) hadis tersebut bermunculanlah di  berbagai negeri ini para  peneliti  hadis sepanjang  masa. Mereka  senantiasa  mengorbankan waktu hanya  untuk membersihkan hadis-hadis dari kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas penelitian hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang ditandai dengan lahirnya karya-karya besar ulama mengenai hadits ditinjau dari segala aspeknya. Sehingga sampai saat ini karya-karya fenomenal itulah yang menjadi referensi utama dalam menilai sebuah hadits.[19]
Selanjutnya dilihat dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian hadis, pada awalnya metode penelitian hadis tersebut hanya  ditulis di pinggiran  buku-buku  hadits seperti terdapat pada kitab Musnad, Jawami’, Sunan dan lainnya. Ulama yang  mencoba  memberikan komentar atau kritik terhadap beberapa hadits, hanya meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis. [20]
Kemudian cara  yang pertama ini  dirasakan kurang efektif dan tidak cukup luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga  para  ulama hadits kemudian berinisiatif menuliskan komentar-komentar mereka  dalam satu kitab tersendiri, yang memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi agar penilaan atas hadits benar-benar objektif.  Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal  fi  Ma’rifatil  Rijâl, atau Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah.[21]
Pada tahap selanjutnya, penulisan kitab rujukan kritik hadits menjadi lebih sistematis lagi setelah dilakukannya pengkajian yang terpisah antara penelitian sanad dengan penelitian matan hadis.  Hal  ini  digagas oleh pakar peneliti hadits seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl dan’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya.[22]

3.    Urgensi Kritik Sanad dan Matan Hadist
Secara praktis, argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadis ini dapat ditinjau dari dua sisi utama, yaitu: pertama, terkait dengan posisi hadis sebagai sumber hukum Islam setelah Alquran. Kedua, terkait dengan historisitas hadis yang mengalami banyak ancaman.[23] Dari dua sisi tersebut kemudian para muhadditsin mengemukakan beberapa alasan yang mendasari pentingnya melakukan kritik hadis.
Pada tabel di abawah ini, penulis akan memetakan beberapa urgensi kritik hadis ditinjau dari sisi perjalanan sejarah kritik hadis, yaitu sebagai berikut:
No.
Periode
Urgensi Kritik Hadis
1.
Masa Hidup Nabi Saw.
1.          Memberikan perhatian khusus kepada sumber agama Islam.
2.          Mengokohkan hati sahabat dalam mengamalkan ajaran Islam.
2.
Masa Sahabat - Abad 1 Hijriyah
3.          Tidak seluruh hadis tertulis pada masa Nabi Saw.
4.          Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam mengharuskan sahabat untuk bersikap hati-hati dalam menerimanya.
5.          Terjadi proses transformasi hadis secara makna.
6.          Terjadi pemalsuan hadis.[24]
3.
Abad 2- 14 Hijriyah
7.          Penghimpunan hadis secara resmi terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis.
8.          Terkadang kitab-kitab hadis hanya menghimpunn hadis, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
9.          Muncul redaksi hadis yang bertentangan. [25]
4.
Abad 15-Sekarang
10.      Memelihara khazanah keilmuan Islam.
11.      Meminimalisir perbedaan pendapat dalam kawasan produk hukum syari’at.
12.      Mendeteksi hadis dha’if dalam kitab-kitab Islam yang terkadang dijadikannya sebagai dalil tuntunan amal ibadah.
13.      Mengembangkan metodologi penelitian hadis ke arah yang lebih baik agar umat muslim dapat menghadapi tuduhan orientalis terhadap otentisitas hadis secara adil.
14.      Membangun sikap kehati-hatian dalam memakai hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai landasan ibadah sehari-hari atau bahkan sebagai landasan dalam menetapkan suatu hukum.


4.    Langkah-langkah meneliti Sanad & Matan Hadist

Secara umum Langkah sistematis dalam rangka meneliti sanad & matan hadist adalah sebagai berikut :
1)      Meneliti Kondisi Periwayatan Hadis, Baik meneliti keadilan rawi maupun kapasitas intelektual periwayat (dhabith)
2)      Meneliti Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
3)      Meneliti Keselamatan Sanad dari Syadz
4)      Meneliti Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat
5)      Meneliti Keselamatan Matan Hadis dari Syadz dan ‘Illat

Berikut akan dipaparkan langkah-langkah tersebut satu-persatu :

1.         Meneliti Kondisi Periwayat Hadis
Ulama hadis telah sepakat bahwa dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadis adalah ke‘adilan dan kedabithannya. Ke‘adil­an adalah sesuatu yang berhubungan dengan kualitas pribadinya, sedangkan kedabithannya adalah hal-hal yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal itu (‘adil dan dabit) dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat hadis tersebut dinyatakan periwayat yang tsiqah.




a.       Meneliti Keadilan Perawi
Kata adil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “tidak berat sebelah (tidak memihak) atau “sepatutnya; tidak sewenang-wenang”.[26] Sementara pengertian adil yang dimaksud dalam ilmu hadits masih terjadi perbedaan pendapat diantara ulama hadis. Sebagaimana Syuhudi Ismail menyebutkan dalam kutipan Umi Sumbulah bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai defenisi ‘adil. Namun dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan bahwa kriteria sifat adil pada umumnya adalah 4 hal berikut: [27] 
1)      Beragama Islam.
Dengan demikian seorang periwayat hadis ketika mengajarkan/ menyampaikan hadis tersebut sudah dalam keadaan Islam. Berbeda dengan kondisi orang yang menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam.
2)      Mukallaf
Seorang perawi hadis juga harus mukallaf, karena persyaratan ini sudah jelas tertera didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung jawab.[28] Tetapi dalam kondisi menerima hadis, para ulama jumhur menyetujui hadis seseorang yang ketika menerimanya (tahammul) ia masih anak-anak yang telah mumayyiz (umur ±5 tahun), dengan syarat bahwa ketika ia meriwayatkan hadis tersebut ia telah dewasa.
3)      Melaksanakan ketentuan agama (tidak berbuat fasik)
Dengan demikian seorang periwayat harus orang yang taat melaksanakan ketentuan syari’at Islam.
4)      memelihara moralitas (murū’ah)
Muru’ah merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Muru’ah adalah: tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa kecil, terlebih-lebih berdusta, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah. [29]
Dengan demikian, maka para ahli hadis sefakat bahwa kriteria muslim dan dewasa adalah khusus bagi orang yang menyampaikan riwayat hadis, dan tidak mensyaratkan keduanya saat ketika seseorang menerima hadis.
Secara umum ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits yaitu berdasarkan :
1)        Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits; periwayat yang terkenal keutamaan (kesalehan) pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri, tidak lagi diragukan ke-‘adilan-nya.
2)        Penilaian dari para kritikus  (peneliti) periwayat hadits; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadits.
3)        Penerapan kaidah al-Jarh wa at-Ta’dil ; cara ini ditempuh bila para peneliti (kritikus) periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[30]

Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sunni mengatakan bahwa seluruh sahabat rasulullah adalah adil, jadi tidak perlu diteliti lebih lanjut lagi. Sedangkan golongan Mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Alī dianggap fasiq, dan periwayatannya ditolak.[31]
Jadi, untuk mengetahui adil atau tidaknya seorang periwayat hadis haruslah diteliti terlebih dahulu kualitas pribadinya dengan kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah dapat dilakukan dengan merujuk kepada kitab-kitab karya para tokoh peneliti hadis (disebut juga krtikus hadis) yang secara khusus mengkaji perihal periwayat hadis. Misalnya kitab tahzib al-kamal.
b.       Meneliti Kapasitas Intelektual Periwayat (Dhabith)
Pengertian dhābit dari sisi bahasa berarti kokoh, kuat, dan hafal dengan sempurna.[32] Sementara dari sisi istilah pengertian dabith masih dalam perselisihan ulama. Namun perbedaan pendapat itu dapat dipertemukan dengan memberikan rumusan berikut:
1)      Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya.
2)      Mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain.
3)      Mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya. [33]
Dalam rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur pokok dhabith adalah terletak pada keistiqomahan dan konsitensi seorang perawi menjaga kemurnian hadis mulai  dari proses penerimaan hadis hingga sampai penyebarannya, dan juga mampu memahami hadis tersebut dengan baik, karena hadis tersebut tidak semuanya diriwayatkan secara lafdzi (redaksional), tetapi ada juga dengan makna. Sehingga dengan demikian maka tidak terdapat kesalahan dan penambahan atau pengurangan pada hadis yang diriwayatkannya.[34]
Adapun cara penetapan kedhābit-an seorang periwayat menurut pendapat Subhi al-Shalīh adalah sebagai berikut :
1)      Kedhābitan periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para ulama. Dalam hal ini, peneliti harus menelusurinya pada kitab-kitab yang menjelaskan kedhabithan periwayat. Seperti kitab tahzibut –tahzib.
2)      Kedhābitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhābitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari hadis lain (dengan riwayat yang tsiqah) yang berkaitan dengan hadis yang bersangkutan. Dan kemudian membandingkan kesesuaian teks hadisnya.
3)      Apabīla seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhābit. Tetapi apabīla kesalahan itu sering terjadi maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi sebagai periwayat yang dhābit.[35]
Karena kapasitas intelektual perawi berbeda-beda sifatnya maka kualitas sifat dhabith seorang perawi pun diklasifikasi kepada dua bagian, yaitu: [36]
a)    Dhabit sadri, yakni terpeliharanya hadis yang diterimanya  dalam hafalan, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan mampu meriwayatkannya dengan sempurna.
b)   Dhabit kitab yaitu terpeliharanya periwayatan melalui tulisan yang dimilikinya dengan mengingat betul hadis yang ditulis, menjaga dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.
2.         Meneliti Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
Adapun yang dimaksud dengan sanad yang bersambung adalah  bahwa tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits berjalinan erat dalam menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits itu.[37]
Tidak semua peneliti hadis melakukan penelitian terhadap perihal persambungan sanad. Sebab sebahagian mereka berpikiran bahwa keadilan dan kedhabithan sanad hadis cukup untuk menunjukkan bersambungnya sanad hadis. Dengan demikian  mereka hanya memperketat penelitian  perihal keadilan dan kedhabithan sanad hadis saja. Diantara tokoh yang berpendapat demikian adalah Sekh Muhammad Al-Ghazaly.[38]
Adapun kriteria persambungan sanad di kalangan ahli hadits terjadi perbedaan pendapat yaitu sebagai berikut:
a.       Imam al-Bukhari mengklaim bersambungnya sanad apabila memenuhi dua kriteria, yaitu:
1)        Al-Liqa’, yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai adanya suatu pertemuan langsung antara murid yang memperoleh hadis dari gurunya.
2)        Al-Mu’asharah, yakni apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya.[39]
b.      Sementara Imam Muslim memberikan kriteria yang sedikit lebih longgar, menurutnya sebuah hadis telah dikatakan bersambung sanad-nya apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya sampai seterusnya ada kemungkinan bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama, dan tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu.[40] Dengan demikian Imam muslim tidak mensyaratkan liqa’ sebagai salah satu syarat dari bersambungnya sanad.
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim sebagai mana di atas, dapat di katakan bahwa kriteria al-Bukhari  yang layak menduduki peringkat pertama. Oleh karena demikian, maka dengan mengacu  kepada kriteria kebersambungan sanad  inilah salah satu yang membuat posisi al-Bukhori menduduki peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist karya Muslim maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih al-Bukhari  sebagai hadis paling utama.[41]
Disamping al-liqa’ dan al-mu‘asharah sebagai kajian penelitian hadis yang berkenaan dengan bersambungnya sanad, lambang-lambang atau kata-kata yang dipilih sebagai metode periwayatan juga menjadi objek perhatian para peneliti hadis.
Dalam Kitab Ilmu Hadits ada 8 macam cara-cara periwayatan yaitu: as-sima’, al-qirā’ah, al-Ijāzah, al-munāwalah, al-mukātabah, al I’lam, al-wasiyyah dan al-wijādah. Kedelapan metode periwayatan tersebut memiliki lambang-lambang yang menunjukkan perbedaan dalam tingkat akurasi persambungan sanad hadis tersebut.[42]
Tingkat akurasi tertinggi dalam metode periwayatan hadis menurut jumhur ulama adalah metode al-sima’ dan al-qira’ah. Lambang-lambang yang di disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan metode al-sima adalah:
1)                 اخبرني dan اخبرنا. Artinya seseorang telah memberitakan kepadaku/ kami.
2)                 حدثني dan حدثنا. Artinya seseorang telah bercerita kepadaku/ kami.
3)                 سمعت dan سمعنا . Artinya saya mendengar dan kami mendengar.
Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati dalam periwayatan hadis dengan menggunakan metode al-sima’ adalah: qãla lanã  (قال لنا) dan dzakara lanã (ذكر لنا).[43]
Selanjutnya lambang-lambang yang disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan metode al-qira`ah adalah:
1)        قرأت عليه (qara`tu ‘alaihi)
2)        قرأت عليه (quri`at ‘alahi)
3)        حدثنا عليه (haddatsanã ‘alaihi)
4)        اخبرنا عليه (akhbaranã ‘alaihi)
5)        قرأت عليه (qara`tu ‘alaihi)
Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati penggunaannya dalam metode al-qira`ah adalah: sami’tu, haddatsanã, akhbaranã, qãla lanã dan dzakara lanã.[44] Untuk lebih detailnya, penjelasan materi ini akan dibahas oleh judul makalah yang membicarakan indikasi mayor dan minor kesahihan sanad dan matan hadis.
Adapun langkah-langkah operasional untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.         Mencatat nama semua periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.        Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat untuk mengetahui kesesuaian zaman atau hubungan guru-murid dalam periwayatan hadits tersebut.
c.         Meneliti kata-kata atau lambang-lambang yang menghubungkan antara suatu periwayat dengan periwayat yang terdekatnya dalam sanad sehingga diketahui cara periwayatannya apakah metode al-sima’ atau al-qirã’ah atau yang lainnya. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat lambang-lambangnya apakah ia memakai kataسمعت, سمعنا, حدثني حدثنا  atau yang lainnya.[45]
3.         Meneliti Keselamatan Sanad dari Syadz
Mahmud Thahan dalam kitab ‘Taisir Mushthalah al-Hadits” memberikan defenisi Syudzuz sebagai berikut:
الشذوذ هو مخالفة الثقة لمن هو أوثق منه
Artinya: “Syudzudz ialah berbeda dengan hadits yang tsiqāt atau berbeda dengan yang lebih tsiqāt daripadanya.”[46]

Pengertian Sadz telah dalam suatu hadis telah mengalami perbedaan pendapat dikalangan ulama. [47] Namun dalam konteks ini, Imam Syafi’i (w. 204 H. / 820 M.) telah merumuskan syadz sebagai hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang tsiqāh juga. Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama hadits sampai saat ini.
Metode penelitian untuk mengetahui keadaan sanad yang terhindar dari syadz suatu hadis dapat diterapkan dengan cara berikut:
1)   Semua sanad yang memiliki matan hadis yang pokok masalahnya sama dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dibandingkan.
2)   Para perawi dalam setiap sanad diteliti kualitasnya.
3)   Apabila dari seluruh dari perawi tsiqah ternyata ada seorang perawi yang sanadnya menyalahi sanad-sanad yang lain, maka itulah dimaksudkan sebagai hadis syadz.[48]
4.         Meneliti Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat
Mahmud Thahan mendefenisikan ‘illat menurut istilah adalah sebagai berikut :
العلة سبب غامض خفي يقدح فى صحة الحديث مع أن الظاهر السلامة منها.
Artinya:“’Illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.”[49]
Menurut Yusuf dalam kutipan Umi Sumbulah, kriteria illat dalam sebuah sanad hadis dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.    Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mauquf.
2.    Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mursal.
3.    Terjadi percampuran hadis dengan bagian hadis yang lain.
4.    Terjadi kesalahan menyebutkan perawi, karena adanya rawi-rawi yang punya kemiripan nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya tsiqah.[50]

Adapun cara meneliti ‘illat suatu sanad hadits adalah dengan cara membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.

5.         Meneliti Keselamatan Matan Hadis dari Syadz dan ‘Illat
Setelah selesai melakukan penelitian terhadap sanad hadis, maka aktivitas selanjutnya adalah kritik/ penelitian matan hadis. Adapun unsur-unsur yang perlu diteliti pada matan hadis mengacu kepada kaedah kesahihan matan hadis sebagai tolok ukurnya adalah terhindar dari syadz dan ‘illah.[51] Adapun kriteria syadz menurut Umi Sumbulah adalah; terdapat sisipan ucapan perawi pada matan hadis, pembalikan teks hadis, dan kesalahan ejaan.[52]
Menurut jumhur ulama hadits, karakteristik matan hadits yang memiliki syadz dan ‘illah adalah:
1)      Susunan bahasanya rancu. Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu tersebut.
2)    Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprestasikan secara rasional.
3)      Kandungan pernyataanya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, misalnya berisi ajakan untuk berbuat maksiat.
4)    Kandungan pernyataanya bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam).
5)      Kandungan pernyataanya bertentangan dengan fakta sejarah yang mutawatir.
6)      Kandungan pernyataanya bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun hadits mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti. Contohnya:
أنا خاتم النبين لا نبي بعدي إلا أن يشاء الله
7)      Kandungan pernyataanya berada di luar jalur kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam; misalnya amalan yang tidak seberapa tetapi diiming-iming  dengan balasan pahala yang sangat luar biasa.[53]

Dengan mengetahui karakteristik syadz dan ‘illah pada matan hadis maka dapat disimpulkan bahwa matan hadis yang sahih adalah matan hadis yang terhindar dari tujuh point di atas.

5.    Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Hadis
Sebagaimana objek penelitian hadis itu ada dua, yaitu sanad dan matan. Maka adapun kitab-kitab tentang penelitian hadis juga muncul dari dua sisi objek penelitian hadis ini, yaitu kitab-kitab yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian sanad atau sering juga disebut dengan kitab Rijal al-Hadis dan kitab-kitab yang diperlukan dalam melakukan penelitian matan.

Kitab-Kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Sanad Hadis
Kitab-kitab yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian sanad muncul dalam berbagai bentuk dan sifatnya, mulai dari yang bersifat umum sampai kepada yang bersifat khusus.
a.      Kitab-kitab Sanad Hadis Yang Bersifat Umum
1)        Al-Tarikh al-Kabir
Kitab ini merupakan karya terbesar Al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M), di dalamnya terdapat 12.315 biografi periwayat hadis. Al-Bukhari menyusun nama-nama orang secara alfabetis dengan ciri khas tertentu, dengan disesuaikan dari huruf pertama dari nama itu dan nama ayahnya. Nama yang pertama diuraikan adalah mereka yang bernama Muhammad, nama tersebut dipertimbangkan kemuliaan nama Nabi Muhammad Saw., sebagaimana didahulukannya nama sahabat yang paling pertama, dengan tanpa melihat nama ayah mereka. Setelah penulis menguraikan nama-nama yang ditempatkan secara khusus itu, baru ia menguraikan nama-nama yang lain secara alfabetis.[54]
2)        Al-Jarh wa al-Ta’dil
Kitab ini ditulis oleh Ibn Abi Hatim (wafat 327 H). Nama-nama periwayat ditulis secara lengkap dengan menyebutkan nama ayah dan gelarnya, kemudian diurut secara alfabetis. Yang paling menonjol dari kitab ini adalah memberikan penilaian kualitas periwayat sesuai dengan nama kitab tersebut, yaitu al-jarh wa ta’dil.[55]

b.      Kitab-kitab Sanad hadis yang bersifat khusus
1)      Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat kitab-kitab tertentu, Seperti:
a)    Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifah ahli al-Tsiqat wa al Saddat
Kitab ini dikarang oleh Abi Nashr Ahmad Ibn Muhammad Al-Kalabadi (wafat 318 H). Kitab ini dikhususkan pengarangnya hanya membahas biografi para periwayat dalam Sahih Bukhari.

b)   Rijal al-Sahih Muslim
Kitab ini dikarang oleh Abi Bakr Ahmad Ibn Ali Al-Asfahani yang dikenal dengan nama Ibn Manjuyah (wafat 428 H). Kitab ini berisi para periwayat kitab Sahih Muslim secara khusus.
2)   Kitab-kitab sanad hadis yang sifatnya mengkaji biografi para periwayat beberapa kitab hadis:
a)      Kutub al-Tarajum al-Khassah bi Rijal al-Kutub al-Sittah
“Induk dari kitab-kitab yang termasuk dalam kelompok ini adalah kitab al-Kamal fi Asma al-Rijal, karangan Abdu gani Al-Maqdisi (wafat 600 H). Kitab ini merupakan kitab induk dalam kajian rijal al-Hadis.
Kitab rijal yang termasuk dalam kelompok ini adalah Tahzib al-Kamal oleh Al-Syahr Abu Hajjaj Yusuf Ibn Zakki Al-Mizzi (wafat 742 H). Kitab Tahzib al-Kamal kemudian disempurnakan oleh ‘Alaw Al-Din Al-maghlathay (wafat 762 H) dengan judul Ikmal Tahzib al-Kamal. Karya Al-Mizzi di atas juga disusun ulang oleh Abu Abdillah Ibn Ahmad Al-Zahabi (wafat 748 H) dengan judul Tahzib al-Tahzib. Ibnu hajar Al-Asqalani juga menulis kitab dengan judul yang sama, yaitu Tahzib al-Tahzib.
3)   Kitab-kitab sanad hadis yang khusus memuat periwayat tingkat sahabat:
a)    Kitab Ma’rifah man Nazala min al Sahabah Sair al-Buldan karya Abu al-Hasan Ali ibn Abdullah al-Madini (w.234)
b)   Kitab al-Ma’rifah karya Abu Muhammad Abdullah ibn Isa al-Marwazi, Kitab al-Sahabah karya Abu hatim Muhammad ibn Hibban Al-Busti,
c)    Kitab Al-Istiab fi Marifah al-Ashab karya Abu Umar Yusuf ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abd Barr al-Namiri Al-Qurtubi (w. 463)
d)   Kitab Tajrid Asma al-Sahabah karya al-Hafiz Syams al-Din Abu abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Asir (555-630),
e)    Kitab al-Badr al-Munir fi Sahabah al-Basyir al-Nazir karya Muhammad Qasim ibn Salih al-Sindi, dan lain-lain.[56]
4)   Kitab-kitab yang secara khusus menghimpun para periwayat-periwayat Tsiqah saja, seperti:
a)    Ali Ibn Abdullah Al-Madini (234 H) menghimpun periwayat hadis yang Tsiqah dalam karyanya yang diberi judul al-tsiyat wa al Mutsabbitin yang terdiri dari sepuluh juz.
b)   Abu Al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah Ibn Shalih Al-‘Ijli (261 H) juga menghimpun perwayat hadis yang tsiqah dalam koleksinya diberi judul Kitab al-Tsiqah. Di dalam kitab ini, nama-nama periwayat hadis disusun secara alfabetis.
c)    Muhammad Ibn Ahmad Hibban Al-Busti (354 H) juga menghimpun periwayat hadis yang tsiqah dalam satu kitab tertentu, yang diberi nama Kitab al-Tsiqat., nama periwayat dalam kitab ini disusun secara alfabetis.[57]
5)   Kitab-kitab sanad hadis yang khusus mengkaji dan menghimpun periwayat dhaif:
a)      Kitab al-duafa’ wa al-Matrukin, karya An-Nasa’i.
b)      Kitab al-Du’afa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-‘Uqaili (w 323 H).[58]
Kitab-kitab Yang Diperlukan Dalam Melakukan Penelitian Matan Hadis
Kitab yang khusus membahas kritik matan belum ditemukan pada awal awal perkembangan ilmu hadis. Namun, kitab tentang matan telah muncul  bersamaan dengan berkembangnya ilmu hadis. Kitab yang membahas tentang matan hadis, pertama muncul dalam bentuk penyelesaian hadis-hadis kontroversi, baik kontroversi hadis dengan hadis sahih, hadis dengan akal, maupun dengan Alquran.
Adapun kitab-kitab yang mengkaji seputar penelitian terhadap matan hadis antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab yang berjudul ikhtilaf al-hadits untuk menyelesaikan  kitab yang kelihatannya saling bertentangan terutama yang menyangkut hukum.
b.      Imam Ibn Qutaybah Al-Dinuri (wafat 204 H) menulis kitab yang senada dengan karya Imam Al-Syafi’i dengan judul Ta’wil Mukhtalif al-Hadits.
c.        Shalah Al-Din ibn Ahmad Al-Adabi  menulis kitab berjudul Manhaj naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi
d.      Muhammad Thahir Al-Jawabi menulis kitab berjudul Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
e.       Muhammad Mushthafa Al-A’zhami menulis kitab yang berjudul Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin,
f.       Yusuf Qardawi menulis kitab yang berjudul kayfa Nataamal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Muhammad Al-Ghazali menulis kitab yang berjudul Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits.
Kitab-kitab di atas berusaha menawarkan metodologi penelitian dan kritik matan hadis serta berupaya mengidentifikasi hadis-hadis yang dianggap berseberangan dengan sumber hukum yang lain.[59]




















Bab III
Penutup

1.    Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik hadis adalah suatu upaya untuk menyeleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian dan membuktikan kemurnian dan keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadis sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut.
Munculnya kegiatan penelitian/ koreksi terhadap hadis sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi terjaganya kemurnian dan keaslian hadis sampai masa sekarang ini. Namun untuk mengantisipasi kepalsuan hadis atau ketidak murniannya akibat diriwayatkan oleh orang yang rendah kapasitas intelektualnya, kurang kesalehannya (fasik),  dan dipalsukan non Islam maka menjadi suatu keharusan bagi kita untuk bersikap hati-hati dalam menerima hadis dengan melakukan kritik atau penelitian terhadap kualitas sanad dan matan hadis tersebut berdasarkan metode penelitian hadis yang tepat dan akurat.
2.    Saran
Saran penutup dari penulis adalah seharusnya setiap muslim (khususnya pendidik atau kaum intelektual) mengkritisi atau meneliti hadis-hadis yang akan digunakannya sebagai hujjah. Sebab apabila kualitas hadis yang digunakannya adalah lemah atau bahkan palsu maka hal tersebut akan berimplikasi terhadap kebenaran hukum Islam yang dilahirkannya.


Praktek Kritik Sanad dan Matan
Ø  Contoh Kritik Sanad
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ اَيُّوْبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ وَعَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيْعًا عَنْ اِسْمَاعِيْلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ اَيُّوْبَ حَدَّثَنَا اِسْمَاعِيْلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ اَخْبَرَنَا الْعَلَاءُ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى الْحُرْقَةِ عَنْ مَعْبَدِ بْنِ كَعْبِ السَّلَمِىِّ عَنْ اَخِيْهِ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبٍ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلََ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِىءٍ مُسْلِمٍ بِيَمِيْنِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ , فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : وَإِنْ كَانَ شَيْأً يَسِيْرًا يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : وَإِنْ كَانَ قَضِيْبًا مِنْ أَرَاكٍ . ( رواه مسلم ).
Artinya :
“Yahya bin Ayyub, Quthaibah bin Sa’id, dan ‘Alī bin Hujr semuanya telah memberitakan kepada kami dari Isma’īl bin Ja’far. Ibnu Ayyub berkata: Telah memberitahukan kepada kami Isma’īl bin Ja’far katanya: telah memberikan khabar kepada kami Al-‘Ala yaitu Ibnu Abdurrahman maula Al-Hurqah dari Ma’bad bin Ka’ab As-Salami dari saudaranya yaitu Abdullah bin Ka’ab dari Abū Umamah Al-Harits r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, maka Allah telah mewajibkan baginya api neraka dan Dia mengharamkan baginya surga”. Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW., “Walaupun hanya sedikit, wahai Rasulullah ? “Beliau menjawab, “Walaupun hanya setangkai daun pohon duri”. (HR. Muslim).

Tinjauan tentang para perawi :
Yahya bin Ayyūb, nama lengkap beliau adalah Yahya bin Ayyub Al-Maqabīri Abū Zakaria al-Ghadadi al-Abīd. Dilahirkan pada tahun157 H dan wafat pada tanggal 2 Rabī’ul Awwal 234 H. Guru-guru beliau adalah  Isma’īl bin Ja’far, Abdullah bin Mubarak, Hasyim, marwan bin Muawiyah, Ibn Wahab, dan lain-lain. Sedangkan murid-murid beliau adalah Imam Muslimi, Abū Daud, Imam Bukhari, Imam Nasā’i, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Ibnu Syu’aib Al-Hirany mengatakan bahwasanya Yahya bin Ayyub adalah seorang hamba pilihan Allah SWT. Imam Husein bin Fahmi juga mengatakan bahwa Ibnu Yahya bin Ayyub adalah orang yang tsiqāh (kuat), wara’, muslim yang baik, berkata-kata sesuai dengan sunnah.
Qutaibah bin Sa’id, Nama lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah Ats-Tsaqafy. Ibnu Adi mengatakan: nama beliau adalah Yahya, sedangkan Qutaibah adalah gelar. Sedangkan Ibnu mundah mengatakan : nama beliau adalah Alī. Guru-guru beliau adalah : Malik, Al-Laits, Rasyidin bin Sa’ad, Isma’īl bin Ja’far, Isma’īl bin ‘Alīyah, ibnu Dhamrah, Ibnu Usamah, Marwan bin Mu’awiyah, dan lain-lain.Murid-murid beliau adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abū Daud, Imam Nasā’i, Imam TarmidziAhmad bin Sa’ad Ad-Darimy, Abū Bakar bin Syaibah, dan lain-lain. Ibnu Mu’ayyan, Abū Hatim, dan Imam Nasā’i mengatakan bahwa Qutaibah adalah orang yang tsiqāh (kuat). Imam Nasā’i menambahkan, beliau juga dalah orang yang shuduq (dapat dipercaya). Farhiyany mengatakan : Qutaibah adalah orang yang dapat dipercaya. Al-hakim juga berpendapat: Qutaibah adalah orang yang tsiqātun ma’mun (kuat lagi amanah).  
Alī bin Hujrin, Nama lengkap beliau adalah Alī bin Hujrin bin Iyas bin Maqatil bin Makhadis bin Masymarakh bin Khalid As-Sa’dy Abū Al-Husein Al-Maruzy. Guru-guru beliau adalah : ayah beliau sendiri, ma’ruf al-Khiyath temannya Watsilah, Halaf bin KhAlīfah, Isma’īl bin Ja’far, Isma’īl bin ‘Alīyah, dan lain-lain. Murid-murid beliau adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tarmidzi, Imam Nasā’i, Muhammad bin Alī bin Hamzah, dan lain-lain. Muhammad bin Alī bin Hamzah mengatakan bahwa Alī bin hujrin adalah fhadilan, hafizhan (orang yang mulia dan kuat hafalan). Imam Nasā’i mengatakan behawa Alī bin Hujrin adalah orang yang tsiqātun ma’mun hafizhan (kuat dan amanah lagi kuat hafalan). Al-Khathib mengatakan beliau adalah oranga yang dapat dipercaya, takwa, kuat hafalan, dan hadits beliau terkenal di Meru.
 Isma’īl bin Ja’far, Nama lengkap beliau adalah Isma’īl bin Ja’far bin Ibn Katsir Al-Anshary Az-Zarqy Maula Abū Ishaq Al-Fary. Guru-guru beliau adalah abī Thawalah, Abdullah bin Dinar, Rabī’ah, Ja’far Shadiq, Israil bin Yunus, Amru bin Abī Amru, ‘Ala Ibn Abdurrahman, Muhammad bin Amru bin Abī Halhamlah, dan lain-lain. Murid-murid beliau adalah Muhammad bin Jahdam, Yahya bin Yahya An-NisAbūri, Sarih ibn Nu’man, Qutaibah bin Zanbur, Yahya bin Ayyub Al-Maqabīry, Alī bin Hujrin, dan lainnya. Ahmad, Abū Zar’ah dan Imam Nasā’i mengatakan bahwa Isma’īl bin Ja’far adalah orang yang tsiqāh (kuat). Ibnu Mu’ayyan dan Ibn Sa’ad mengatakan bahwa Isma’īl bin Ja’far adalah tsiqāh.    
Ibnu Abdurrahman (Abū Al’Ala), penulis belum dapat menemukan biografi beliau.
Ma’bad bin Ka’ab As-Salami. Nama lengkap beliau adalah Ma’bad bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari As-Salamy Al-Madani. Guru-guru beliau seperti Ibnu Qatadah, Jabīr, saudara-saudara beliau yaitu Abdullah bin Ka’ab dan Ubaidullah bin Ka’ab. Murid-murid beliau seperti Wahab bin Kisan, Muhammad bin Amru bin Halhalah, ‘Ala bin Abdurrahman, Walid bin Katsir, Ibnu Ishaq, Usamah bin Zaid Al-Laits, Isa bin Muawiyah, dan lain-lain.
Abdullah bin Ka’ab, Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari As-Salamy Al-Madani. Guru-guru beliau adalah Abī Ayyub, Abī Lubabah, Abī Umamah bin Tsa’labah, Utsmān bin Affān, Ibnu Abbas, Jabīr, dan lainnya. Sedangkan murid-murid beliau adalah anak beliau sendiri yaitu Abdurrahman, saudara-saudara beliau seperti Abdurrahman, Ma’bad bin Ka’ab, Zuhri bin Ibrahim, Abdullah bin Abī Umāmah bin Tsa’labah, dan lannya. Pendapat para ulama tentang beliau, seperti Abū Zar’ah mengatakan bahwa beliau orang yang tsiqāh, Ibnu Sa’ad mendengar dari Utsmān bahwa Abdullah bin Ka’ab adalah orang yang tsiqāh.
Abū Umamah, Nama lengkap beliau adalah Abū Umamah Iyas bin Tsa’labah bin Al-Harits Al-Anshari Al-Khajraji. Dia tidak menyaksikan Perang badar karena orang tuanya terkena sakit dan telah mendapat izin dari Rasulullah SAW untuk tidak mengikuti Perang Badar tersebut. Abū Umamah adalah seorang sahabat yang memiliki banyak hadits. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Zaid bin Al-Muhajir dan anaknya Abdullah bin Umamah.
Imam Muslim. Nama lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abūl Husain an-NaisAbūri. Wafat: 261 H. Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb, Ibn Abī Syaibah, Ahmad bin Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru. Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin salamah, Ibrahim bin Abū Thalib, Abū Amru al-Kharaf. Derajatnya: Menurut Abī Hitam: Tsiqāh, al-Jarudi berkata: Ia sangat banyak mengetahui hadis. Ibn Qasim: Tsiqāh.


  Contoh Kritik Matan
Kita kerap mendengar potongan hadist berikut:
إِخْتِلاَفُ أُمَّتي رَحْمَةٌ
"Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat".
Namun tahukan kita bagaimana matan dari hadist tersebut?  Ataukah hanya sepotong kalimat tersebut?
Syekh Nashiruddin al-Albani  menilai bahwa hadis ini tidak ada dasar dan sumbernya (لاَ أَصْلَ لَهُ). Sebuah hadis harus terdiri dari unsur sanad dan matan. Hadis yang dibicarakan ini belum pernah ditemukan sanadnya, sebab memang bukan sabda Nabi SAW. Hadis yang ada sanadnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
مَهْمَا أُوْتِيْتُمْ مِنْ كِتَابِ اللهِ فَالْعَمَلُ بِهِ لاَ عُذْرَ لأَحَدٍ فِيْ تَرْكِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَسُنَّةٌ مِنِّيْ مَاضِيَةٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ سُنَّةٌ مِنِّيْ فَمَا قَالَهُ أَصْحَابِيْ إنَّ أَصْحَابِيْ بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ فَأَيُّمَا أَخَذْتُمْ بِهِ اهْتَدَيْتُمْ وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِيْ لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Selagi kamu telah diberi kitab Allah, maka ia harus diamalkan. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya. Apabila tidak ada keterangan dalam kitab Allah, maka (kamu harus memakai) Sunnah daripadaku yang berjalan. Apabila tidak ada keterangan dalam Sunnah, maka (kamu harus memakai) pendapat para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku itu ibarat bintang-bintang di langit. Mana yang kamu ambil pendapatnya, kamu akan mendapatkan petunjuk. Dan perbedaan (pendapat) para sahabatku itu merupakan rahmat bagi kamu”.
Hadis ini diriwayatkan Baihaqi (458 H/1067 M) dalam kitabnya al-Madkhal ilâ as-Sunan al-Kubrâ, al-Khathib al-Baghdadî (463 H/1072 M) dalam kitabnya al-Kifâyah fî `Ilm ar-Riwâyah. Di antara periwayat dalam sanadnya bernama Juwaibir dan adh-Dhahhak.  Ibn Hajar al-`Asqalânî (852 H/1449 M) dalam Tahdzîb at-Tahdzîb (1404 H/1984 M, II: 123) dan adz-Dzahabî (748 H/1347 M) dalam Mîzân al-I`tidâl fî Naqd ar-Rijâl (1382 H/1963 M, I: 427) menyebutkan bahwa Juwaibir dinilai sebagai munkar, matrûk, dan dzâhib al-hadîts (pemalsu hadis). Adh-Dhahhâk diklaim menerima hadis tersebut dari Ibn Abbas, padahal ia tidak pernah bertemu dengan Ibn Abbas. Dengan demikian, hadis tersebut kualitasnya sangat daif, yakni matrûk (tertolak). Bahkan al-Albani menilainya sebagai hadis palsu.
Dilihat dari segi kandungannya, bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat. Hal ini belum tentu, sebab boleh jadi perbedaan pendapat justru menjadi laknat. Bukankah perbedaan pendapat itu biasanya merupakan pemicu awal terjadinya pertentangan. Pertentangan membuka peluang terjadinya perpecahan. sehingga tidak mau bekerja sama apalagi bersatu. Perbedaan pendapat dalam masalah aqidah dan tauhid, khususnya mengenai kesaan Allah adalah tidak boleh. Sedang perbedaan pendapat dalam masalah fiqh yang bersifat furu`iyah (bukan prinsip) adalah boleh saja. Dalam ilmu fiqh ada lembaga ijtihad sebagai bentuk pengakuan adanya perbedaan pendapat itu.


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyah, t.th), hlm. 464.
[2] Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu (Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990), hlm. 5.
[3] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005) hlm. 23-27
[4] Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hlm. 10-11.
[5]  Ibid.,  hlm. 12.
[6] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), hlm. 121.
[7] Ibid., hlm. 122.
[8] Umi Sumbulah, Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 32-33
[9] Ibid.
[10] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 183.
[11] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 2.
[12] Jalal al-Din Al-Syuyuti, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, (ttp.: Dar al-Kutub  al-Haditsah, t.th.), juz II, hlm. 45.
[13] Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu, hlm. 8.
[14] Umi Sumbulah, Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 34.
[15] Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. viii.
[16] Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 40-41.
[17] Ibid., hlm. 43.
       [18] Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 41.
[19] Muhammad  Ali Qasim  al-Umri, Dirâsât fi Manhaji An-Naqdi Indal Muhadditsîn, (Yordan: Dar An-Nafais, 2000), hal. 11.
[20] Ibid., hlm. 17.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 183.
[24] Ibid.
[25] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963), hlm. 43.
[26] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), Cet ke-8, hlm. 16.
[27] Umi Sumbulah, Kajian Kritik  Hadis; Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 63-64.
[28] Ibid.
[29] Bustamin, dkk,  Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 43.
[30] Syuhudi Isma’īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah¸(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), hlm. 134.
[31] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 131 - 132 .
[32] Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 69.
[33] Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 104.
[34] Umi Sumbulah,  Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 117.
[35] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, hlm. 232.
[36] Usman sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hlm. 36-37.
[37] Subhi al-Shalīh, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin, 1977), cet IX, hlm. 145.
[38] Bustamin, dkk,  Metodologi Kritik Hadis, hlm. 102.
[39] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 113-114.
[40] Ibid., hlm. 114.
[41] Umi Sumbulah,  Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Op., Cit. hlm. 46.
[42] Ibid., hlm. 67-76.
[43] Ibid.,h, 68.
[44] Umi Sumbulah,  Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op., Cit,. h. 70.
[45] Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 128.
[46] Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), hlm. 30.
[47] Al-Hakim an-Naisaburi (w.405 H / 1014 M) mengemukakan bahwa hadits syudzudz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi orang yang tsiqāh lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Abū Ya’la al-Khalili (w.446 H) mengemukakan hadits syudzudz ialah hadits yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqāh maupun tidak bersifat tsiqāh. Sumber: Ahmad bin Alī bin Hajar al-‘Asqalani, Nuzhatun Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawwar, t.th), hlm. 20.
[48] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op.Cit., hlm. 185-186.
[49] Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul hadits, 30.
[50] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. 186.
[51] Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 103.
                [52] Ibid., hlm. 104-107.
[53] Salahuddin bin Ahmad al-Adlabī, Manhaj Naqil Matn, (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H./ 1983 M), hlm. 237 – 238.
[54] Ibid., hlm. 25.
[55] Ibid.
[56] Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Op.Cit., hlm. 117.
[57] Bustamin, dkk,  Metodologi Kritik Hadis, hlm. 27-28.
[58] Ibid.
[59] Ibid., hlm. 61-62.